A. Viktimologi
Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan
pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu, polisi,
pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya
juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok-kelompok sosial lainnya dan
institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.
Viktimologi
juga membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan di
masyarakat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan. Proses dimana seseorang menjadi korban kejahatan
disebut dengan "viktimisasi".
Didalam Buku
Masalah Korban kejahatan karangan Arif Gosita diberikan penjelasan mengenai
arti Viktimologi, dalam buku tersebut menyebutkan bahwa “Viktimologi adalah
suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai
suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.” Viktimologi
berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang
berarti pengetahuan ilmiah atau studi.
B. Sejarah Perkembangan Viktimologi
Pada awal
perkembangannya, viktimologi baru mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan
terhadap persoalan korban dimulai pada saat Hans von Hentig pada Tahun 1941
menulis sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of
perpetrator and victim.” Tujuh Tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang
berjudul The Criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban
mempunyai peranan yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang
menentukan dalam timbulnya kejahatan.
Pada Tahun
1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit, Mendelsohn menulis sebuah
makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada
saat inilah istilah victimology pertama kali digunakan. Setelah itu para
sarjan-sarjana lain mulai melakukan studi tentang hubungan psikologis antara
penjahat dengan korban, bersama H. Mainheim, Schafser, dan Fiseler. Setelah itu
pada Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang
dituangkan dalam tulisannya dengan judul “de Criminaliteit van Oss,
Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi
dan viktimologi.
Pada Tahun
1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology
(WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari
perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban
terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985
yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bansa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan
Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse
Power.
C. Tujuan, Fungsi dan Manfaat
Viktimologi
1. Tujuan Viktimologi
a. Menganalisis
berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
b. Berusaha
untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan
system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia
2. Fungsi Viktimologi
Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh
mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana
perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah
menjadi korban kejahatan. Disini dapat terlihat bahwa korban sebenarnya juga
berperan dalam terjadinya tindak pidana pencurian, walaupun peran korban disini
bersifat pasif tapi korban juga memiliki andil yang fungsional dalam terjadinya
kejahatan.
Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin
timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan
peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan
dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si
korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab
fungsional dalam terjadinya kejahatan
3. Manfaat Viktimologi
Arif Gosita merumuskan beberapa manfaat dari studi
mengenai korban antara lain:
a. Viktimologi mempelajari hakikat
siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan
proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat dari pemahaman itu, maka
akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal dan konsepsi-konsepsi
mengenai usaha-usaha yang preventif, represif dan tindak lanjut dalam
menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai
bidang kehidupan dan penghidupan;
b. Viktimologi memberikan sumbangan
dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang
menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya, tidaklah untuk
menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan
mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta
pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap
berbagai macam viktimisasi, demi menegakkan keadilan dan meningkatkan
kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung dalam
eksistensi suatu viktimisasi.
c. Viktimologi memberikan
keyakinan, bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui
mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan, pekerjaan mereka.
Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban
struktural atau non struktural. Tujuannya, bukan untuk menakut-nakuti, tetapi
untuk memberikan pengetian yang baik dan agar waspada. Mengusahakan keamanan
atau hidup aman seseorang meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai
bagaimana menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.
d. Viktimologi juga memperhatikan
permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada
penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional,
akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi industri, terjadinya
viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabat
menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian dimungkinkan
menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus,
mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi akibat-akibat
merusak, dan mencegah pelanggaran, kejahatan lebih lanjut (diagnosa
viktimologis);
e. Viktimologi memberikan dasar
pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat
viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan
reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dari dan dalam proses peradilan
kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.
Lebih spesifik lagi Dikdik M. Mansur dan Elisatris
Gultom memberikan gambaran manfaat bagi pihak penegak hukum, sebagai berikut :
Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya
penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar
belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban
pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operandi yang biasanya dilakukan
oleh pelaku dalam menjalankan aksinya serta aspek aspek lainnya yang terkait.
Bagi
Kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di
pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa,
mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi
pemicu terjadinya kejahatan.
Bagi hakim tidak hanya menempatkan korban
sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut
memahami kepentingan dan penderitaan korban akibat dari sebuah kejahatan atau
tindak pidana, sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku
sedikit banyak dapat terkonkritisasi dalam putusan hakim.
D. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topic-topik tentang korban,
seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku
dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system
peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang
bertujuan untuk :
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan
korba;
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab
terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi
penderitaan manusia.
Menurut J.E.
sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat)
menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan
dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam
selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.
E. Macam-macam tipologi korban
Menurut M.E.
Wolfgang, tipologi korban meliputi:
1. Viktimisasi
Primer
2. Viktimisasi
Sekunder
3. Viktimisasi
Tersier
4. Viktimisasi Mutual
5. Tidak ada Viktimisasi
Berdasarkan
peran E.A. Fattah
(1967) merumuskan tipologi berdasarkan peran korban:
1. Korban tidak
ikut berpartisipasi
2. Korban
berperan secara tidak langsung
4. Korban
terlibat dalam kejahatan
5. Korban
dianggap sebagai sasaran yang keliru
Selain itu, B. Mendelsohn merumuskan tipologi
berdasarkan tingkat kesalahan korban:
1. Korban yang
benar-benar tidak bersalah
2. Koban
memiliki sedikit kesalahan akibat ketidaktahuan
3. Kesalahan
korban sama dengan pelaku
4. Korban lebih
bersalah dari pelaku
5. Korban
sendiri yang memiliki kesalahan/paling bersalah
6. Korban
imajinatif
F. Hubungan
Kriminologi dan Viktimologi
Adanya
hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi,
karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari
suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari
tentang korban dari suatu kejahatan. Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan, karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah
lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan
bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan
membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak
dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah
korban dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi
secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu
sebagai berikut :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak
terpisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan
Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan
yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban.
Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu
menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang
melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari
kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi
merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi
dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus
pada korban itu sendiri.
Khusus
mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya
merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan
mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun
pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga
memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana
hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk
mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social
adalah kriminologi.
J.E Sahetapy
juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata
uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya
hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari
kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada
pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini
juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini,
atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut
pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan,
atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin
menguraikan dan mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban
suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan
pihak pelaku kejahatan.
G. Hubungan Viktimologi dan KUHAP :
Pada
hakikatnya KUHAP mengatur kehidupan manusia, manusia pada dasarnya sama harkat
dan martabatnya, kebersamaan maunsia dalam suatu masyarakat. Pencitraan
terhadap manusia yang demikian mendorong KUHAP untuk memperjuangkan hak dan
kewajibannya khususnya dlm pelaksanaan ganti rugi demi perlakuan adil dan
mengembangkan kesejahteraan khususnya kel marginal/lemah.
Pengamatan terpadu:
Perlunya pengamtan secara terpadu (
makro integral disamping diamati secara klinis untuk mendapatkan gambaran
secara proporsional dan dimensional. o/k itu wajib dilakukan pen gamatan dan
pemahaman fenomena yang relevan dgn eksistensi perbuatan tersebut. Hal tersebut
diimplementasikan dalam pemenuhan ganti rugi.
H. Tentang
Korban
1. Pengertian
Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik
oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas
mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
Menurut Arief Gosita, korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain
yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang
bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
Didalam Undang-Undang No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup
rumah tangga.”
Sedangkan menurut Deklerasi PBB dalam The Decleration
of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power
1985.
Victims
means person who, individually or collectively, have suffered harm, including
physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial
impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in
violation of criminal laws operative within member states, including those laws
proscribing criminal abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di
atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan
atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas
lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban
dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi
penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Hak dan
Kewajiban Korban
a. Hak-Hak
Korban
Setiap hari
masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan,
baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik.
Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai
penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna
memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan
ini perlu ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun
represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu
lembaga yang berkompeten.
Berkaitan
dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya.
Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang
memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila
dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan
yang menimpa dirinya.
Hak
merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional ) artinya bisa
diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi
korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal
Tidak jarang
ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill)
akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak
yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit
dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena
kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik
korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian
karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut
yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau
keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum
yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1) Hak untuk memperoleh ganti kerugian
atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan
oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk
untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan
dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan
polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi,
seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak
mendapatkan :
1) Perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan ;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis;
3) Penanganan secara khusu berkaitan
dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja social dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
5) Pelayanan bimbingan rohani.
Didalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi)
agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan,
yaitu :
1) Compassion,
respect and recognition;
2) Receive
information and explanation about the progress of case;
3) Provide
information;
4) Providing propef
assistance;
5) Protection of
privacy and physical safety;
6) Restitution and
compensation;
7) To access to the
mechanism of justice system.
b. Kewajiban
Korban
Sekalipun
hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan
keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti
kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran
korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara
signifikan.
Untuk itu
ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim
sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari
kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai
mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu
berlebihan kepada pelaku;
5. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang
menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang
berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri
sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
Belum ada tanggapan untuk " Pengertian Viktimologi dan Sejarah Perkembangannya "
Post a Comment