BAB
I
PEMBAHASAN
A. Latar
Belakang
Dalam pasal angka 3 UU Nomor 12 Tahun
1995 Tentang Permasyarakatan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan
Anak Didik Pemasyarakatan. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat
tersebut di sebut dengan istilah penjara. Rutan
/ Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Dan juga merupakan himpunan dari norma-norma dari
segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan
masyarakat.
Rumah Tahanan Negara / Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.Sistem
peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Rutan / Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Rumah
Tahanan Negara / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir
dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan
terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan.
Perlunya peninjauan ulang terhadap
sistem dan pola pendekatan terhadap para warga binaan untuk solusi lain
mengantisipasi kerusuhan rutan / lapas.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan
B. Sejarah Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
Menurut keputusan lama sampai modifikasi hukum Prancis yang
dibuat pada tahun 1670 belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam tindakan
penyandraan dengan penembusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum di
tentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di inggris abad pertengahan
kurang lebih tahun 1200-1400 di kenal hukum kurungan gereja dalam sel (cell)
dan pidana penjara bentuk kuno di Bridwedell (pertengahan abad ke 16) yang
dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja menurut Act of 1576 dan
Act of 1609 dan pidana penjara untuk dikurung menurut ketentuan Act of
1711. Dalam hal ini Howard Jones menerangkan, bahwa sejak zaman raja Mesir
pada tahun 2000 sebelum Masehi (SM) di kenal pidana penjara dalam arti
penahanan selama menunggu pengadilan, dan ada kala sebagai penahanan untuk
keperluan lainmenurut romawi dari jaman Justianus abad 5 (SM).
Karena pemberian pekerjaan
dianggap salah satu daya upaya untuk memperbaiki akhlak terhukum, maka timbulah
sistem campuran, yaitu :
a. Pada waktu malam ditutup sendirian,
b. Pada waktu siang bekerja bersama-sama.
Pada waktu bekerja mereka
dilarang bercakap-cakap mengenai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan
pekerjaan.Oleh karenanya maka sistem ini dinamakan pula “Silent System”.
Sedangkan sejarah adanya Rutan
/ Lembaga Pemasyarakatan ini di Indonesia terkait dengan sejarah
berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa pahit tatkala Belanda
dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan.Masa demi masa
terlewati, mengukir catatan demi catatan.Masing-masing masa memiliki sejarahnya
tersendiri.
Periode pidana kerja paksa
di Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai
tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana; pertama, hukum pidana
khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa.
Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum
Pidana khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in
Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang
pribumi di Hindia Belanda.Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan “Inlanders”.Pada
periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan yang seringkali
dijatuhkan pada “inlanders”. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa
seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi
dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter
arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan
dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah lima tahun
tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu
tahun ke bawah disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen),
dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.
Rutan / Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.Sistem
peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan dan Rutan / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Rutan
/ Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan
pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana
khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil tidaknya
tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka
pendek yaitu rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah
untuk menekan kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat di samping ditentukan/dipengaruhi oleh sub-sub sistem
peradilan pidana yang lain yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan,
selebihnya juga sangat ditentu¬kan oleh pembinaan yang dilakukan Rutan /
Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana pencabutan kemerdekaan,
khususnya pidana penjara.
Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem
pemasyarakatan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu
membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna.
Dengan perkataan lain Rutan / Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi,
reedukasi, resosialisasi dan perlindungan baik terhadap narapidana serta
masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Dengan sistem
pemasyarakatan sebagai dasar pola pembinaan narapidana di Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan diharapkan dapat berhasil dalam mencapai tujuan resosialisasi
dan rehabilitasi pelaku tindak pidana/narapidana, maka pada gilirannya akan
dapat menekan kejahatan dan pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan sosial
seperti tujuan sistem peradilan pidana (jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang). Dengan demikian keberhasilan sistem pemasyarakatan di dalam
pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
akan berpengaruh pada keberhasilan pencapaian tujuan sistem peradilan pidana.
C. Klasifikasi Penghuni Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan
Penghuni Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut
masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak
oleh hakim.
Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah
terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan. Penghuni suatu Rutan / Lembaga Pemasyarakatan atau orang-orang
tahanan itu terdiri dari :
1.
Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2.
Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3.
Orang-orang yang disandera.
4. Lain-lain
orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, akan tetapi
secara sah telah dimasukkan ke dalam Rutan / Lembaga Pemasyarakatan.
Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau ditempatkan
di dalam Rutan / Lembaga Pemasyarakatan itu ialah :
1.
Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
2.
Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3. Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana
hilang kemerdekaan oleh pengadilan negeri setempat;
4. Mereka yang
dikenakan pidana kurungan;
5. Mereka yang tidak menjalani pidana hilang
kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan ke Rutan / Lembaga Pemasyarakatan secara
sah.
D. Fungsi Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
Pada dasarnya Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
mempunyai beberapa fungsi antara lain:
·
Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat,
bagai mana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
·
Menjaga keutuhan masyarakat.
·
Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian social (social control). Artinya, sistem
pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa
apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka
harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-Rutan / Lembaga Pemasyarakatan di
masyarakat yang bersangkutan.
Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
berfungsi sebagai pedoman perilaku atau sikap tindak manusia dan merupakan
salah satu sarana untuk memelihara dan mengembangkan integrasi di dalam
masyarakat. Namun demikian, tidak semua norma di dalam masyarakat dengan
sendirinya menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu. Hal ini
tergantung pada proses pelembagaan dari norma-norma tersebut sehingga menjadi
bagian dari suatu lembaga sosial tertentu ( Soekanto dan Taneko, 1984).
Literatur yang saya diambil
dari (http://sosiologi-era.blogspot.com) menyatakan bahwa Fungsi Rutan
/ Lembaga Pemasyarakatan:
·
Memberi pedoman kepada anggota masyarakat
bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakat.
·
Menjaga keutuhan masyarakat yang
bersangkutan.
·
Memberi pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (social control) dan sistem pengawasan
masyarakat terhadap perilaku anggotanya.
E. Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem
Pemasyarakatan
Konsep pemasyarakatan
pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjopada
tahun 1962,
dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan
hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang
yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan
oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Walaupun
terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap
dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal
empat tahap proses pembinaan, yaitu :
1. Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam Rutan
/ Lembaga Pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal
tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan
pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh
dari keluarga mereka, dari bekas majikan atau atasan mereka, dari teman
sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari
petugas instansi lain yang menangani perkara mereka.
2. Tahap
kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah
berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang
sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah
dicapai cukup kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan,
disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di Rutan /
Lembaga Pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan
memberlakukan tingkat pengawasan medium security.
3. Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa
pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina
Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan baik secara fisik maupun secara
mental dan dari segi keterampilan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan
memperbolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan
masyarakat di luar Rutan / Lembaga Pemasyarakatan.
4. Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang
narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa
pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada
narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat, yang penetapan tentang
pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan.
F. Identifikasi Sarana dan
Prasarana Pendukung Pembinaan
Dalam proses pembinaan
narapidana oleh Rutan / Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana
pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana
tersebut meliputi :
1. Sarana Gedung Pemasyarakatan
Gedung
Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan
gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di
Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker”
dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan
seram penghuninya.
2. Pembinaan Narapidana
Bahwa sarana untuk pendidikan
keterampilan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam
jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama
sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai
dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).
3. Petugas Pembinaan di Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan
Petugas pemasyarakatan adalah pegawai
negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di Rutan /
Lembaga Pemasyarakatan.Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Rutan / Lembaga
Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang
tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari
mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan
pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu
berdaya cipta dalam melakukan pembinaan.
G. Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana
Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang
ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara.
Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah
kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh
tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi yang
telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan
restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.
Dalam menyikapi tindak kejahatan yang
dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang
disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan
didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban,
keluarganya dan juga masyarakat.Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya
masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku
diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para
pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam
institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi
perhatian yang utama dari prosesrestorative justice. Korban harus
didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan
hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian
bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan.Pelaku tindak pidana
harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat.Konsekuensi dari
kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban
dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling
menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.
H. Berbagai Permasalahan dalam Rutan
/ Lembaga Pemasyarakatan
Kerusuhan dan pembakaran di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku,
Batubara, Sumatera Utara yang terjadi pada Minggu (18/8) sekitar pukul 17.00
WIB merupakan kerusuhan kelima yang terjadi di lapas di seluruh nusantara sejak
Januari 2013. Akibat kejadian tersebut, sebagian bangunan lapas yang terletak
di Desa Paham, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara habis terbakar dan beberapa
narapidana kabur melarikan diri.Data menunjukkan bahwa daya tampung Rutan Lapas
Labuhan Ruku maksimal untuk 300 narapidana, namun saat kejadian kerusuhan
dihuni oleh 867 narapidana.Lapas Labuhan Ruku sudah melebihi kapasitas, hampir
3 kali lipat dari kapasitas daya tamping.
Sebulan sebelumnya, tepatnya pada 17 Juli
2013, kerusuhan juga terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Batam dan kejadian
tersebut menyebabkan beberapa narapidana kabur dan sejumlah bangunan rutan
dirusak.Masih di bulan Juli 2013, yakni pada tanggal 11, kerusuhan besar
melanda Lapas Tanjung Gusta Medan dan yang menyebabkan lima sipir tewas, 211
narapidana kabur, serta bangunan lapas dan dokumen penting dibakar. Pada 21
Februari Lapas Krobokan Bali juga terjadi kerusuhan dan sejumlah bangunan
dibakar; dan pada 21 Januari di Lapas Salemba Jakarta juga terjadi baku pukul
narapidana antarblok.
Rentetan kerusuhan yang melanda lapas sejak
Januari hingga Agustus 2013 bagi Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil
Kemenkumham Jawa Tengah, Suwarso, merupakan pelajaran untuk lebih meningkatkan
kewaspadaan meskipun dalam sejarah di Jawa Tengah tidak pernah terjadi
kerusuhan seperti di Labuhan Ruku maupun Tanjung Gusta. Kerusuhan di lapas
menurut Suwarso, rentan terjadi dengan beragam alasan di antaranya karena
berlebihnya kapasitas; keterbatasan petugas, sarana, dan prasarana termasuk
teknologi; serta emosi dari narapidana yang tidak dapat diprediksi.
Sebagai minimatur beragamnya
permasalahan di masyarakat, para narapidana dapat saja memiliki tingkat stres
dan temperamental yang tinggi sehingga dapat menjadi salah satu pemicu
kerusuhan."Namanya juga lapas yang merupakan tempat berkumpul narapidana
dan kapan saja bisa terjadi kerusuhan.Temperamental dan stres tinggi karena
bertahun-tahun dipenjara misalnya," katanya.Atas dasar sejumlah
kemungkinan yang mungkin terjadi tersebut, pihaknya juga memetakan sejumlah
kemungkinan dan antisipasi yang perlu dilakukan.
Terkait dengan kelebihan kapasitas,
Suwarno menyebutkan jumlah rutan dan lapas di wilayah Jawa Tengah terdapat 44
buah dengan total penghuninya sekitar 11 ribuan orang. Ia mencontohkan di
Rutan/Lapas Kedungpane Semarang yang berkapasitas 500 hingga 600 narapidana,
tetapi diisi lebih 1.000 narapidana. Rumah tahanan di Kabupaten Boyolali dengan
delapan ruangan tahanan berkapasitas 87 penghuni, tetapi dihuni 113 orang.
Meskipun lapas dan rutan di Jateng
sebagian besar melampaui kapasitas standar, Suwarno mengaku, Jateng justru
menjadi daerah kiriman dari sejumlah wilayah dengan Rutan/lapas melampaui
kapasitas seperti Jakarta dan Medan .Sementara keterbatasan petugas pengamanan
terlihat dari tidak berbanding lurusnya antara jumlah petugas dengan jumlah
penghuni lapas maupun rutan, seperti di Rutan/Lapas Kedungpane Semarang
terdapat 1.061 narapidana, sedangkan jumlah petugas keamanan sebanyak 13 orang
setiap giliran tugas. Lapas di Nusakambangan dengan penghuni rata-rata 300
hingga 500 narapidana juga hanya dijaga empat petugas setiap giliran jaga atau
masih jauh dari standar.
Solusi
Menimbang : a. Bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib
kehidupan di rutan / lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan Negara dan agar
terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan perlu adanya tata
tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap narapidanan dan tahanan beserta
mekanisme penjatuhan hukuman disiplin.
b. bahwa kepatuhan terhadap tata tertib yang
berlaku di dalam rutan / lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan Negara
menjadi salah satu indicator dalam menentukan kriteria berkelakuan baik
terhadap narapidana dan tahanan.
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
maksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan peraturan menteri hukum dan
hak asasi manusia tentang tata tertib lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan
Negara.
Bab I
Ketentuan
Umum
1.
Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut
Rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.
Petugas pemasyarakatan adalah pegawai sipil
yang melaksanakan tugas di bidang pemasyarakatan.
3.
Narapidana adalah terpidanan yang menjalani
pidana hilang kemerdekaan di Rutan / Lapas
4.
Tahanan adalah seorang tersangka atau
terdakwa yang ditempatkan di dalam rutan.
5.
Tindakan disiplin adalah tindakan pengamanan
terhadap narapidanan atau tahanan berupa penempatan sementara dalam kamar
terasing (sel pengasingan)
6.
Hukuman disiplin adalah hukuman yang
dijatuhkan kepada narapidana atau tahanan sebagai akibat melakukan perbuatan
yang melanggar tata tertib Lapas atau Rutan.
7.
Steril area adalah tempat atau wilayah di
dalam Lapas atau Rutan yang dinyatakan terlarang untuk dimasuki dan/atau
dijadikan tempat beraktivitas oleh Narapidana dan Tahanan Negara tanpa izin
yang sah.
8.
Tim pengamat pemasyarakatan yang selanjutnya
disingkat TPP adalah tim yang bertugas memberikan saran mengenai program
pembinaan Narapidana.
9.
Tim pemeriksa hukuman disiplin yang
selanjutnya disebut Tim Pemeriksa adalah tim yang dibentuk oleh kepala Lapas
atau kepala rutan untuk melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan terhadap
narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib.
Pasal 2
1)
Setiap narapidana dan tahanan wajib mematuhi
tata tertib lapas atau rutan
2)
Tata tertib lapas atau rutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban dan larangan bagi Narapidana dan
Tahanan.
Bab II
Kewajiban dan Larangan
Setiap narapidana atau tahanan wajib :
a.
Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan atau
kepercayaan yang dianutnya serta memelihara kerukunan beragama
b.
Mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan
c.
Patuh, taat, dan hormat kepada petugas
d.
Mengenakan pakaian seragam yang telah
ditentukan
e.
Memelihara kerapihan dan berpakain sesuai
dengan norma kesopanan
f.
Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian
serta mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka kebersihan lingkungan
hunian dan
g.
Mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh
petugas pemasyarakatan
Pasal 4
Setiap Narapidana atau
Tahanan dilarang :
a. Melakukan
upaya melarikan diri atau membantu pelarian;
b. Memasuki Steril
Area atau tempat tertentu yang ditetapkan Kepala Lapas atau Rutan tanpa izin dari Petugas pemasyarakatan yang
berwenang;
c. Melawan atau
menghalangi Petugas Pemasyarakatandalam menjalankan tugas
d. Membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan
barang berharga lainnya;
e. Menyimpan,
membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika dan/atau prekursor narkotika serta obat-obatan
lain yang berbahaya;
f. Menyimpan,
membuat, membawa, mengedarkan, dan/ atau mengkonsumsi minuman yang mengandung
alkohol;
g. Melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas
angin, televisi, dan/atau elektronik lainnya;
h. Memiliki, membawa
dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti laptop atau komputer,
kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya;
i. Melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian;
j. Membuat
atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
k. Membawa
dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran;
l. Melakukan
tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, terhadap sesama
Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, atau tamu/pengunjung;
m. Mengeluarkan
perkataan yang bersifat provokatif yang dapat menimbulkan terjadinya
gangguan keamanan dan ketertiban;
n. Membuat tato,
memanjangkan rambut bagi Narapidana atau Tahanan Laki-laki, membuat tindik, mengenakan anting, atau lainnya yang
sejenis;
o. Memasuki blok
dan/atau kamar hunian lain tanpa izin Petugas Pemasyarakatan;
p. Melakukan aktifitas
yang dapat mengganggu atau membahayakan keselamatan pribadi atau Narapidana, Tahanan,
Petugas Pemasyarakatan, pengunjung, atau tamu.
q. Melakukan perusakan
terhadap fasilitas Lapas atau Rutan;
r. Melakukan
pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;
s. Menyebarkan ajaran sesat; dan
t. Melakukan aktifitas
lain yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan.
Pasal
5
Untuk menjaga ketertiban, Narapidana dan Tahanan
diperbolehkan membawa pakaian pribadi paling banyak 6 (enam) pasang.
Pasal
6
(1) Untuk kepentingan perawatan kesehatan atau pengobatan,
Narapidana atau Tahanan dapat mengkonsumsi
obat-obatan setelah mendapatkan izin
dan berada dalam pengawasan dokter dan/atau paramedis Lapas atau Rutan.
(2) Dalam hal
tidak terdapat dokter dan/atau paramedis Lapas atau Rutan maka izin dan pengawasannya dlakukan oleh dokter atau
paramedis
Pasal 7
(1) Untuk kepentingan
umum, Kepala Lapas atau KepalaRutan dapat
menyediakan:
a.
televisi dan/atau kipas angin; dan
b.
kantin yang dikelola oleh koperasi Lapas atau Rutan.
(2) Penyediaan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dengan
terlebih dahulu meminta pertimbangan sidang TPP.
BAB III
JENIS HUKUMAN DISIPLIN DAN PELANGGARAN
DISIPLIN
Pasal
8
Narapidana
atau Tahanan yang melanggar tata tertib, dijatuhi:
a.
hukuman disiplin tingkat ringan;
b. hukuman disiplin tingkat sedang; atau
c.
hukuman disiplin tingkat berat.
Pasal
9
(1) Hukuman Disiplin tingkat
ringan, meliputi:
a. memberikan peringatan secara
lisan; dan
b. memberikan peringatan secara
tertulis.
(2) Hukuman Disiplin tingkat sedang, meliputi:
a. memasukkan
dalam sel pengasingan paling lama 6 (enam) hari; dan
b. menunda atau
mendadakan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu berdasarkan
basil Sidang TPP.
(3) Menunda atau meniadakan hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa penundaan waktu
pelaksanaan kunjungan.
(4) Hukuman Disiplin tingkat berat, meliputi:
a. memasukkan
dalam sel pengasingan selama
6 (enam) hari clan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari;
dan
b. tidak
mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan
pembebasan bersyarat dalam tahun
berjalan dan dicatat dalam register F dan.
(5) Untuk alasan
kepentingan keamanan, seorang Narapidana/Tahanan dapat dimasukkan dalam pengasingan dan dicatat dalam register H.
Pasal
10
(1) Penjatuhan
hukuman disiplin tingkat ringan bagi Narapidana dan Tahanan yang melakukan pelanggaran:
a. tidak menjaga kebersihan din
dan lingkungan;
b. meninggalkan blok hunian
tanpa izin kepada petugas blok;
c. tidak
mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
d. tidak mengikuti
apel pada waktu yang telah ditentukan;
e. mengenakan
anting, kalung, cincin, dan ikat pinggang;
f. melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak
pantas dan melanggar norma kesopanan atau kesusilaan; dan
g. melakukan
tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang tim pengamat pemasyarakatan termasuk
dalam perbuatan yang dapat
(2) Narapidana dan Tahanan yang dijatuhi Hukuman Disiplin tingkat
sedang jika melakukan pelanggaran:
a. memasuki
Steril Area tanpa ijin petugas;
b. membuat taco dan/atau
peralatannya, tindik, atau sejenisnya;
c. melakukan
aktifitas yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri atau orang lain;
d. melakukan
perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas yang melanggar norma keagamaan;
e. melakukan aktifitas jual
beli atau utang piutang;
f. melakukan. perbuatan yang
termasuk dalam kategori yang mendapatkan Hukuman Disiplin tingkat ringan secara
berulang lebih dari 1 (satu) kali; dan
g.
melakukan tindakan yang berdasarkan
pertimbangan sidang tim pengamat
pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang dapat dikenakan Hukuman
Disiplin tingkat sedang.
(3) Narapidana dan
Tahanan yang dijatuhi Hukuman Disiplin tingkat berat jika melakukan pelanggaran:
a. tidak
mengikuti program pembinaan yang telah ditetapkan;
b. mengancam,
melawan, atau melakukan penyerangan terhadap Petugas;
c. membuat atau
menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
d. merusak
fasilitas
Lapas atau Rutan;
e. mengancam,
memprovokasi, atau perbuatan lain yang menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban;
f. memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau
alat elektronik;
g. membuat,
membawa, menyimpan, mengedarkan atau mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;
h. membuat,
membawa, menyimpan, mengedarkan, atau mengkonsumsi narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif lainnya;
i. melakukan upaya melarikan diri atau membantu Narapidana
atau Tahanan lain untuk melarikan diri;
j. melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni
maupun petugas;
k. melakukan pemasangan
atau menyuruh orang lain melakukan pemasangan
instalasi listrik di dalam kamar human;
1.
melengkapi
untuk kepentingan pribadi di luar ketentuan yang berlaku dengan alat pendingin, kipas angin, kompor,
televisi, slot pintu, dan/atau alat elektronik lainnya di kamar hunian;
m. melakukan
perbuatan asusila atau penyimpangan seksual;
n. melakukan
pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;
o. menyebarkan
ajaran sesat;
p. melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori
yang mendapatkan hukuman disiplin
tingkat sedang secara berulang lebih dari
1 (satu) kali atau perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban berdasarkan penilaian
sidang TPP; dan
q. melakukan
tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang TPP termasuk dalam
perbuatan yang dapat dikenakan Hukuman
Disiplin tingkat berat.
BAB
IV
PENJATUHAN
HUKUMAN DISIPLIN
Pasal
12
(1) Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran
tata tertib wajib dilakukan pemeriksaan
awal oleh kepala pengamanan sebelum dijatuhi
hukuman disiplin.
(2) Hasil pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1) disampaikan kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan sebagai dasar bagi pelaksanaan pemeriksaan selanjutnya.
Pasal 13
(1) Kepala Lapas atau Kepala Rutan membentuk tim pemeriksa untuk memeriksa basil pemeriksaan awal.
(2) Tim pemeriksa
mempunyal tugas memeriksa Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib.
(3) Hasil pemeriksaan dituangkan
ke
dalam berita acara pemeriksaan serta harus
ditandatangani oleh Narapidana atau Tahanan dan tim pemeriksa.
(4) Sebelum
ditandatangani, terperiksa diberikan
kesempatan untuk membaca hasil pemeriksaan.
Pasal
14
(1)
Tim pemeriksa
menyampaikan berita acara pemeriksaan kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan.
(2)
Kepala Lapas atau
Kepala Rutan wajib menyampaikan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada tim pengamat pemasyararakatan dalam jangka waktu paling lama 2 x 24
(dua kali dua puluh empat) jam terhitung
sejak tanggal berita acara diterima.
(3)
TPP melaksanakan
sidang untuk membahas penjatuhan disiplin terhadap Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggarandalam
jangka waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh
empat) jam terhitung sejak tanggal berita
acara pemeriksaan diterima.
Pasal
15
(1) Sebelum dijatuhi Hukuman Disiplin, Narapidana atau Tahanan
dapat dikenakantindakan disiplin.
(2) Tindakan
disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penempatan
sementara dalam sel pengasingan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) hari.
Pasal 16
Dalam hal Tahanan mendapatkan Hukuman Disiplin, Kepala
Lapas atau Kepala Rutan segera menyampaikan
pemberitahuan kepadapejabat yang berwenang menahan.
Pasal 17
Dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh Narapidana atau
Tahanan diduga tindak pidana,
Kepala Lapas atau Kepala Rutan meneruskan kepada instansi yang berwenang.
BAB
III
PENUTUP
Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada
suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
Solusi lain untuk mengantisipasi
kerusuhan lapas yaitu perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola
pendekatan terhadap para warga binaan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidja Priyatno, 2006, Sistem
Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditamma.
Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , Jakarta:
Sarwoko, 1986.
[2]Dwidja Priyatno, 2006, Sistem
Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung, Refika Aditamma),
hal. 87.
[3]Abdul Hakim G.
Nusantara, Hukum Acara Pidana , (jakarta: Sarwoko, 1986), h.
61-66.
Belum ada tanggapan untuk " MAKALAH TENTANG RUTAN ATAU LAPAS "
Post a Comment