CERITA CUT NYAK DIEN
CUT Nyak
Dien, nama pejuang wanita asal Aceh Barat ini dikenal luas sebagai pahlawan
nasional yang gigih melawan penjajah Belanda sejak perang Aceh meletus pada
1873.
Karena semangat perjuangannya melawan penjajahan Belanda pada 11 Desember 1906, beliau dibuang jauh dari tanah asalnya ke sebuah daerah terpencil, sekitar 45 kilometer Timur Laut Kota Bandung, yakni di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Bagi masyarakat Sumedang, Cut Nyak Dien tak sekadar pahlawan nasional, semasa tinggal di Sumedang selama dua tahun dari sejak kedatangannya pada 11 Desember 1906 hingga wafatnya pada 6 November 1908, Cut NYak Dien begitu dihormati dan dikagumi masyarakat Sumedang karena seorang hafidz Alquran, dan turut mensyiarkan Islam di tanah bekas kerajaan Sumedang Larang ini.
Karena semangat perjuangannya melawan penjajahan Belanda pada 11 Desember 1906, beliau dibuang jauh dari tanah asalnya ke sebuah daerah terpencil, sekitar 45 kilometer Timur Laut Kota Bandung, yakni di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat.
Bagi masyarakat Sumedang, Cut Nyak Dien tak sekadar pahlawan nasional, semasa tinggal di Sumedang selama dua tahun dari sejak kedatangannya pada 11 Desember 1906 hingga wafatnya pada 6 November 1908, Cut NYak Dien begitu dihormati dan dikagumi masyarakat Sumedang karena seorang hafidz Alquran, dan turut mensyiarkan Islam di tanah bekas kerajaan Sumedang Larang ini.
Juru Pelihara Makam Cut Nyak Dien dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang Banten, Feni Yuliani Amijaya (40) didampingi Juru Pelihara Rumah Cut Nyak Dien Nenden Dewi Rosita (49), mengatakan, Cut Nyak Dien tiba di Sumedang pada 11 Desember 1906.
"Oleh pemerintah kolonial Belanda di bawah Gubernur Jenderal Belanda J.B.V. Heuts, Cut Nyak Dien diserahkan kepada Bupati Sumedang pada saat itu, Pangeran Suriaatmadja (Pangeran Mekah). Saat itu dia didampingi dua orang pengawalnya, yakni pria paruh baya bekas panglima perang, dan seorang anak berusia 15 tahun bernama Teuku Nana. Tapi pada saat diserahkan itu, Belanda merahasiakan identitas beliau," ujar Feni ditemui di bekas rumah tinggal Cut Nyak Dien di Sumedang.
Kemudian, kata Feni, Pangeran Mekah menyerahkan Cut Nyak Dien kepada ulama besar Masjid Agung Sumedang KH Sanusi. Berhubung pada saat itu, rumah KH Sanusi tengah direnovasi, KH Sanusi membawa Cut Nyak Dien untuk tinggal di rumah H Ilyas dan istrinya Siti Soleha.
"Sejak tiba di Sumedang dan tinggal bersama keluarga H Ilyas, kondisi beliau sudah sakit-sakitan dan matanya sudah tidak bisa melihat, tapi dengan kemampuan beliau yang hafal Alquran di luar kepala, membuat warga Sumedang, khususnya ibu-ibu di lingkungan Masjid Agung Sumedang, kagum terhadap beliau dan meminta beliau untuk mengajari ibu-ibu dan warga lainnya membaca Alquran," tuturnya.
....
Selain diminta warga mengajar baca Alquran di Masjid Agung Sumedang, Cut Nyak Dien juga rutin menggelar pengajian di rumah tinggal H Ilyas.
Selain diminta warga mengajar baca Alquran di Masjid Agung Sumedang, Cut Nyak Dien juga rutin menggelar pengajian di rumah tinggal H Ilyas.
"Pada saat itu, Nenek saya, Ibu Samsiah, saudara dekat pemilik rumah, H Ilyas, yang mengurus langsung beliau, bercerita ke saya, saking kagumnya warga terhadap sosok Cut Nyak Dien, saat itu, warga menyebut beliau sebagai Ibu Perbu (Ibu Ratu) dari Seberang, dan Ibu Suci karena beliau hafidz Alquran," tutur Nenden.
Meski identitas asli Cut Nyak Dien semasa tinggal di Sumedang hingga jauh setelah beliau wafat tidak diketahui warga, Cut Nyak Dien menjadi sosok yang dikagumi warga Sumedang karena beberapa alasan.
"Selain beliau hafidz Alquran dan mengajarkan Alquran hingga turut mensyiarkan Islam di Sumedang pada masanya, beliau dihormati juga karena merupakan amanat Bupati Sumedang Pangeran Mekah, yang meminta KH Sanusi dan warga Sumedang lainnya merawat beliau dengan baik. Karena dititipkan kepada Ulama Sumedang pula, pada saat itu beliau dekat dengan para ulama, karena itu beliau begitu disegani dan sebagai ungkapan penghormatan itu beliau disebut Ibu Perbu dan Ibu Suci," tuturnya.
Hingga Cut Nyak Dien wafat pada tanggal 6 November 1908, tak ada seorang warga Sumedang pun yang mengetahui identitas asli beliau sebagai seorang pejuang wanita asal Aceh.
Ini karena, menurut Nenden, selain identitas aslinya dirahasiakan Belanda, juga terkendala perbedaan bahasa antara Cut Nyak Dien dengan warga sekitar yang mayoritas berbahasa Sunda.
"Nenek saya pun hanya bilang beliau itu sebagai Ibu Perbu dari Seberang. Karena selain mengajarkan Alquran, jarang sekali ada warga di sini yang berkomunikasi secara langsung dengan beliau," ucapnya.
....
Asal usul Ratu Perbu dari Seberang ini baru diketahui, kata Feni, setelah Gubernur Aceh Prof Ali Hasmy melakukan pencarian dan penelusuran sejarah terkait Cut Nyak Dien sekitar tahun 1958.
Asal usul Ratu Perbu dari Seberang ini baru diketahui, kata Feni, setelah Gubernur Aceh Prof Ali Hasmy melakukan pencarian dan penelusuran sejarah terkait Cut Nyak Dien sekitar tahun 1958.
"Pada tahun itu, Gubernur Aceh waktu itu, Pak Ali Hasmy menemukan data terkait informasi Cut Nyak Dien di Negeri Belanda. Dari data dan informasi itu, gubernur Aceh kemudian melakukan pencarian hingga ke Sumedang hingga akhirnya diketahui bahwa sosok perempuan yang disebut-sebut sebagai Ibu Perbu dari Seberang yang dimakamkan di kompleks Pemakaman Keluarga KH Sanusi (kompleks pemakaman leluhur Sumedang lainnya dari Pangeran Sugih, ayah dari Bupati Sumedang Pangeran Mekah) yang kini dikenal sebagai Kompleks Makam Keluarga Gunung Puyuh tersebut adalah Cut Nyak Dien," paparnya.
Berkat jasa Gubernur Aceh Ali Hasmy itu pula, identitas pejuang wanita dari Aceh yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 106/1964, tanggal 2 Mei 1964 itu diketahui merupakan Cut Nyak Dien.
Namun, kata Feni, makam Cut Nyak Dien baru direnovasi pada tahun 1987 oleh Gubernur Aceh Prof. Ibrahim Hasan. Selain bangunan makam pada tahun itu pula di sekitar makam di bangun Meunasah (mushala).
Makam Cut Nyak Dien dengan luas bangunan 30, 24 meter persegi dan luas lahan 2990 meter persegi di kompleks Pemakaman Keluarga Gunung Puyuh di Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang pun diresmikan oleh Gubernur Ibrahim Hasan pada tahun 1987 tersebut.
"Saking cintanya masyarakat Sumedang pada sosok Cut Nyak Dien, ketika ada wacana, orang Aceh hendak memindahkan makamnya ke Aceh, warga Sumedang bulat menolak. Ini karena beliau sudah dianggap warga Sumedang sebagai Ibu mereka sendiri dan adanya keterikatan yang sangat kuat antara warga Sumedang dengan beliau. Selain itu, warga Sumedang menolak makam Cut Nyak Dien dipindahkan juga karena warga Sumedang menginginkan agar tali silaturahmi antara warga Sumedang dengan Aceh tetap terjalin dengan baik. Hingga akhirnya, dengan penolakan ini masyarakat Aceh mengurungkan niatnya untuk memindahkan makam beliau ke Aceh," sebutnya.
Pada tahun 2016 ini, kata Feni, melalui BPCB Serang Banten, makam Cut Nyak Dien tengah diusulkan menjadi makam cagar budaya Skala Nasional. "Saat ini masih proses pengajuan, mudah-mudahan bisa segera terealisasi," katanya.
Rumah bekal tinggal Cut Nyak Dien di Jalan Pangeran Suriaatmadja, Nomor 174 A, Lingkungan Kaum, Kelurahan Regol Wetan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang yang dijadikan situs sejarah dibawah pemeliharaan BPCB Serang Banten terpaksa direnovasi.
Alasannya,
pada 2 September 2009, kondisi rumah singgah Cut Nyak Dien ini rusak dan miring
akibat diterjang gempa 7, 6 SR yang melanda Tasikmalaya.
"Karena gempa itu, kondisi rumah rusak dan miring. Karena itu, pada Desember 2009, terpaksa, rumah direnovasi. Perbaikan rumah sendiri dilakukan/dikembalikan sesuai posisi awal dengan menggunakan kembali bahan-bahan asli/asalnya dengan menggunakan dana bantaun dari Pemprov Aceh dan BPCB Serang Banten senilai Rp150 juta," kata Nenden.
Nenden menuturkan, kondisi lingkungan sekitar rumah sendiri saat ini sudah jauh berubah bila dibandingkan dengan kondisi semasa Cut Nyak Dien hidup dan tinggal di sana.
"Dulunya hanya ada beberapa rumah saja. Dari rumah ini, juga masih bisa terlihat Masjid Agung Sumedang karena jarak dari rumah tinggal Cut Nyak Dien ke Masjid Agung Sumedang hanya sekitar 150 meter.
Saat ini, kata Nenden, rumah tersebut ditempati oleh dia dan suaminya, Dadang (60), dan dua orang anaknya M Ali Al Qori (15) dan Siti Fatimah Zakiyah (5).
"Karena gempa itu, kondisi rumah rusak dan miring. Karena itu, pada Desember 2009, terpaksa, rumah direnovasi. Perbaikan rumah sendiri dilakukan/dikembalikan sesuai posisi awal dengan menggunakan kembali bahan-bahan asli/asalnya dengan menggunakan dana bantaun dari Pemprov Aceh dan BPCB Serang Banten senilai Rp150 juta," kata Nenden.
Nenden menuturkan, kondisi lingkungan sekitar rumah sendiri saat ini sudah jauh berubah bila dibandingkan dengan kondisi semasa Cut Nyak Dien hidup dan tinggal di sana.
"Dulunya hanya ada beberapa rumah saja. Dari rumah ini, juga masih bisa terlihat Masjid Agung Sumedang karena jarak dari rumah tinggal Cut Nyak Dien ke Masjid Agung Sumedang hanya sekitar 150 meter.
Saat ini, kata Nenden, rumah tersebut ditempati oleh dia dan suaminya, Dadang (60), dan dua orang anaknya M Ali Al Qori (15) dan Siti Fatimah Zakiyah (5).
"Sebelum
oleh saya, rumah ini ditinggali Ibu saya E. Aisyah, dan nenek saya Ibu Samsiah,
yang mengurus Cut Nyak Dien semasa hidup, pemilik rumah H Ilyah mewariskan
rumah ini kepada Ibu Samsiah. Sampai saat ini kami terus berupaya menjaga
keaslian bangunannya tanpa menambah dan mengurangi bangunan yang ada. Bahan
bangunan sendiri didominasi kayu jati. Selain rumah ini, tidak ada peninggalan
lain yang ditinggalkan beliau, karena saat pertama kali datang beliau tidak
membawa apa-apa, selain dikawal dua orang pengikutnya itu," tuturnya.
Bagi masyarakat Sumedang, sosok Cut Nyak Dien merupakan sosok teladan, pribadi yang tangguh, penebar semangat pantang menyerah.
"Ini
karena, semasa beliau tinggal di Sumedang ini, meski kondisinya sudah tua,
sakit-sakitan dan berada jauh dari tempat kelahiran dan keluarganya, namun
tetap menginsiprasi dengan semangatnya untuk tetap hidup dan bertahan di daerah
pengasingan, bahkan, beliau juga dengan semangat hidupnya tetap memberi dengan
cara mengajarkan warga Sumedang pada masanya, membaca Alquran," ucap Feni.
Tak heran, kata dia, bila hingga saat ini, warga dari berbagai daerah terutama Aceh datang berziarah ke makamnya dan rumah pengasingannya di Sumedang.
Tak heran, kata dia, bila hingga saat ini, warga dari berbagai daerah terutama Aceh datang berziarah ke makamnya dan rumah pengasingannya di Sumedang.
"Alhamdulillah, setiap bulannya, perziarah yang datang mencapai lebih dari 1.000 orang, dari berbagai daerah, terutama dari Aceh. Bahkan, pada bulan Mulud, Idul Fitri, Idul Adha, dan libur sekolah total peziarah selalu diatas 2.000 orang," tuturnya.
Ditemui terpisah, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Sumedang Eem Hendrawan melalui Kepala Bidang Kebudayaan Rusyana mengaku, Pemkab Sumedang berkomitmen menjaga dan memelihara seluruh peninggalan Cut Nyak Dien yang ada di Sumedang, mulai dari rumah tinggal hingga makam.
"Meski status beliau sebagai orang yang dibuang oleh Belanda ke Sumedang. Tapi kami sangat bangga karena beliau pernah tinggal dan dimakamkan di sini. kehadiran Cut Nyak Dien di Sumedang menambah keyakinan masyarakat Sumedang, dan jadi pemicu semangat yang memberi inspirasi secara moral bagi Sumedang untuk memperjuangkan daerahnya," ucapnya didampingi Kasi Kepurbakalaan dan Sejarah Disdikbud Wawan Herlawan.
Upaya untuk mengenang jasa Cut Nyak Dien bagi Sumedang, kata Wawan, pihak Disdikbud Sumedang, mengajak pihak sekolah dan seluruh pelajar, tingkat TK hingga SMA di Kabupaten Sumedang, rutin berziarah ke makam Cut Nyak Dien.
"Budaya ziarah ke makam Cut Nyak Dien, sebagai pahlawan nasional ini kami tanamkan kepada para pelajar agar mereka mampu meneladani sosok Cut Nyak Dien, yang karena sangat bencinya penjajah Belanda, karena dianggap sosok berbahaya, hingga beliau harus diasingkan ke Sumedang. Padahal, sejak ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sumedang, beliau hanya seorang perempuan tua yang sudah sakit-sakitan dan tidak bisa melihat," terangnya.
No comments:
Post a Comment