Friday 4 September 2015

MAKALAH TENTANG RUTAN ATAU LAPAS

BAB I
PEMBAHASAN

A.      Latar Belakang
          Dalam pasal angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dan juga merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
          Rumah Tahanan Negara / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Rutan / Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Rumah Tahanan Negara / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan.
          Perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para warga binaan untuk solusi lain mengantisipasi kerusuhan rutan / lapas.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
          Rumah Tahanan (Rutan) / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. (Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan). Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).

B.     Sejarah Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
          Menurut keputusan lama sampai modifikasi hukum Prancis yang dibuat pada tahun 1670 belum dikenal pidana penjara, terkecuali dalam tindakan penyandraan dengan penembusan uang atau penggantian hukuman mati sebelum di tentukan keringanan hukuman dengan cara lain. Di inggris abad pertengahan kurang lebih tahun 1200-1400 di kenal hukum kurungan gereja dalam sel (cell) dan pidana penjara bentuk kuno di Bridwedell (pertengahan abad ke 16) yang dilanjutkan dengan bentuk pidana penjara untuk bekerja menurut Act of 1576 dan Act of 1609 dan pidana penjara untuk dikurung menurut ketentuan Act of 1711. Dalam hal ini Howard Jones menerangkan, bahwa sejak zaman raja Mesir pada tahun 2000 sebelum Masehi (SM) di kenal pidana penjara dalam arti penahanan selama menunggu pengadilan, dan ada kala sebagai penahanan untuk keperluan lainmenurut romawi dari jaman Justianus abad 5 (SM).
          Karena pemberian pekerjaan dianggap salah satu daya upaya untuk memperbaiki akhlak terhukum, maka timbulah sistem campuran, yaitu :
a.       Pada waktu malam ditutup sendirian,
b.       Pada waktu siang bekerja bersama-sama.
          Pada waktu bekerja mereka dilarang bercakap-cakap mengenai hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.Oleh karenanya maka sistem ini dinamakan pula “Silent System”.
          Sedangkan sejarah adanya Rutan / Lembaga Pemasyarakatan ini di Indonesia terkait dengan sejarah berdirinya negara tercinta ini, yang memiliki masa-masa pahit tatkala Belanda dan Jepang menancapkan cakar tajamnya di masa penjajahan.Masa demi masa terlewati, mengukir catatan demi catatan.Masing-masing masa memiliki sejarahnya tersendiri.
          Periode pidana kerja paksa di Indonesia berlangsung sejak pertengahan abad ke-XIX atau tepatnya mulai tahun 1872 hingga 1905. Ditandai dengan dua jenis hukum pidana; pertama, hukum pidana khusus untuk orang Indonesia ;dan yang kedua, pidana khusus untuk orang Eropa. Bagi orang Indonesia dan golongan Timur Asing berlaku Kitab Undang-undang Hukum Pidana khusus, yakni “Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie”, artinya Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang pribumi di Hindia Belanda.Pada saat itu orang Indonesia disebut dengan “Inlanders”.Pada periode ini pidana kerja merupakan bentuk pemindanaan yang seringkali dijatuhkan pada “inlanders”. Lama pidana kerja sangat bervariasi bisa seumur hidup, atau minimal satu hari. Sedangkan pidana kerja terbagi menjadi dua, yakni kerja paksa (dwang arbeid) dan dipekerjakan (ter arbeid stellen). Kerja paksa yang lamanya lebih dari lima tahun dilakukan dengan dirantai (dwang arbeid aan de ketting), yang di bawah lima tahun tanpa dirantai (dwang erbeid buiten de ketting). Sedangkan yang satu tahun ke bawah disebut dengan istilah “dipekerjakan” (ter arbeid stellen), dan yang di bawah tiga bulan disebut “krakal”.
          Rutan / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan tahap akhir dari sistem peradilan pidana.Sistem peradilan pidana sendiri terdiri dari 4 (empat) sub-sistem yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Rutan / Rutan / Lembaga Pemasyarakatan. Sub-sistem Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sebagai sub-sistem terakhir dari sistem peradilan pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan pembinaan terhadap terpidana khususnya pidana pencabutan kemerdekaan. Dengan demikian berhasil tidaknya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana baik tujuan jangka pendek yaitu rehabilitasi dan resosialisasi narapidana, tujuan jangka menengah untuk menekan kejahatan serta tujuan jangka panjang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di samping ditentukan/dipengaruhi oleh sub-sub sistem peradilan pidana yang lain yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, selebihnya juga sangat ditentu¬kan oleh pembinaan yang dilakukan Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksanaan dari pidana pencabutan kemerdekaan, khususnya pidana penjara.
          Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah pembinaan narapidana yang berdasarkan sistem pemasyarakatan berupaya untuk mewujudkan pemidanaan yang integratif yaitu membina dan mengembalikan kesatuan hidup masyarakat yang baik dan berguna. Dengan perkataan lain Rutan / Lembaga Pemasyarakatan melaksanakan rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi dan perlindungan baik terhadap narapidana serta masyarakat di dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Dengan sistem pemasyarakatan sebagai dasar pola pembinaan narapidana di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan diharapkan dapat berhasil dalam mencapai tujuan resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana/narapidana, maka pada gilirannya akan dapat menekan kejahatan dan pada akhirnya dapat mencapai kesejahteraan sosial seperti tujuan sistem peradilan pidana (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang). Dengan demikian keberhasilan sistem pemasyarakatan di dalam pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan akan berpengaruh pada keberhasilan pencapaian tujuan sistem peradilan pidana.

C.    Klasifikasi Penghuni Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
          Penghuni Rutan / Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim.
          Sesuai Undang Undang Nomor 12 Tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan. Penghuni suatu Rutan / Lembaga Pemasyarakatan atau orang-orang tahanan itu terdiri dari :
1.      Mereka yang menjalankan pidana penjara dan pidana kurungan;
2.      Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara;
3.      Orang-orang yang disandera.
4.      Lain-lain orang yang tidak menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan, akan tetapi secara sah telah dimasukkan ke dalam Rutan / Lembaga Pemasyarakatan.
         
          Golongan orang-orang yang dapat dimasukkan atau ditempatkan di dalam Rutan / Lembaga Pemasyarakatan itu ialah :
1.      Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak kejaksaan;
2.      Mereka yang ditahan secara sah oleh pihak pengadilan;
3.       Mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana hilang kemerdekaan oleh pengadilan negeri setempat;
4.      Mereka yang dikenakan pidana kurungan;
5.       Mereka yang tidak menjalani pidana hilang kemerdekaan, akan tetapi dimasukkan ke Rutan / Lembaga Pemasyarakatan secara sah.

D.     Fungsi Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
          Pada dasarnya Rutan / Lembaga Pemasyarakatan mempunyai beberapa fungsi antara lain:
·         Memberikan pedoman bagi anggota masyarakat, bagai mana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
·         Menjaga keutuhan masyarakat.
·         Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian social (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.
          Fungsi-fungsi diatas menyatakan bahwa apabila seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka harus pula diperhatikan secara teliti lembaga-Rutan / Lembaga Pemasyarakatan di masyarakat yang bersangkutan.
          Rutan / Lembaga Pemasyarakatan berfungsi sebagai pedoman perilaku atau sikap tindak manusia dan merupakan salah satu sarana untuk memelihara dan mengembangkan integrasi di dalam masyarakat.  Namun demikian, tidak semua norma di dalam masyarakat dengan sendirinya menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu.   Hal ini tergantung pada proses pelembagaan dari norma-norma tersebut sehingga menjadi bagian dari suatu lembaga sosial tertentu ( Soekanto dan Taneko, 1984).
          Literatur yang saya diambil dari (http://sosiologi-era.blogspot.com) menyatakan bahwa Fungsi Rutan / Lembaga Pemasyarakatan:
·         Memberi pedoman kepada anggota masyarakat bagaimana mereka harus bersikap dalam menghadapi masalah dalam masyarakat.
·         Menjaga keutuhan masyarakat yang bersangkutan.
·         Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control) dan sistem pengawasan masyarakat terhadap perilaku anggotanya.

E.      Proses Pembinaan Narapidana dalam Sistem Pemasyarakatan
          Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjopada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.
          Saat seorang narapidana menjalani vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan, maka hak-haknya sebagai warga negara akan dibatasi. Walaupun terpidana kehilangan kemerdekaannya, tapi ada hak-hak narapidana yang tetap dilindungi dalam sistem pemasyarakatan Indonesia.
          Untuk melaksanakan pembinaan-pembinaan tersebut, dikenal empat tahap proses pembinaan, yaitu :
1.       Tahap pertama. Setiap narapidana yang ditempatkan di dalam Rutan / Lembaga Pemasyarakatan itu dilakukan penelitian untuk mengetahui segala hal tentang diri narapidana, termasuk tentang apa sebabnya mereka telah melakukan pelanggaran, berikut segala keterangan tentang diri mereka yang dapat diperoleh dari keluarga mereka, dari bekas majikan atau atasan mereka, dari teman sepekerjaan mereka, dari orang yang menjadi korban perbuatan mereka dan dari petugas instansi lain yang menangani perkara mereka.
2.       Tahap kedua. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama sepertiga dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan, antara lain ia menunjukkan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada peraturan-peraturan tata tertib yang berlaku di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan, maka kepadanya diberikan lebih banyak kebebasan dengan memberlakukan tingkat pengawasan medium security
3.       Tahap ketiga. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama setengah dari masa pidananya yang sebenarnya, dan menurut pendapat dari Dewan Pembina Pemasyarakatan telah dicapai cukup kemajuan baik secara fisik maupun secara mental dan dari segi keterampilan, maka wadah proses pembinaan diperluas dengan memperbolehkan narapidana yang bersangkutan mengadakan asimilasi dengan masyarakat di luar Rutan / Lembaga Pemasyarakatan.
4.       Tahap keempat. Jika proses pembinaan terhadap seseorang narapidana itu telah berlangsung selama dua per tiga dari masa pidananya yang sebenarnya atau sekurang-kurangnya sembilan bulan, kepada narapidana tersebut dapat diberikan lepas bersyarat, yang penetapan tentang pengusulannya ditentukan oleh Dewan Pembina Pemasyarakatan.

F.      Identifikasi Sarana dan Prasarana Pendukung Pembinaan
          Dalam proses pembinaan narapidana oleh Rutan / Lembaga Pemasyarakatan dibutuhkan sarana dan prasarana pedukung guna mencapai keberhasilan yang ingin dicapai. Sarana dan prasarana tersebut meliputi :
1.       Sarana Gedung Pemasyarakatan
          Gedung Pemasyarakatan merupakan representasi keadaan penghuni di dalamnya. Keadaan gedung yang layak dapat mendukung proses pembinaan yang sesuai harapan. Di Indonesia sendiri, sebagian besar bangunan Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan warisan kolonial, dengan kondisi infrastruktur yang terkesan ”angker” dan keras. Tembok tinggi yang mengelilingi dengan teralis besi menambah kesan seram penghuninya.
2.       Pembinaan Narapidana
          Bahwa sarana untuk pendidikan keterampilan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan sangat terbatas, baik dalam jumlahnya maupun dalam jenisnya, dan bahkan ada sarana yang sudah demikian lama sehingga tidak berfungsi lagi, atau kalau toh berfungsi, hasilnya tidak memadai dengan barang-barang yang diproduksikan di luar (hasil produksi perusahan).
3.       Petugas Pembinaan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
          Petugas pemasyarakatan adalah pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan.Berkenaan dengan masalah petugas pembinaan di Rutan / Lembaga Pemasyarakatan, ternyata dapat dikatakan belum sepenuhnya dapat menunjang tercapainya tujuan dari pembinaan itu sendiri, mengingat sebagian besar dari mereka relatif belum ditunjang oleh bekal kecakapan melakukan pembinaan dengan pendekatan humanis yang dapat menyentuh perasaan para narapidana, dan mampu berdaya cipta dalam melakukan pembinaan. 

G.    Paradigma Sistem Pembinaan Narapidana
          Ironis, hampir seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh Sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik dalam menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana “kerusakan” yang ditimbulkan oleh tindak kejahatan tersebut masih bisa di restorasi sehingga kondisi  yang telah “rusak” dapat dikembalikan menuju keadaan semula, di mana dalam keadilan restoratif mi dimungkinkan adanya penghilangan stigma dari individu pelaku.
          Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat direstorasi kembali, dikenal suatu paradigma penghukuman yang disebut sebagai restorative justice, di mana pelaku kejahatan didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya dan juga masyarakat.Berkaitan dengan kejahatan yang kerusakannya masih bisa diperbaiki, pada dasarnya masyarakat menginginkan agar bagi pelaku diberikan “pelayanan” yang bersifat rehabilitatif. Masyarakat mengharapkan para pelaku kejahatan akan menjadi lebih baik dibanding sebelum mereka masuk kedalam institusi penjara, inilah yang dimaksud proses rehabilitasi.
          Kebutuhan dan keselamatan korban menjadi perhatian yang utama dari prosesrestorative justice. Korban harus didukung dan dapat dilibatkan secara langsung dalam proses penentuan kebutuhan hasil akhir dari kasus tindak pidana yang dialaminya. Namun dengan demikian bukan berarti kebutuhan pelaku tindak pidana diabaikan.Pelaku tindak pidana harus direhabilitasi dan di-reintegrasikan ke dalam masyarakat.Konsekuensi dari kondisi mi mengakibatkan perlunya dilakukan pertukaran informasi antara korban dan pelaku tindak pidana secara langsung dan terjadinya kesepakatan yang saling menguntungkan di antara keduanya sebagai hasil akhir dari tindak pidana yang terjadi.

H.      Berbagai  Permasalahan dalam Rutan / Lembaga Pemasyarakatan
          Kerusuhan dan pembakaran di Lapas Kelas II A Labuhan Ruku, Batubara, Sumatera Utara yang terjadi pada Minggu (18/8) sekitar pukul 17.00 WIB merupakan kerusuhan kelima yang terjadi di lapas di seluruh nusantara sejak Januari 2013. Akibat kejadian tersebut, sebagian bangunan lapas yang terletak di Desa Paham, Kecamatan Talawi, Kabupaten Batubara habis terbakar dan beberapa narapidana kabur melarikan diri.Data menunjukkan bahwa daya tampung Rutan Lapas Labuhan Ruku maksimal untuk 300 narapidana, namun saat kejadian kerusuhan dihuni oleh 867 narapidana.Lapas Labuhan Ruku sudah melebihi kapasitas, hampir 3 kali lipat dari kapasitas daya tamping.
          Sebulan sebelumnya, tepatnya pada 17 Juli 2013, kerusuhan juga terjadi di Rumah Tahanan (Rutan) Batam dan kejadian tersebut menyebabkan beberapa narapidana kabur dan sejumlah bangunan rutan dirusak.Masih di bulan Juli 2013, yakni pada tanggal 11, kerusuhan besar melanda Lapas Tanjung Gusta Medan dan yang menyebabkan lima sipir tewas, 211 narapidana kabur, serta bangunan lapas dan dokumen penting dibakar. Pada 21 Februari Lapas Krobokan Bali juga terjadi kerusuhan dan sejumlah bangunan dibakar; dan pada 21 Januari di Lapas Salemba Jakarta juga terjadi baku pukul narapidana antarblok.
          Rentetan kerusuhan yang melanda lapas sejak Januari hingga Agustus 2013 bagi Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Jawa Tengah, Suwarso, merupakan pelajaran untuk lebih meningkatkan kewaspadaan meskipun dalam sejarah di Jawa Tengah tidak pernah terjadi kerusuhan seperti di Labuhan Ruku maupun Tanjung Gusta. Kerusuhan di lapas menurut Suwarso, rentan terjadi dengan beragam alasan di antaranya karena berlebihnya kapasitas; keterbatasan petugas, sarana, dan prasarana termasuk teknologi; serta emosi dari narapidana yang tidak dapat diprediksi.
          Sebagai minimatur beragamnya permasalahan di masyarakat, para narapidana dapat saja memiliki tingkat stres dan temperamental yang tinggi sehingga dapat menjadi salah satu pemicu kerusuhan."Namanya juga lapas yang merupakan tempat berkumpul narapidana dan kapan saja bisa terjadi kerusuhan.Temperamental dan stres tinggi karena bertahun-tahun dipenjara misalnya," katanya.Atas dasar sejumlah kemungkinan yang mungkin terjadi tersebut, pihaknya juga memetakan sejumlah kemungkinan dan antisipasi yang perlu dilakukan.
          Terkait dengan kelebihan kapasitas, Suwarno menyebutkan jumlah rutan dan lapas di wilayah Jawa Tengah terdapat 44 buah dengan total penghuninya sekitar 11 ribuan orang. Ia mencontohkan di Rutan/Lapas Kedungpane Semarang yang berkapasitas 500 hingga 600 narapidana, tetapi diisi lebih 1.000 narapidana. Rumah tahanan di Kabupaten Boyolali dengan delapan ruangan tahanan berkapasitas 87 penghuni, tetapi dihuni 113 orang.
          Meskipun lapas dan rutan di Jateng sebagian besar melampaui kapasitas standar, Suwarno mengaku, Jateng justru menjadi daerah kiriman dari sejumlah wilayah dengan Rutan/lapas melampaui kapasitas seperti Jakarta dan Medan .Sementara keterbatasan petugas pengamanan terlihat dari tidak berbanding lurusnya antara jumlah petugas dengan jumlah penghuni lapas maupun rutan, seperti di Rutan/Lapas Kedungpane Semarang terdapat 1.061 narapidana, sedangkan jumlah petugas keamanan sebanyak 13 orang setiap giliran tugas. Lapas di Nusakambangan dengan penghuni rata-rata 300 hingga 500 narapidana juga hanya dijaga empat petugas setiap giliran jaga atau masih jauh dari standar.

Solusi
          Menimbang     :      a.    Bahwa untuk menjamin terselenggaranya tertib kehidupan di rutan / lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan Negara dan agar terlaksananya pembinaan narapidana dan pelayanan tahanan perlu adanya tata tertib yang wajib dipatuhi oleh setiap narapidanan dan tahanan beserta mekanisme penjatuhan hukuman disiplin.
                                        b.    bahwa kepatuhan terhadap tata tertib yang berlaku di dalam rutan / lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan Negara menjadi salah satu indicator dalam menentukan kriteria berkelakuan baik terhadap narapidana dan tahanan.
                                        c.    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana maksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan peraturan menteri hukum dan hak asasi manusia tentang tata tertib lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan Negara.

          Bab I
          Ketentuan Umum
1.      Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.      Petugas pemasyarakatan adalah pegawai sipil yang melaksanakan tugas di bidang pemasyarakatan.
3.      Narapidana adalah terpidanan yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Rutan / Lapas
4.      Tahanan adalah seorang tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam rutan.
5.      Tindakan disiplin adalah tindakan pengamanan terhadap narapidanan atau tahanan berupa penempatan sementara dalam kamar terasing (sel pengasingan)
6.      Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada narapidana atau tahanan sebagai akibat melakukan perbuatan yang melanggar tata tertib Lapas atau Rutan.
7.      Steril area adalah tempat atau wilayah di dalam Lapas atau Rutan yang dinyatakan terlarang untuk dimasuki dan/atau dijadikan tempat beraktivitas oleh Narapidana dan Tahanan Negara tanpa izin yang sah.
8.      Tim pengamat pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat TPP adalah tim yang bertugas memberikan saran mengenai program pembinaan Narapidana.
9.      Tim pemeriksa hukuman disiplin yang selanjutnya disebut Tim Pemeriksa adalah tim yang dibentuk oleh kepala Lapas atau kepala rutan untuk melakukan serangkaian tindakan pemeriksaan terhadap narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib.

Pasal 2
1)      Setiap narapidana dan tahanan wajib mematuhi tata tertib lapas atau rutan
2)      Tata tertib lapas atau rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kewajiban dan larangan bagi Narapidana dan Tahanan.

          Bab II
          Kewajiban dan Larangan
          Setiap narapidana atau tahanan wajib :
a.       Taat menjalankan ibadah sesuai agama dan atau kepercayaan yang dianutnya serta memelihara kerukunan beragama
b.      Mengikuti seluruh kegiatan yang diprogramkan
c.       Patuh, taat, dan hormat kepada petugas
d.      Mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan
e.       Memelihara kerapihan dan berpakain sesuai dengan norma kesopanan
f.       Menjaga kebersihan diri dan lingkungan hunian serta mengikuti kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka kebersihan lingkungan hunian dan
g.      Mengikuti apel kamar yang dilaksanakan oleh petugas pemasyarakatan

Pasal 4
Setiap Narapidana atau Tahanan dilarang :
a.   Melakukan upaya melarikan diri atau membantu pelarian;
b.    Memasuki Steril Area atau tempat tertentu yang ditetapkan Kepala Lapas atau Rutan tanpa izin dari Petugas pemasyarakatan yang berwenang;
c.    Melawan atau menghalangi Petugas Pemasyarakatandalam menjalankan tugas
d.    Membawa dan/atau menyimpan uang secara tidak sah dan barang berharga lainnya;
e.    Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/atau mengkonsumsi narkotika dan/atau prekursor narkotika serta obat-obatan lain yang berbahaya;
f.     Menyimpan, membuat, membawa, mengedarkan, dan/ atau mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;
g.    Melengkapi kamar hunian dengan alat pendingin, kipas angin, televisi, dan/atau elektronik lainnya;
h. Memiliki, membawa dan/atau menggunakan alat elektronik, seperti laptop atau komputer, kamera, alat perekam, telepon genggam, pager, dan sejenisnya;
i.     Melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar hunian;
j.     Membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
k.    Membawa dan/atau menyimpan barang-barang yang dapat menimbulkan ledakan dan/atau kebakaran;
l.     Melakukan tindakan kekerasan, baik kekerasan fisik maupun psikis, terhadap sesama Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, atau tamu/pengunjung;
m.   Mengeluarkan perkataan yang bersifat provokatif yang dapat menimbulkan terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban;
n.   Membuat tato, memanjangkan rambut bagi Narapidana atau Tahanan Laki-laki, membuat tindik, mengenakan anting, atau lainnya yang sejenis;
o.    Memasuki blok dan/atau kamar hunian lain tanpa izin Petugas Pemasyarakatan;
p.    Melakukan aktifitas yang dapat mengganggu atau membahayakan keselamatan  pribadi atau Narapidana, Tahanan, Petugas Pemasyarakatan, pengunjung, atau tamu.
q.    Melakukan perusakan terhadap fasilitas Lapas atau Rutan;
r.     Melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;
s.     Menyebarkan ajaran sesat; dan
t.   Melakukan aktifitas lain yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban Lapas atau Rutan.

Pasal 5
Untuk menjaga ketertiban, Narapidana dan Tahanan diperbolehkan membawa pakaian pribadi paling banyak 6 (enam) pasang.  

Pasal 6
(1)   Untuk kepentingan perawatan kesehatan atau pengobatan, Narapidana atau Tahanan dapat mengkonsumsi obat-obatan setelah mendapatkan izin dan berada dalam pengawasan dokter dan/atau paramedis Lapas atau Rutan.
(2)   Dalam hal tidak terdapat dokter dan/atau paramedis Lapas atau Rutan maka izin dan pengawasannya dlakukan oleh dokter atau paramedis

Pasal 7
(1)   Untuk kepentingan umum, Kepala Lapas atau KepalaRutan dapat menyediakan:
a. televisi dan/atau kipas angin; dan
b. kantin yang dikelola oleh koperasi Lapas atau Rutan.
(2)   Penyediaan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan terlebih dahulu meminta pertimbangan sidang TPP.

BAB III
JENIS HUKUMAN DISIPLIN DAN PELANGGARAN DISIPLIN
Pasal 8
Narapidana atau Tahanan yang melanggar tata tertib, dijatuhi:
a.    hukuman disiplin tingkat ringan;
b.    hukuman disiplin tingkat sedang; atau
c.    hukuman disiplin tingkat berat.

Pasal 9
(1)   Hukuman Disiplin tingkat ringan, meliputi:
a.     memberikan peringatan secara lisan; dan
b.    memberikan peringatan secara tertulis.
(2)   Hukuman Disiplin tingkat sedang, meliputi:
a.     memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 6 (enam) hari; dan
b.    menunda atau mendadakan hak tertentu dalam kurun waktu tertentu berdasarkan basil Sidang TPP.
(3)   Menunda atau meniadakan hak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa penundaan waktu pelaksanaan kunjungan.
(4)   Hukuman Disiplin tingkat berat, meliputi:
a.     memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari clan dapat diperpanjang selama 2 (dua) kali 6 (enam) hari; dan
b.   tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan dan dicatat dalam register F dan.
(5) Untuk alasan kepentingan keamanan, seorang Narapidana/Tahanan dapat dimasukkan dalam pengasingan dan dicatat dalam register H.

Pasal 10
(1) Penjatuhan hukuman disiplin tingkat ringan bagi Narapidana dan Tahanan yang melakukan pelanggaran:
a.     tidak menjaga kebersihan din dan lingkungan;
b.    meninggalkan blok hunian tanpa izin kepada petugas blok;
c.     tidak mengenakan pakaian seragam yang telah ditentukan;
d.    tidak mengikuti apel pada waktu yang telah ditentukan;
e.     mengenakan anting, kalung, cincin, dan ikat pinggang;
f.     melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas dan melanggar norma kesopanan atau kesusilaan; dan
g.   melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang tim pengamat pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang dapat
(2)   Narapidana dan Tahanan yang dijatuhi Hukuman Disiplin tingkat sedang jika melakukan pelanggaran:
a.     memasuki Steril Area tanpa ijin petugas;
b.    membuat taco dan/atau peralatannya, tindik, atau sejenisnya;
c.     melakukan aktifitas yang dapat membahayakan keselamatan diri sendiri atau orang lain;
d.   melakukan perbuatan atau mengeluarkan perkataan yang tidak pantas yang melanggar norma keagamaan;
e.     melakukan aktifitas jual beli atau utang piutang;
f.     melakukan. perbuatan yang termasuk dalam kategori yang mendapatkan Hukuman Disiplin tingkat ringan secara berulang lebih dari 1 (satu) kali; dan
g.    melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang tim pengamat pemasyarakatan termasuk dalam perbuatan yang dapat dikenakan Hukuman Disiplin tingkat sedang.
(3)   Narapidana dan Tahanan yang dijatuhi Hukuman Disiplin tingkat berat jika melakukan pelanggaran:
a.     tidak mengikuti program pembinaan yang telah ditetapkan;
b.    mengancam, melawan, atau melakukan penyerangan terhadap Petugas;
c.     membuat atau menyimpan senjata api, senjata tajam, atau sejenisnya;
d.                merusak fasilitas Lapas atau Rutan;
e.     mengancam, memprovokasi, atau perbuatan lain yang menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban;
f.     memiliki, membawa, atau menggunakan alat komunikasi atau alat elektronik;
g.    membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan atau mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol;
h.    membuat, membawa, menyimpan, mengedarkan, atau mengkonsumsi narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif lainnya;
i.     melakukan upaya melarikan diri atau membantu Narapidana atau Tahanan lain untuk melarikan diri;
j.     melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama penghuni maupun petugas;
k.    melakukan pemasangan atau menyuruh orang lain melakukan pemasangan instalasi listrik di dalam kamar human;
1.    melengkapi untuk kepentingan pribadi di luar ketentuan yang berlaku dengan alat pendingin, kipas angin, kompor, televisi, slot pintu, dan/atau alat elektronik lainnya di kamar hunian;
m.   melakukan perbuatan asusila atau penyimpangan seksual;
n.    melakukan pencurian, pemerasan, perjudian, atau penipuan;
o.    menyebarkan ajaran sesat;
p. melakukan perbuatan yang termasuk dalam kategori yang mendapatkan hukuman disiplin tingkat sedang secara berulang lebih dari 1 (satu) kali atau perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban berdasarkan penilaian sidang TPP; dan
q.    melakukan tindakan yang berdasarkan pertimbangan sidang TPP termasuk dalam perbuatan yang dapat dikenakan Hukuman Disiplin tingkat berat.

BAB IV
PENJATUHAN HUKUMAN DISIPLIN
Pasal 12
(1)   Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib wajib dilakukan pemeriksaan awal oleh kepala pengamanan sebelum dijatuhi hukuman disiplin.
(2)   Hasil pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan sebagai dasar bagi pelaksanaan pemeriksaan selanjutnya.

Pasal 13
(1)   Kepala Lapas atau Kepala Rutan membentuk tim pemeriksa untuk memeriksa basil pemeriksaan awal.
(2)   Tim pemeriksa mempunyal tugas memeriksa Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggaran tata tertib.
(3)   Hasil pemeriksaan dituangkan ke dalam berita acara pemeriksaan serta harus ditandatangani oleh Narapidana atau Tahanan dan tim pemeriksa.
(4)   Sebelum ditandatangani, terperiksa diberikan kesempatan untuk membaca hasil pemeriksaan.

Pasal 14
(1)     Tim pemeriksa menyampaikan berita acara pemeriksaan kepada Kepala Lapas atau Kepala Rutan.
(2)     Kepala Lapas atau Kepala Rutan wajib menyampaikan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada tim pengamat pemasyararakatan dalam jangka waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal berita acara diterima.
(3)     TPP melaksanakan sidang untuk membahas penjatuhan disiplin terhadap Narapidana atau Tahanan yang diduga melakukan pelanggarandalam jangka waktu paling lama 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal berita acara pemeriksaan diterima.

Pasal 15
(1)   Sebelum dijatuhi Hukuman Disiplin, Narapidana atau Tahanan dapat dikenakantindakan disiplin.
(2)   Tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penempatan sementara dalam sel pengasingan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) hari.

Pasal 16
Dalam hal Tahanan mendapatkan Hukuman Disiplin, Kepala Lapas atau Kepala Rutan segera menyampaikan pemberitahuan kepadapejabat yang berwenang menahan.

Pasal 17
Dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh Narapidana atau Tahanan diduga tindak pidana, Kepala Lapas atau Kepala Rutan meneruskan kepada instansi yang berwenang.













BAB III
PENUTUP

          Rutan / Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.(Pasal 1 Angka 3 UU Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknisdi bawah Direktorat Jenderal PemasyarakatanKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
          Rutan / Lembaga Pemasyarakatan merupakan himpunan dari norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di kehidupan masyarakat.
          Solusi lain untuk mengantisipasi kerusuhan lapas yaitu perlunya peninjauan ulang terhadap sistem dan pola pendekatan terhadap para warga binaan.










DAFTAR PUSTAKA


Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Bandung, Refika Aditamma.

Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana Jakarta: Sarwoko, 1986.

http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan, diakses pada hari Selasa 01 Oktober 2013,  jam 09:00 Wita.

[2]Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia(Bandung, Refika Aditamma), hal. 87.

[3]Abdul Hakim G. Nusantara, Hukum Acara Pidana , (jakarta: Sarwoko, 1986), h. 61-66.


No comments:

Post a Comment