Friday 15 April 2016

Makalah Tentang Agama dan Masyarakat di Dalam Dunia

AGAMA DAN MASYARAKAT

          Dalam bab ini akan ditelusuri beberapa segi agarna yang dirasa perlu mendapat prioritas dalam pengkajiannya. Pertama, akan diberikan definisi agama menurut pemahaman sosiologi. Kemudian akan ditelusuri pengaruh timbal balik antara agarna dan masyarakat, yaitu fungsi agama terhadap masyarakat. Lalu pengaruh agama atas stratifikasi sosial. Pengaruh agama atas bidang-bidang kehidupan manusia. Akhirnya akan disoroti masalah kelestarian agama dalam masyarakat.

2.1.    Definisi Agama
          Baiklah kiranya ditekankan kembali bahwa pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari “pewahyuan” yang datang dari “dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret sekitar agama yang dikumpulkan dan sana-sini baik dari masa lampau (sejarah) maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat, definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai). Ia “angkat tangan” mengen ai hakekat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
          Dalam kaitan ini harus ditegaskan lagi bahwa aliran fungsionalisme dengan sengaja dan sebagai prinsip memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus atas apa yang ia lihat dan agama. Jelasnya ía melihat agama dun fungsinya. Agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Maka dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama (agama-agama) cita-cita masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani) dapat terwujud.
          Untuk landasan kerja seterusnya dalam buku ini disajikan definisi yang empiris dan yang sesuai dengan faham fungsionalisme. Pengalaman yang dijadikan landasan perumusan apa agama itu, mencakup lapangan yang cukup luas, bermula dari persoalan yang menyangkut kehidupan manusia sehari-hari hingga masalah yang mengatasi keperluan hidup sekarang ini yang tak terjangkau oleh “empiri” (pengalaman) atau yang “supra-empiris”. Dengan kata lain landasan perumusan itu ialah semua pengalaman yang menyangkut kebahagiaan manusia seutuhnya dan selengkapnya. Manusia mengalami problem fondamental ini . Ia siang malam diganggu oleh pertanyaan yang muncul dari pengalaman mengenai ketidakpastiannya dia sendiri datam menghadapi situasi dan kondisi yang tidak menentu akibat perubahan yang berjalan terus-menerus. Kecuali pengalaman tentang situasi dan kondisi yang tidak menentu, manusia masih dihadapkan dengan pengalaman lain, yaitu kenyataan mengenai keterbatasannya dalam menguasai, mengontrol dan menundukkan tantangan yang datang dari dunia ini. Manusia mengalarni ketidakmampuan (powerlessness) secara jelas dan berulang kali. Tidak semua yang menjadi keinginannya, tak usah menyebut keinginan yang tertinggi bahkan yang biasa-biasa saja, dapat dicapainya sekalipun Ia telah merencanakan dengan perhitungan yang secermat mungkin. Pada titik tertentu dalam proses usahanya suka atau tidak ia harus mengakui kegagalannya karena ketidakmampuannya. Tidak perlu menunjuk pengalaman manusia primitif yang batas-batas kemampuannya lebih sempit akibat dari kurangnya pendidikan dan sarana-sarana yang dimilikinya. Bahkan manusia modern pun yang lingkup kemahirannya dapat dikatakan sangat luas berkat pendidikan intelektualnya sehingga memungkinkan penggunaan bantuan teknologi termodern, pada suatu titik tertentu ia dipaksa untuk mengakui keterbatasannya dan kegagalannya dalam mencapai cita-citanya baik yang sangat berguna bagi kepentingan pribadinya maupun untuk kepentingan seantero dunia.
          Makhluk manusia dewasa ini telah memasuki zaman komputer yang membantu usahanya untuk mengarungi ruang angkasa. Namun manusia modern ini belum sanggup menjawab pertanyaan fondamental yang selalu rnengganggunya. Mengapa ada penyakit? Mengapa saya harus mati? Mengapa dia si pemuda belia yang tercinta meninggal? Mengapa terjadi musibah yang mengerikan itu (puluhan korban jiwa akibat gunung longsor, karena jembatan musnah dihancurkan badai taufan dlsb.)? Persoalan semacam itu belum tenjawab. Apalagi pertanyaan, apa itu semua ada artinya bagi manusia umumnya? Dengan kata lain, manusia dihadapkan dengan problem “makna dan arti” yang ada di belakang semua kejadian itu. Ternyata akibat keterbatasannya, manusia (tidak/belum?) sanggup menjawab. Lalu Ia harus lari ke mana untuk mencapai jawaban itu? Kalau ia (manusia) tidak menginginkan kemusnahannya pada “titik hancur” ini — dan pengalaman membuktikan bahwa tak seorang pun menghendakinya — maka ia dipaksa untuk mencari kekuatan lain “yang ada di luar” dunia ini.
          Di samping rasa kecewa (frustrasi) yang bertubi-tubi dialami manusia masih dihadapkan dengan masalah lain lagi, yaitu kelangkaan – kemiskinan - dan penderitaan. Masalah tersebut hingga dewasa ini harus diakui masih merupakan masalah yang belum terjawab bukan saja oleh bangsa yang belum berkembang, tetapi juga oleh bangsa yang sudah maju dalam sistem sosialnya (dan organisasinya). Masalah ini dapat juga dikembalikan kepada masalah keterbatasan kemampuan manusia (yang telah disebut di atas), tetapi dalam penanganannya mernang telah menimbulkan kesulitan tersendiri yang dapat disimpulkan dalarn masalah ekonomi-sosial. Dalam hubungan dengan masalah ini masih dapat dipertanyakan apakah alam semesta yang dihuni manusia ini menyajikan persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat? Jika jawabannya berbunyi “ya”, maka kemampuan (kekuasaan) manusia masih penlu ditingkatkan lagi untuk menggali kekayaan yang masih tersembunyi itu guna menutup kekurangan yang terus bertambah itu. Sudah barang tentu jawaba n yang afirmatif itu masih perlu dibuktikan secara meyakinkan. Jika jawaban atas soal di atas negatif (hal ini perlu dibuktikan secara faktual juga) maka masalah kelangkaan termasuk masalah yang melekat pada eksistensi manusia dalam situasi kini dan di sini (di dunia ini). Namun terpisah dari hal-hal yang teoretis (dan hipotesis) itu manusia tidak dapat menutup matanya akan kelangkaan sebagai kenyataan. De fakto, yaitu dalam masyarakat yang ada sekarang ini dan dunia kita ini, di mana manusia-manusianya telah berusaha sebaik-baiknya melalui sistem pembagian kerja dan distribusi hasil menurut perbandingan alokasi fungsi dan fasilitas dan imbalan (balas) jasa yang sepantasnya (dalam masyarakat yang sudah maju), namun sebagian dan penghuni masyarakatnya masih belum mendapat bagian. Yang mereka alami secara faktual ialah: kekurangan, dan penderitaan, dan tingkat yang biasa hingga tingkat di luar kewajaran.
          Teori fungsional melihat kekurangan itu semua (tanpa mengurangi penglihatan teori lain atas hal yang sama) sebagai cini-ciri eksistensial dan kondisi dan situasi manusia umumnya dan oleh karena itu juga melekat pada masyarakat. Kalau dirumus dalam satu nafas maka kekurangan eksistensial itu ialah (1) ketidakpastian, (2) ketidakmampuan dan (3) kelangkaan. Itu semua membuat hidup ini - untuk meminjam istilah psikologi – suatu frustrasi (kekecewaan) yang mendalam, atau dengan kata lain penderitaan lahir dan hatin.
Lalu apa yang dibuat manusia? Menyerah kepada nasib? Jawaban atas pertanyaan 1W sudah jelas dan pengalaman biasa sehari-hari (maupun dan sejarah bangsa-bangsa) yang sekian banyak jumlahnya yang terdiri atas usaha-usaha manusia yang terus-meneru melihat seluruh kompleks kelemahan bukan saja sebagai rintangan yang menghalangi proses perkembangannya melainkan sebagai tantangan berat yang harus diatasi secara tuntas, minimal untuk mengurangi pengaruh buruknya. Manusia menjinakkan lingkungan hidupnya yang ganas, mencoba untuk menguasainya dan mengendalikannya. Hasil usahanya dirakit dalam suatu sistem sosiokultural yang sernakin hari semakin disempurnakan untuk dijadikan ternpat tinggal yang aman sentosa, meskipun sebagian warganya tidak dapat diluputkan dari kematian dan terpaksa meninggalkan hasil perjuangannya kepada angkatan yang masih hidup demi kehidupan yang semakin baik. Sej arah manusia rnengungkapkan usaha-usaha manusia yang bergerak dalam dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kehahagiaan sekarang ini dan kebutuhan akan kebahagiaan “nanti”. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam “dunia empiris” dan “dunia supra-empiris”. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain digambarkan sebagai di atas dunia ini, dunia transenden, yang tak terjangkau oleh pengalaman (empiri) manusia, karena ada di luar (dan di atas) dunia pengalaman ini.
          Sekali lagi, itu semua bukanlah suatu teori saja melainkan suatu kesimpulan empiris, yang tidak ditarik dari dalil yang spekulatif, tetapi dari pengalaman eksistensial manusia dari zaman ke zaman hingga sekarang ini. Dengan kata lain, berdasarkan fakta-fakta konkret yang digumuli oleh setiap manusia yang hidup dan yang pernah hidup di dunia kita ini.
          Usaha apa yang telah dilakukan manusia untuk merebut dua jenis kebahagiaan itu. Ternyata berdasar pengalaman sekarang dan catatan sejarah manusia melakukan dua jenis usaha raksasa, ialah: usaha religius dan usaha nonreligius. Apa motivasinya?
          Manusia menempuh jalan (usaha) nonreligius, selama ia masih sanggup merebut kebahagiaan itu dengan kekuatan manusiawinya sendiri. Jalan (usaha) yang kedua ditempuhnya segera manusia mengalami (dan dari situ meyakini) ketidakmampuannya, atau terbatasnya kekuatan manusia secara radikal dan total. Dengan kata lain, di mana manusia tak berdaya sama sekali untuk merebut kebahagiaan itu, di situ manusia menjalankan usaha religius. ini berarti bahwa manusia bukan lagi menggunakan kekuatan sendiri, tetapi “tenaga lain” yang dipercayai berada di dunia lain yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera, namun dirasa bisa membantunya. Inilah yang disebut agama dalam arti luas.
          Jika orang mengikuti sejarah agama menurut teori evolusi (seperti misalnya JAMES FRASER dan ANDREW LANG) dari situ orang akan diperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dan hentuk yang rnasih sederhana hingga bentuk yang modern. Melalui urutan klasik muncullah pra-animisme yang meliputi magisme dan fetisyisme, animisme, kemudian religi atau agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan kekuatan “gaib” (supra-empiris) yang dipercayai berada di dalam benda-benda yang tak bernyawa, seperti batu yang aneh, besi (keris) dlsb. Dalam animisme manusia berhubungan dengan makhluk yang bernyawa, khususnya rnakhluk halus atau roh-roh (baik dan jahat) yang dipercayai memiliki kekuatan lehih tinggi daripada manusia secara kategorial. Misalnya para arwah nenek moyang, roh-roh yang dipercayai menguasai sumber air, sungai, lautan, gunung dlsb. Dalam religi, manusia mengadakan hubungan dengan “roh yang tertinggi”, yang dipercayai memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang oleh agama-agama besar disebut TUHAN, yang menciptakan dan menguasai alam sernesta.
          Terlepas dari penggambaran teori evolusi yang mengajarkan munculnya agama menurut tahap-tahap yang khas itu (pra-animisme, animismereligi); bila hanya menggunakan pengamatan sehari-hari atas perilaku manusia yang berkaitan dengan kekuatan yang supra-empiris, ternyata manusia tidak terikat oleh hukum pentahapan evolusi itu. Ternyata manusia yang telah mengenal Roh Tertinggi atau Tuhan dan mengadakan komunikasi dengan-Nya, masih ada yang menghormati rnakhluk-makhluk halus, bahkan ada juga yang masih menggunakan kekuatan magis.
          Dari pengamatan yang sama dapat ditarik kesimpulan penting yang lain bahwa manusia tidak hanya menggunakan kekuatan supra-empiris yang tertinggi (yang disebut Tuhan) untuk kepentingan supra-empiris (baca kesejahteraan abadi) yang secara mutlak mengatasi kernampuan manusia untuk mencapainya, tetapi juga untuk kepentingan sehari-hari yang jasmaniah dan empiris yang harus dipenuhi sekarang ini. Dasar pemikirannya harus dikembalikan lagi kepada tiga pengalaman fondamental seperti telah dijelaskan di atas ialah: ketidakpastian, ketidakmampuan (keterbatasan) dan kelangkaan. Sementara itu demi peningkatan daya guna agama itu manusia merasionalisasi dan mensistematisasi segala pengalamannya dalarn bidang ini dalam bentuk organisasi dan institusi yang mengatur mana yang menjadi bagian iman dan moral serta mana yang merupakan bagian ritual yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya. Dengan demikian agama nampak sebagai suatu sistem sosial yang dapat dilihat dan diteliti oleh ahli sosial.
          Dengan uraian di atas maka cukuplah kiranya sekarang untuk memberikan rumusan (definisi) mengenai apa itu agama.

Definisi
          Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.
          Unsur-unsur yang hendak dirangkum dalam definisi di atas telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya. Untuk konkretnya dapat disebut lagi dengan singkat sbb.:
-        Agama disebut jenis sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa agama adalah suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan,  suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan dan terarahkan kepada tujuan tertentu.
-        Agama berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa agama itu khas berurusan dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-”huni” oleh kekuatan kekuatan yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah, roh-roh dan Roh Tertinggi.
-        Manusia mendayagunlakan kekuatan-kekuatan di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah  kematian.

          THOMAS F.O.’ DEA memakai definisi yang banyak dipakai dalam teori fungsional. Agama ialah pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud nonempiris atau supra-empiris.[1]
          Dalam definisi tersebut di atas sangat terasa bahwa pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris semata-mata ditujukan kepada kepentingan supra-empiris saja. Seakan-akan orang yang beragama hanya mementing kan kebahagiaan akhirat dan lupa akan kebutuhan mereka di dunia sekarang ini. Hal itu tidak sesuai dengan pengalaman. Banyak orang berdoa kepada Tuhan untuk keperluan sehari-hari yang dirasa tidak akan tercapai hanya dengan kekuatan manusia sendiri. Misalnya menjelang ujian banyak anak sekolah berdoa untuk lulus ujian. Tidak sedikit orang mohon bisa lulus untuk keberhasilan dalam usaha. Sedang keluarga yang anggotanya ditimpa sakit mohon kesembuhan.
          Masalah “yang terakhir” memang banyak menarik perhatian ahli Sosiologi Agama. J. MILTON YINGER melihat agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dan hidup ini. DUNLOP punya pendirian yang senada. la melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya. Maka ia merumuskan agama sebagai suatu institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian kepada umat manusia untuk mana tidak tersedia suatu institusi lain atau yang penanganannya tidak cukup dipersiapkan oleh lembaga lain.[2]  
          Bagi JOACHIM WACH aspek yang penlu diperhatikan khusus ialah: pertama unsur teoretisnya, bahwa agama adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua, unsur praktisnya: ialah yang berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga, aspek sosiologisnya; bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. Pada hematnya jika salah satu unsur tidak terdapat maka orang tidak dapat berbicara tentang agama, tetapi 1W hanya suatu kecenderungan religius.[3]
          Dalam kaitan mi dapat dipertanyakan apakah sejumlah “isme” yang sudah dikenal luas merupakan agama. Jelasnya: nasionalisme, kemunisme, sekularisme, kebatinan, kepercayaan akan raw adil, dlsb. Atas pertanyaan di atas sejumlah sarjana seperti ELISAOETH NOTHINOHAM menjawab bahwa “Isme-isme” di atas dapat dimasukkan dalam pengertian agama, dengan eatatan bahwa itu semua bukan agama “supna-empiris” (baca: Agama wahyu) tetapi hanya “agama sekular”.
          Menurut NIKOLAS LUHMANN aspek yang perlu diperhatikan dalam defin isi agama ialah aspek fungsionalnya. l.a melihat agama terutama sebagai Itlatu cara dengan mana süatu fungsi khas dimainkan dalam situasi evolusio ncr yang berubah terus-menerus.[4]

2.2.    Lingkup Iman dan Lingkup Agama
          Dalam pengkauan fenomena agama harus dibedakan antara pengertian iman dan pengertian agama. Iman ialah kekuatan batin dengan mana manusia menanggapi sesuatu yang bermakna, entah itu kekuatan gaib, entah Roh Tertinggi (Tuhan). Kekuatan-kekuatan itu dianggap sebagai “yang suci”, “angker” atau sakral, yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, yang dapat memberi pengaruh baiknya kepada manusia. Oleh karenanya manusia mengadakan hubungan dengan “yang baik” itu. Langkah paling jauh yang dilakukan manusia ialah: penyerahan diri secara menyeluruh kepada yang gaib itu. Iman yang sedalam itu hanya ditemukan pada agama yang mengajarkan bahwa yang gaib itu adalah suatu pribadi tertinggi, Tuh an pencipta alam, dan yang memanggil manusia untuk hanya mengabdi kepada-nya. Kepercayaan yang setinggi itu dijumpai dalam agama wahyu seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam. iman yang sedemikian itu bersifat khas pribadi (strict personal) dan tidak dapat dicampuri pihak luar, entah yang namanya golongan entah negara. Dalam lingkup inilah orang berbicara tentang “kebebasan beragama”. Maka iman dalam arti itu juga tidak menjadi sasaran Sosiologi Agama.
          Pengertian agama (religi) lebih dipandang sebagai wadah lahiriah atau sebagai instansi yang mengatur penyataan iman itu di forum terbuka (masyarakat) dan yang manifestasinya dapat dilihat (disaksikan) dalam bentuk kaidah-kaidah, ritus dan kultus, doa-doa dlsb. Bahkan orang dapat menyaksikan sejumlah ungkapan lain yang sangat menarik seperti: lambang-lambang keagamaan, pola-pola kelakuan tertentu, cara bermisi (da’wah), rumah-rumah ibadat, potongan pakaiannya dan seterusnya.
          Tanpa adanya agama sebagai suatu wadah yang mengatur dan membina maka keseluruhan kebudayaan (religius) tersebut di atas akan sukar dibina dan diwariskan kepada angkatan (umat beriman) berikutnya. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa justru kawasan inilah yang menjadi obyek pengkajian sosiologi.

Lingkup agama
          Berdasarkan pengamatan analitis atas kawasan agama sebagai obyek sosiologi kita dapat mengadakan pembedaan dalam tiga kawasan agama: (1) Kawasan “putih”, (2) kawasan “hijau” dan (3) kawasan “hitam”. Istilah yang dipinjam dan bahasa sehari-hari itu dimaksud untuk memudahk an pendekatan terhadap masalahnya, dan untuk memahami motivasi manusia beragama secara lebih baik.
          Yang dimaksud dengan kawasan “putih “ ialah suatu kawasan di mana kebutuhan manusiawi yang hendak dicapai masih dapat dicapai dengan kekuatan manusia sendiri. Manusia tidak perlu lari kepada kekuatan yang supra-empiris. Dengan akal budinya dibantu oleh teknologinya maka usaha manusia dapat berhasil. Baiklah diingat bahwa apa yang pernah dijelaskan dalam bagian muka bahwa lingkup kawasan ini pun tidak sama lebarnya bagi manusia (golongan manusia) yang satu dan yang lain. Bagi golongan manusia yang masih primitif batas-batas “kawasan putih” ini ditarik lebih sempit, akibat dan kompleks pengetahuan dan kemampuan mereka masih sempit. Mereka lebih cepat lari kepada kekuatan “gaib” untuk meminta bantuannya. Sedangkan bagi manusia yang sudah maju bantuan “dari luar” itu tidak diperlukan, bagi usaha-usaha yang berdimensi netral.
          Kawasan “hijau” meliputi daerah usaha di mana manusia merasa aman dalam artian akhlak (moral). Dalam kawasan ini tindak langkah manusia dengan sesamanya diatur oleh norma-norma rasional yang mendapat legitimasi oleh agama. Misalnya hal ihwal yang berkaitan dengan hidup kekeluargaan, perkawinan, warisan, pertukaran barang-barang, diatur oleh peraturan-peraturan manusia, yang dibenarkan oleh agama yang dipelukanya. Dengan adanya legitimasi dan agama itu lenyaplah rasa bimbang dan keraguan yang semula membayanginya.
          Kawasan “gelap” meliputi daerah usaha di mana manusia secara radikal dan total mengalami kegagalan yang disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia sendiri. Apa pun daya marnsia sendiri di daerah ini ia menghadapi suatu “titik putus” (breaking points) yang tidak mungkin disambung lagi dengan kekuatannya sendiri[5]. Satu-satunya jalan keluar dan kesulitan ini ialah mengadakan kornunikasi dengan kekuatan yang ada “di luar” yang mengatasi segala kekuatan alam. Kawasan ini disebut daerah “gelap” karena rasio manusia tidak sanggup menangkap hakekat (substansi) kekuatan “luar”, karena”Dia” itu di luar jangkauan pengalaman manusia. Walaupun demikian adanya, namun manusia toh mau mengalami pengaruh-Nya, asal manusia mengerti cara-cara untuk menghubungi-Nya. Maka terjadilah sejumlah ritual yang dibuat yang harus ditaati orang yang hendak bertemu dengan “Dia”. Dengan jalan itu (yang merupakan bagian terpenting dari agama) manusia meyakinkan dirinya sanggup mengatasi problem manusiawi yang paling mendasar: ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan. Hasil yang diperoleh dan dialami manusia dalam pertemuannya dengan “Dia” ialah rasa “aman sentosa”, dengan kata lain, bahwa manusia dalam situasi yang tidak pasti dan penuh bahaya itu mendapat kepastian (security) dan jaminan (assurance).
          Dalam bidang yang khas itu (kawasan yang “gelap”) di mana manusia dihadapkan dengan teka-teki yang tak terjawab, Sosiologi Agama mencoba menelusuri masalahnya dan mengumpulkan data-data dan pengalaman sekian banyak manusia yang terlibat dalam pusaran hidup itu untuk sampai pada kesimpulan bahwa pengalaman manusia sesudah “titik putus” itu masih mempunyai arti penting bagi dirinya dan masyarakatnya, berkat hubungannya dengan “Dia” yang ada di sebelah (luar) sana.

2.3.    Fungsi Agama Bagi Manusia dan Masyarakatnya
          Pemahaman mengenai fungsi agama tidak dapat dilepas dan tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan analitis (seperti sudah diterangkan dalam halaman-halaman sebelumnya) dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dikembalikan pada tiga hal: ketidakpastian, ketidakmampuan, dan kelangkaan. Untuk mengatasi itu semua manusia lari kepada agama, karena manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan yang definitif dalam menolong manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan suatu fungsi tertentu kepada agama. Di bawah ini akan dikaji fungsi manakah yang diberikan manusia kepada agama.



2.3.1. Fungsi Edukatif
                 Manusia mempercayakan fungsi edukatif  kepada agama yang mencakup tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dan instansi (institusi pro-fan) agama dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif bahkan dalam hal-hal yang “sakral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan perantaraan petugas-petugsnya baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi), pendalaman rohani dll. maupun di luar perayaan liturgis. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk sejumlah fungsionaris seperti: syaman, dukun, kyai, pedanda, pendeta, imam, nabi. Mengenai yang disebut nabi ini dipercayai bahwa penunjukann ya dilakukan oleh Tuhan sendiri. Kebenaran ajaran mereka yang harus diterima dan yang tak dapat keliru, didasarkan atas kepercayaan penganut-penganutnya, bahwa mereka dapat berhubungan langsung dengan “yang gaib” dan “yang sakral” dan mendapat ilham khusus darinya.
       Tugas bimbigan yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan dan diterima berdasarkan pertimbangan yang sama. Pengalaman dan masa ke masa mengukuhkan dan membenarkan apa yang dikatakan di atas. Masyarakat mempercayakan anggota-anggotanya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sebagai manusia (di bawah bimbingan agama) akan berhasil mencapai kedewasaan pribadinya yang penuh melalui proses hidup yang telah ditentukan oleh hukum pertumbuhan yang penuh ancaman dan situasi yang tidak menentu dan mara bahaya yang dapat menggagalkannya mulai dan masa kelahiran dan kanak-kanak men uju ke masa remaja dan masa dewasanya. Bahkan pada saat-saat terakhir apabila manusia menghadapi kematian, — saat yang paling menentukan segala-galanya — kehadiran petugas agama sebagai pembimbing dan pendamping masih sangat terasa perlu.
                 Dan buku-buku sejarah dan kesusastraan dapat diketahui bahwa agama-agama baik yang sederhana maupun yang modern mempunyai pusat-pusat pendidikan yang dikenal dengan nama pondok, padepokan, pesantren,biara, asrama dll. Sebelum orang mengenal sistem pendidikan modern (sistem persekolahan) pusat-pusat tersebut merupakan tempat pendidikan satu-satunya. Keunggulan dan kelebihan pendidikan keagamaan, — bahkan dalam zaman sekarang pun — tetap diakul masyarakat luas. ini dapat dilihat dan kenyataan yang tidak luntur, bahwa banyak keluarga lebih suka mengirirnkan anak-anaknya ke pusat-pusat pendidikan keagamaan daripada ke pusat pendidikan negara. Kunci keberhasilan pendidikan kaum agamawan tenletak dalam pendayagunaan nilai-nilai rohani yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama. Di antara nilai yang diresapkan pada anak didik iaiah: makna dan tujuan hidup, hati nurani dan rasa tanggung jawab, Tuhan, hidup, kekal, ganjaran atau hukuman yang setimpal atas perbuatan yang baik dan yang jahat. Apalagi karya pendidikan ditangani oieh para purnawaktu yang (menonjol dalam kalangan Kristen) berstatus rohaniwan atau rohaniwati yang berkat profesinya menyerahkan seluruh hidupnya untuk kepentingan pendidikan. Di samping itu masih dipergunak an hasil pengkajian dan ilmu pengetahuan modern seperti misalnya filsafat, ilmu jiwa modern, etika pendidikan, dll.

2.3.2. Fungsi penyelamatan
                 Tanpa atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatannya baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi (yang tumbuh dan naluri manusia sendiri) itu tidak boleh dipandang ringan begitu saja. Jaminan untuk itu mereka tem ukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang “terakhir”, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada di luar batas kekuatan manusia (breaking points). Orang berpendapat bahwa hanya manusia agama (homo religiosus) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitif, entah dalam masyarakat modern.

                 Kesanggupan apa saja yang diakukan homo religiosus kepada agama? Untuk kepentingan masalah ini kita perlu menggunakan pembedaan agama dalam dua kategori yang dibuat oleh para ahli agama. Yang pertama ialah agama alamiah dan yang kedua ialah wahyu. Yang disebut agama alamiah ialah agama yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dalam hal ini manusialah yang mencari ilah atau Tuhan. Agama wahyu ialah agama yang dibuat Tuhan. Dalarn hal ini Tuhanlah yang mencari manusia. Tuhan itu berkomunikasi dengan manusia dan mewahyukan seperangkat kebenaran (dogma, moral dan cara peribadatan) kepada manusia. Dikatakan bahwa kebenaran-kebenaran wahyu itu sifatnya transenden mutlak dan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh manusia. Meskipun demikian adanya namun manusia harus menerimanya dengan iman karena Tuhan sendirilah menjadi jaminan yang tak tergoncangkan. Sebaliknya kebenaran-kebenaran agama alamiah mengandung kelemahan akibat keterbatasan manusia sebagai penciptanya. Betapapun perbedaan antara dua jenis agama tersebut di muka mengenai isi ajarannya dan mengenai taraf kecerdasan pemeluk-pemeluknya yang dari masa ke masa terus erkembang berkat kemajuan ilmu pengetahuan dalam tingkat kebudayaan yang berbeda-beda, namun para ahli sosiologi dengan jalan pengakuan (keyakinan) para pemeluknya yang dapat dikumpulkan, tidak menghadapi kesulitan yang berarti untuk menyimpulkan bahwa dan antara agama yang berbeda-beda itu didapati titik-titik persamaan yang sifatnya universal. Khususnya dalam hal fungsi agama bagi manusia yang tak berdaya menghadapi problem terakhir yang berkaitan dengan alam transendental, teristimewa mengenai hubungannya dengan “yang gaib”, “yang sakral” dan apalagi dengan Tuhan.

Manakah titik-titik persamaan yang universal dan tugas agama itu? Dalam masalah yang tengah kita perbincangkan agama dipercayai mempunyai fungsi eksklusif berikut mi.
1)    Agama membantu manusia untuk mengenal “yang sakral” dan “makhluk tertinggi” atau Tuhan, dan berkomunikasi dengan-Nya.
2)    Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang “salah” dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan penyucian.

          Apabila dua persyaratan di atas terpenuhi maka manusia merasa bahagia yang intinya tidak lain ialah menemukan (kembali) dirinya sendiri terintegrasi dengan tertib alam fisik dan dunia sakral yang telah dirusak dengan Iangkah yang salah.
ad 1. Seorang homo religiosus (manusia beragama) meyakini bahwa agama sanggup menghadirkan “yang sakral” atau Tuhan yang mahasuci dalam upacara keagamaan. Untuk  maksud itu agama menggunakan  lambang-lambang. Melalui lambang-lambang keagamaan itu (yang jenis dan jumlahnya cukup bervariasi) manusia beragama percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan, antara lain: a) persatuan dengan Tuhan, b) pembebasan dan penyucian, dan c) kelahiran kembali.
          Kehadiran Tuhan diserap dalam benda-benda lambang dengan dua cara, yaitu (1) secara spontan dan (2) dengan dimohon
(1)          Kehadiran secara spontan (theophania spontanea,). Tuhan sendiri (dipercayai) berkenan hadir dalam lambang yang dipilih-Nya rnisalnya: pada pohon yang rindang, pada mata air, pada sebuah batu, pada tempat yang angker, pada sebuah gunung, dalam sebuah keris atau tombak, pada patung seorang tokoh, pada orang yang mernakai topeng suci dsb.[6]
(2)          Secara dimohon (invokatjf,) theophania invocativa. Tuhan hadir dalam benda (lambang) atau manusia karena dirnohon. Tuhan dimohon turun dan mengambil tempat dan bentuk dalam sesuatu lambang, sehingga dapat bergaul dengan manusia[7]. Ada dua macam permohonan (seruan), ialah invokasi inagis dan invokasi religius. Invokasi magis mendasarkan kekudusan kepada kekuatan gaib seseorang (baca: dukun, imam, seorang sakti dll.) sehingga kekudusan (sakralitas) benda lambang bervariasi intensitasnya menurut gradasi kekudusan si pemohon. Invokasi religius mengandalkan kekuatan pada Tuhan sendiri serta kerelaan-Nya untuk turun pada benda lambang. Tuhan dimohon, bukan dipaksa. Bentuk-bentuk invokasi ialah segala bentuk doa deprekatoris, bentuk konsekrasi, bentuk permohonan. Sedangkan bentuk-bentuk invokasi magis ialah mantera, jampi-jampi, kutukan dll[8]. Dalam praktek umumnya didapati gabungan antara invokasi magis dan invokasi deprekatoris. Seorang kudus (sakti) di anggap memiliki doa dan tindak agama iebih kuat daripada seorang biasa
          Yang “supra-empiris” menjadi “empiris”. Tuhan atau “yang sakral” dan “yang tak terbatas” dipercayai hadir di dalam benda lambang, tetapi sekaligus ada di luar lambang, karena transendensinya. Dengan demikian “yang tak terbatas” menjadi terbatas, diserap dalam lambang; “yang ilahi” menjadi duniawi, “yang tak teraba” menjadi teraba. Dalam kondisi yang sama dengan manusia, “yang tak terjangkau” dapat dialami manusia. Berkat dimungkinkannya kontak manusia dengan yang sakral, dengan Tuhan, manusia merasa kuat aman sentosa.
Dalam hubungan ini dapat dicatat bahwa dalam agama Kristen umat percaya (dengan iman yang kuat), titik pertemuan antara Tuhan dan manusia diwujudkan dalam tanda-tanda (lambang) yang dibuat Tuhan (Yesus Kristus) sendiri yang disebut sakramen-sakramen gereja, yang ada tujuh jumlahnya. Dalam perayaan sakramen (dipercayai) terjadilah pertemuan yang mesra antara Tuhan dan manusia (manunggalnya Tuhan dengan manusia, atau (Jawa) “manunggaling kawula lan Gusti”, yang di dunia sekarang ini telah dimungkinkan Tuhan sendiri secara maksimal).

ad 2.  Pembahasan dan penyucian merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia umumnya. Manusia mengalami tindakannya yang salah dan dengan perbuatan itu kesadarannya mengatakan bahwa ia merusak hubungan harmonis antara manusia dan tertib alam, antara manusia dan Tuhan, dan antara manusia dengan sesamanya. Singkatnya: seluruh harmoni kehidupan dirusaknya. Kesadaran akan kesalahan yang ada dalam individu-individu bersatu menjadi kesadaran kolektif yang hidup dalam masyarakat, dan tindak lanjut untuk menghapus kesalahan itu menjadi kebutuhan seluruh masyarakat.
          Hal tersebut di atas terbukti dan tindak masyarakat dalam pengadaan aneka bentuk upacara pembebasan dan penyucian. Sebagai contoh dapat ditampilkan beberapa upacara keagamaan yang dijumpai pada beberapa suku bangsa di Indonesia.
-        Pembebasan dari roh-roh jahat. Dalam upacara ini juga dipergunakan benda-benda lambang yang dipercayai mempunyai kekuatan untuk maksud itu. Dari segi negatifnya: menolak pengaruh jahat, dan membersihkan yang kotor karena salah (dosa). Benda lambang yang dipakai dalam agama adat antara lain: azimat (benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan menolak) seperti: batu ajaib, logam, akar tetumbuhan, benang merah (Jawa), patung denawa. Di samping itu orang menggunakan “air suci” untuk memandikan orang yang “kotor”, dengan menyiramkan atau memercikkan. Lambang yang berupa api dan cahaya untuk membakar yang “kotor” (jenazah, gubug). Lalu suara tertentu untuk mengusir roh jahat seperti: lampor, gejogan (Jawa), menabuh kentongan atau genderang, tiupan, mantera dan doa-doa tertentu. Untuk maksud yang sama diadakan tarian/drama seperti kuda lumping, wayangan untuk meruwat “dosa”, pantang dari perbuatan atau makanan tertentu, dlsb.
-        Upacara penyucian. ini dimaksud untuk melimpahkan suatu kekuatan yang positif yang dapat memperkaya dan memberi berkat. Benda lambang, air suci, air kelapa merah (NTT), minyak kelapa (NTT), sepotong daging binatang korban (untuk dimakan), “berkat” berupa nasi yang telah disucikan dengan doa dan dibawa pulang untuk dimakan seluruh keluarga. Di samping itu masih digunakan seperangkat upacara untuk maksud penyucian pada saat penting dalam siklus kehidupan manusia yang meliputi kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian; pada peristiwa pendirian bangunan yang penting, seperti peletakan batu pertama, pada saat menaikkan kuda-kuda, jembatan, peresmian balai desa, sekolah, kuburan dll. Tidak boleh dilupakan juga pada peristiwa sekitar agronomi (saat mulai menanam, saat mulai panen, upacara minta hujan dll.). Pada upacara-upacara tersebut di atas benda-benda lambang yang sesuai seperti tersebut di atas, memainkan peranan yang penting[9].
ad 3. Upacara kebangkitan
          Manusia beragama mempunyai kepercayaan,bahwa manusia dan dunianya karena ulah manusia sendiri yang salah yaitu melanggar tertib alam dantertib moral dapat mengalami erosi dan depresi menjadi disfungsional, sehingga tidak berfungsi lagi sebagamana mestinya. Guna mengembalikan vitalitas dan kesuburan yang semula ada perlu diadakan upacara kebangkitan atau upacara pembaharuan: Bentuk dan cara kepercayaan tidak sama, ada variasi dan nuansa yang ditemukan pada agama sederhana (bahari) dan agama modern. Namun gagasan pokok yang malandasi pada intiiiya adalah sama. Dalam garis besarnya sebagai berikut.
(1)          Ciptaan yang sudah rnenua harus ditiadakan (dilebur) dan dicipta kembali (recreatio atau juga re-incarnasi)[10].
(2)          Kehidupan yang menjadi “rutin” harus diperbaharui[11].
          Mengenai peleburan (ad I) ciptaan yang sudah tua dan tak berfungsi lagi terdapat latar belakang kepercayaan yang cukup umum. Pada satu sisi: Pengalaman rasa takut terhadap ancaman musuh akan semakin berat, apabila keadaan yang rusak parah dibiarkan begitu saja. Pada sisi lain, adanya pengalaman rasa rindu akan kebahagiaan murni seperti yang ada pada kead aan semula (aslinya). Padahal orang percaya bahwa keadaan aslinya ialah segar, vital, dan harmonis berkat persatuannya dengan dewa/Tuhan. Upacara “mati-bangkit” mi diperlambangkan dengan jelas dalam upacara pengorbanan binatang korban yang mewakili seluruh dunia ciptaan, seluruh diri manusia, seluruh tata hukum kehidupan. Dengan pengorbanan ini seluruh ciptaan dilebur (ditiadakan); seluruh ciptaan mati; segala dosa diampuni, sernua noda dicuci, dan seluruh unsur kematian dibinasakan. Hidup dikembalikan kepada sumbernya, agar terjadilah kehidupan yang murni (asli) seperti tatkala baru saja diciptakan[12].
          Perayaan mendobrak rutinitas dan penciptaan baru (ad 2) didasarkan atas pengalaman berikut. Penghayatan hidup sehari-hari mengalami erosi, karena menjadi gerakan rutin yang membosankan dan oleh karenanya juga mengurangi keherhasilan, kalau bukan malahan menyebabkan kegagalan. Perayaan pada intinya adalah mendobrak rutin dan menciptakan sesuatu yang baru. Manusia yang berpesta wajib berkreasi (menciptakan), harus sanggup membangunkan sikap yang sudah payah dengan membangkitkan gairah baru dengan rnenemukan dan menampilkan dimensi-dimensi baru dan dalam dunia yang terus-menerus berubah. “Di sinilah letak eksistensi manusia, yang membuka diri terus-menerus ke masa depan, ke penemuan diri, ke perkembangan identitas, ke pengenalan diri yang tak habis-habis nya’’[13].
          Contoh: Perayaan Tahun Baru merupakan peristiwa keagamaan yang tiap tahun berulang kembali. Di situ terdapat unsur kematian dan unsur pembaharuan. Benda-benda lambang yang dipakai dalam perayaan itu antara lain, membuang atau memecahkan barang-barang yang sudah tua (lama) seperti botol, piring, dll., lalu menampilkan benda lambang yang memberi terang, misalnya api unggun, pelita (obor) dalam rumah atau dalam perarakan, permainan kembang api. Ditampilkan pula benda lambang yang dapat memberi nilai kesegaran dan kemudaan seperti daun-daun muda (janur kuning, kuncup bunga-bungaan, kuncup jantung pisang, pohon beringin, daun kemuning sebagai lambang nemu “hening”, telur dsb.).

2.3.3. Fungsi Pengawasan Sosial (Social Control)
          Pada umumnya manusia, entah dari zaman bahari entah dan zaman modern, mempunyai keyakinan yang sama, bahwa kesejahteraan kelompok sosial khususnya dari masyarakat besar umumnya tidak dapat dipisahkan dan kesetiaan kelompok atau masyarakat itu kepada kaidah-kaidah susila dan hukum-hukum rasional yang telah ada pada kelompok atau masyarakat itu. Disadari pula (terkecuali kaum anarkis) bahwa penyelewengan terhadap norma-norma susila dan peraturan yang berlaku mendatangkan mala petaka dan kesusahan yang pada waktunya melemahkan fungsi masyarakat. Kenakalan remaja, pembunuhan dan kualitas yang biasa hingga yang sadis, peperangan antara bangsa dengan alat-alat penghancuran yang mengerikan adalah beberapa contoh yang membenarkan pernyataan di atas. Masalahnya menjadi lebih sulit apabila pelanggaran kaidah moral itu dilakukan oleh oknum atau instansi pemerintah yang syah. Misalnya tindakan yang melanggar keadilan dan hak-hak azasi manusia, dalam benhuk penindasan si lemah (baik dalam hal pengetahuan maupun kekayaan), penahanan warga negara yang salah kelewat batas, dlsb.
          Berkaitan dengan variabel-variabel norma susila dan kesejahteraan, penyelewengan dan keresahan di atas dipertanyakan: Apakah agama mempunyai kompetensi, suatu wewenang yang diakui oleh masyarakat pada umumnya? Kalau ya, maka timbul pertanyaan lain: dengan cara yang bagaimana agama melaksanakan wewenang itu?
          Berdasarkan kesadaran umum yang benar-benan ada pada semua pemeluk agama, yang didukung oleh tindakan yang diambil instansi keagamaan dari zaman ke zaman terhadap penyeleweng-penyeleweng kaidah susila yang mengganggu kesejahteraan umum, dapat ditarik kesimpulan berikut.
(1)     Agama (instansi agama) mempunyai fungsi pengawasan sosial (social control).
(2)     Agama (instansi agama) mempunyai fungsi profetis (kenabian) atau fungs kritis.

Fungsi pengawasan sosial
          Agama merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat manusia umurnnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama memberi juga sangsi. sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
          Kaidah-kaidah moral yang asli tercantum dalam hukum adat. Hukum itu merupakan cetusan hati nurani masyarakat yang hidup dalam kesadaran masyarakat dan dinilai sebagai pusaka suci yang berasal dan para leluhur yang menerimanya dan Tuhan. Sebagaimana adanya hukum adat merupakan suatu kompleks kebiasaan dengan kadar moral yang bervariasi dan yang berbobot moral (harus) turun ke yang berkadar kepantasan hingga yang berbobot sopan santun yang mengatur perilaku lahiriah. Berkat ketaatannya kepada hukum adat masyarakat merasa ikut mengambil bagian dalam keselamatan abadi dan merasa bersatu dengan hukum alam. Maka ikatan yang sakral itu sewaktu-waktu harus diperbaharui jika kendor atau rusak harus dikonsolidasi kembali meialui upacara keagamaan.
          Pengawasan atas berlakunya hukum adat itu dilakukan secara terperinci baik dalam tindak langkah sehari-hari maupun dalam kejadian yang khusus (seperti kelahiran, perkawinan, kematian dlsb.). Misalnya apakah pantangan, pemali atau tabu ditaati. Apakah tata cara adat gotong royong, kebiasaan senasib dan sepenanggungan, pepatah dan petitih masih ditaati dengan baik. Apakah upacara pada lingkup pertanian, pada pendirian rumah dan bangunan-bangunan penting sudah dipenuhi atau belum. Dalam masyarakat di mana adat dan agama masih menjadi satu maka pengawasan-pengawasan (kontrol) atas hukum yang tidak tertulis itu dilaksanakan oleh kepala adat (yang sekaligus kepala agama).
          Namun dalam perjalanan sejarah, tata hidup masyarakat sederhana dalam lingkup sempit dan tertutup itu mengalami perubahan. Kehidupan desa dimasukkan dalam sistem besar dan kerajaan dan negara yang feodal hingga yang modern. Ternyata sistem baru yang kemudian menjelma dalam negara-negara nasional itu datang dari luar daerah, jelasnya negara asing. Bersamaan itu masuk pula agama-agama besar yang mencari daerah misi baru. Baik negara maupun agama asing itu memberlakukan hukumnya sendiri-sendiri. Terjadi konfrontasi antara hukum adat dan hukum negara di satu pihak, dan hukum adat terhadap hukum agama besar di lain pihak. ini berarti si kecil melawan si besar, si lemah melawan si kuat. Apa yang terjadi dicatat pula oleh sejarah. Dalam banyak hal hukum negara menyerbu daerah hukum adat bahkan terdapat pemerkosaan etos adat dan kesusilaan asli.
          Berdasarkan buku-buku yang dipelajarinya Rachmat Subagya menyimpulkan (sehubungan dengan hal di atas) sebagal berikut. “Penyerbuan semacam itu tidak terjadi satu kali saja, melainkan berulang kali. Hukum Hindu yang termaktub dalam Kutaramanawa, Manayadharmacastra, Adhiguna dan lain-lain dipakai oleh para raja. Kitab Tuhfah, peraturan syariat, dipakai oleh para sultan. Pemerintah Belanda menambahkan azas hukum Barat. Dengan demikian timbullah situasi hukum yang disebut oleh B. Sudarso polynormativisme dan oleh Jaspan legal “syncretism”[14].
          Penulis di atas mengkhususkan pandangannya atas keadaan di Indonesia, terutama di Jawa. Kekuasaan politik yang bersatu dengan kekuasaan agama yang masuk di Indonesia seperti yang diuraikan di atas adalah kekuasaa dan India (Hindu dan Buddha) dan dan Arab (Islam), serta dan Eropa (baca Belanda).
          Ternyata agama asli tidak menyerah kalah begitu saja terhadap serbuan asing itu. Rakyat mengadakan reaksi terhadap hukum dari luar itu dengan menyaring hukum asing yang dapat memperkaya hukum asli. Terjadilah akulturasi hukum asing dengan hukum asli yang menghasilkan suatu sintesis baru. Di samping itu terdapat sejumlah unsur hukum asing yang dipaksakan untuk diterima penduduk asli. Namun ternyata bahwa apa yang dipaksakan itu belum dapat mengganti cita rasa hukum asli. Misalnya, larangan untuk mengadakan selamatan oleh agama Islam dan Kristen tidak ditaati penduduk (pemeluk agama asli). Upacara perkawinan yang telah diselenggarakan menurut peraturan agama yang bersangkutan misalnya masih dirasa belum lengkap tanpa upacara adat. Dan mereka baru merasa puas bila di samping upacara agama baru juga diadakan upacara adat entah sebelum entah sesudah upacara resmi keagamaan. Hasrat yang kuat dan agama asli itu belakangan ini memberikan dorongan kuat kepada agama-agama misioner untuk mengadakan inkulturasi liturgi. Dalam bidang mi usaha inkulturasi liturgi Gereja Katolik Indonesia ditingkatkan dan ditampung dalam Kongres Liturgi III di Jakarta, tahun 1980.
          Kembali kepada Lopik pembicaraan, yaitu fungsi agama bagi masyarakat, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1) Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dan adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat. (2) Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dan serbuan destruktif dan agama baru dan dan sistern hukum negara modern. (3) Di mana nilai hukum adat yang baik masih dapat ditingkatkan atau disempurnakan agama-agama mengadakan inkulturasi. (4) Pelanggaran terhadap hukum adat (asli) maupun hukum negara (yang berdimensi moral) dikenai sangsi-sangsi.

Fungsiprofelis atau kritis
          Bentuk pengawasan sosial agama terhadap masyarakat dalam dimensi yang tajam dapat dinamakan fungsi profetis (kenabian) atau fungsi kritis. Kekhususan dan fungsi profetis ini terletak pada sasaran dan caranya. Sasaran “kritik” tersebut ialah kategori atau golongan sosial yang sedang berkuasa atau pemegang tampuk pemerintahan yang dalam kedudukannya melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah-kaidah susila sehingga menimbulkan kerugian dan penderitaan baik moral maupun material kepada rakyat bawahannya. Dengan kata lain, keadilan (justice) dan ketenteraman (peace) masyarakat terganggu akibat ulah pemerintah yang salah.
          Fungsi kritis agama dapat dan bahkan hampir selalu menimbulkan konflik (bentrokan) antara instansi agama dan instansi pemenintah, karena pemerintah pada umumnya tidak senang dengan kritik itu, lalu mengadak an reaksi (perlawanan) untuk menangkis dan menghentikan kritik itu.
Kapan instansi agama rnulai rnelancarkan kritiknya terhadap pemerintah Tindakan yang demikian itu dilakukan apabila pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. Secara konkret: ialah jika harapan rakyat akan keadilan (justice) dan kedamaian (peace) praktis tak mungkin dicapai lagi, karena negara melalui tindakannya yang didukung oleh peraturan hukum maupun tanpa landasan hukum menyalahi hak-hak ilahi dan hak-hak azasi manusia. Misalnya antara lain:
-        Tiada lagi kebebasan rakyat untuk memeluk agama yang disukainya menurut kata hati nuraninya.
-        Tiada lagi kebebasan untuk herfikir dan mengeluarkan pendapatnya dalarn forum terbuka baik secara pribadi maupun rnelalui media komunikasi massa.
-        Secara nyata rakyat kecil yang bersalah atau diduga bersalah tidak mendapat perlakuan hukurn yang adil seperti: hukuman yang kelewat berat, penahanan yang tidak menentu lamanya.
-        Jika secara nyata golongan yang lemah baik mental maupun material dipakai sebagai tenaga murah, dipekerjakan tanpa imbalan yang dapat menjamin hidupnya, dan itu semua demi kepentingan pemerintah atau golongan yang sedang berkuasa.
-        Jika secara nyata pemerintah menutup jalan menuju ke perbaikan nasib sosial-ekonominya dengan memberikan perlindungan kepada golongan tuan tanah dan golongan kaya lainnya yang suka mempertah ankan kemiskinan struktural yang ada dalam negara.
-        Fakta-fakta lain yang melanggar moral sosial.

          Contoh konkret. Di Arnerika Selatan selama dua dasawarsa terakhir ini instansi agama (Katolik) melaksanakan fungsi kritisnya terhadap pemerintah-pemerintah setempat, yang sangat merugikan rakyat banyak karena melindungi golongan kecil yang kaya. Dalam kerangka fungsi profetiskritis itu muncul usaha lain yang digerakkan sekelompok teolog untuk menyusun landasan doktriner yang disebut “teologi pembangunan”, sebagai landasan ilmiah bagi pembangunan sosial pada skala nasional, regional, dan kontinental.
          Kasus yang serupa dijumpai pula di Filipina. Di negara itu para uskup Gereja Katolik mengajukan protes kepada pemerintah yang syah (rezim Marcos) karena sistem pemerintahannya menindas rakyat kecil.
          Di Indonesia beberapa waktu yang lalu suatu kelompok imam di Yogyakarta yang terdiri dan 40 orang mengajukan kritik terbuka kepada pemerintah, karena hasil Pembangunan tidak sampai di tangan rakyat kecil,  walaupun yang terakhir ini telah berkorban banyak untuk keherhasilan Pembangunan.
          Di Polandia masalah fungsi kritis agama dan konflik dengan pemerintah setempat terulang lagi. Di situ masalah kebebasan merupakan masalah pokok. Rezim pemerintah yang berhaluan komunis menghalangi kebebasan Serikat Buruh ‘‘Solidaritas’’ untuk mempertahankan eksistensinya dan melanjutkan operasinya. Bahkan pemimpinnya Lech Walesa beserta ribuan rekannya dimasukkan dalam penjara[15].
          Dan beberapa contoh konkret di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa ciri khas fungsi profetiskritis agama tidak hanya terletak pada sasarannya, dalam hal ini pemerintah, melainkan juga pada caranya yang herbeda dengan fungsi pengawasan (kontrol). Jika dalam fungsi yang pertama digunakan cara persuasif, dalam rnelaksanakan fungsi profetis dipakai cara ekssekratif (mengutuk) setelah cara persuasif (menasehati) tidak mempan. Akibat eks-sekrasi (Latin: exsecratio = kutukan) itu sudah jelas, ialah perlawanan pemerintah terhadap agama.
Sampai berapa jauh fungsi profetis itu?
          Cukup sering terjadi peristiwa-peristiwa agresif dengan kekerasan senjata yang dilancarkan golongan agama terhadap pemerintah yang syah. Motif yang mendorongnya pada umumnya ialah anggapan golongan agama yang bersangkutan untuk mengganti negara sekular dengan negara agama. Contoh, pemberontakan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam pada tahun 1948; gerakan Jemaat lmran di Bandung tahun 1981; revolusi Iran yang menumbangkan pemerintahan Syah Pahlevi tahun 1979, di bawah pimpinan lmam Khomeini. Dapat dipertanyakan apakah kegiatan di atas termasuk fungsi profetis agama?
          Berpedoman pada pengertian fungsi profetis dalam arti sempit, sesungguhnya harus dikatakan, bahwa kegiatan di atas tidak dapat dimasukkan dalam fungsi profetis-kritis agama. Sebab fungsi profetis dilakukan atas nama iman Thaca atas nama Tuhan). Tetapi gerakan-gerakan di atas (pemberontakan/revolusi) tidak dapat dikatakan atas nama iman (Tuhan) atau atas nama agama dalam arti yang sebenarnya, dan lebih tepat dikatak an “atas nama ideologi”. Karena dalam konteks itu agama telah dij adikan suatu ideologi; suatu ideologi yang berinspirasikan pada agama Sebagai suatu impian atau cita-cita. Akar ideologi yang lebih dalam ditemuk an dalam Agama Yahudi dalam masa Penjanjian Lama, jelasnya dalam tradisi kenabian, di mana orang percaya bahwa Kerajaan Allah yang dinantikan akan muncul sebagai dunia baru yang sepenuhnya adil, bebas, dan manusiawi. Dalam abad “Aufklarung”di Eropa, gagasan dasar itu dikembangkan menjadi suatu ideologi emansipasi yang hendak membebaskan manusia dan segala bentuk ketidakbebasan hanya dengan kemampuan rasio murni bersih dan pengaruh agama, dan yang kemudian dijelmakan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, yang diyakini memiliki kesanggupan luar biasa dan mampu memecahkan segala persoalan[16].
          Dalam kerangka ideologisasi agama di mana suatu golongan agama tidak bertolak lagi dan iman dan agama — (walaupun pelakunya masih menggunakan kata-kata “demi nama Tuhan” atau lagi “demi kemurnian agama”) — tetapi dan teori emansipasi, yaitu demi kepentingan golongann ya sendiri, maka gerakan serupa itu akan mendapat tantangan dari berbagai pihak. Contohnya, gerakan lmran dkk. di dalam negara kita yang mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Gerakan itu tidak luput dan konfrontasi fisik dengan ABRI, dan harus diakui keunggulan yang terakhir mi. Dalam kasus seperti di atas orang tidak boleh melihat tindakan negara itu sebagai serangan negara melawan agama, tetapi hanya sebagai bentrokan antara ideologi negara versus ideologi (suatu) sekelompok penganut agama tertentu.
          Dan segi lain, agama yang bermaksud menawarkan diri sebagai suatu ideologi pembebasan manusia dan segala belenggu ikatan yang tidak manusiawi, HARUS BERFIKIR LEBIH JAUH tentang persyaratan yang harus dipenuhi agama itu sendiri, apabila ia menginginkan keberhasilan. Pertama dan terutama ialah adanya kesediaan yang jujur dan ikhlas yang disusul dengan tindakan positif — untuk menempatkan diri sendiri di bawah Kritik yang mendalam (radikal). Khususnya mengenai kualifikasi kedudukannya sendiri di tengah masyarakat; lalu mengenai kekurangmampuannya berfungsi sebagai kekuatan spiritual (religius); dan akhirnya mengenai kedudukannya sebagai ideologi umumnya, namun ditempatkan dalam dan terhadap konteks laju perkembangan dunia yang telah berubah dan akan terus berubah menuju kepada puncak-puncak dan ranting-ranting kehidupan sekular yang semakin menajam.

2.3.4. Fungsi Memupuk Persaudaraan
          Membaca subjudul di atas sejumlah cerdik-pandai tentu akan menggoyanggoyangkan tangannya sebagai tanda tidak setuju dengan ungkapan di atas bahwa agama berfungsi sebagai pembina persaudaraan. Mereka seperti akan berkata, “Tuh, lihatlah sejarah! Apa yang kalian temukan? Bukannya persaudaraan antar manusia, melainkan permusuhan dan perpecahan karena masalah agama!” Dan mereka masih dapat menunjuk lagi peristiwa konflik di Irlandia Utara, di Filipina Selatan, di Indonesia (pembakaran rumah-rumah ibadat, rumah sakit dll.). Pendapat mereka dibenarkan?!
          Gambaran di atas tidak obyektif, karena berat sebelah. Karena mereka hanya dapat melihat yang negatif saja, seakan-akan masa lampau hanya diisi dengan permusuhan saja, dan tidak pernah ada kedamaian. Kalau sejarah dibaca lebih teliti, ternyata peristiwa persaudaraan dan perdamaian lebih besar daripada permusuhan. Coba telili saja jalannya sejarah bangsa Indonesia tahun 1981. Ada 4 Tniwulan (T). Berilah nilai plus ( +) untuk T di mana tidak ada keresahan agama, dan tanda nilai minus (—) untuk T di mana ada keresahan. Kalau demikian maka gambarannya sebagai berikut. T I: minus (—), karena keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Agama (kalau itu dianggap keresahan). T II plus (+); T III plus (+); T IV plus (+). Jadi keadaan I T (—) dan III T (+). Maka variabel positif lebih besar daripada variabel negatif. Atau masa kedamaian (persaudaraan) lebih banyak daripada masa keresahan (permusuhan). Itu semua berkat adanya agama. Umat beragama dapat menahan diri untuk menciptakan situasi damai.
Dengan gambaran di atas menjadi jelas pula bahwa dalam sejarah umat manusia (khususnya umat beragama) situasi kerukunan masih jauh lebih positif daripada negatif. Konflik tidak terjadi terus-menerus, tetapi hanya kadang kala saja. Masa perdamian antara golongan Kristen dan Islam misalnya dalam abad-abad yang silam jauh lebih panjang daripada masa bentrokan.
          Jika kita menyoroti keadaan pensaudaraan dalam satu jenis golongan beragama saja misalnya umat Kristen tersendiri, umat Islam tersendiri maka menjadi teranglah bahwa agama masing-masing sungguh berhasil dalam menjalankan tugas “memupuk pensaudaraan”. Karena baik Agama Kristen maupun Islam masing-masing berhasil mempersatukan sekian banyak bangsa yang berbeda ras dan kebudayaannya dalam satu keluarga besar di mana mereka menemukan ketenteraman dan kedamaian. Dengan demikian melalui agama perdamaian di bumi yang didambakan oleh setiap insan untuk sebagian sudah mulai terwujud. Perpecahan antara bangsa-bangsa mulai berkurang. Apa yang diyakini dan diinginkan umat Kristen “Damai di bumi bagi semua orang yang berkehendak baik”, bukan hanya merupakan cita-cita kosong, melainkan telah menjadi kenyataan sosiologis yang dapat dinikmati banyak orang dan dapat disaksikan banyak bangsa dari abad ke abad.
          Bahwa semua manusia mendambakan persaudaraan dan perdamaian adalah sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya. Tidak perlu dibuktikan secara sosiologis ataupun filosofis. Dunia tidak menginginkan perpecahan dan permusuhan melainkan persatuan dan perdamaian. Bahkan bukan asal ada persatuan sembarang, melainkan persatuan yang tertinggi dan yang lestari sebagai jalan untuk mencapai kedamaian yang sesempurna mungkin. Banyak usaha telah dicoba manusia dari zaman ke zaman untuk mewujudkan kesatuan dan kedamaian yang tertinggi itu. Hasilnya tidak selalu memuaskan. Kesatuan yang pernah dicapai terpecah lagi dan perlu dicari dasar-dasar kesatuan baru yang dianggap sanggup melestarikan bentuk integrasi baru.
          Dari masa ke masa manusia telah mencoba menemukan dasar kesatuan yang tangguh untuk mempersatukan umat manusia yang tercerai-berai. Dilihat dan segi mutu kesatuan dapat disebut dua kategori kesatuan sebagai berikut:
1)      Kesatuan kuantitatif dan kesatuan organik (biologis). Kesatuan kuantitatif merupakan bentuk kesatuan yang terendah karena terdiri dari bagian-bagian yang homogen seperti misalnya kesatuan batu. Batu terdiri dan bagian-bagian terkecil yang disebut atom-atom. Bentuk kesatuan tersebut tidak dapat dipakai makhluk manusia, karena manusia bukanlah atom-atom. Kesatuan organik seperti yang terdapat pada organ biologis, misalnya tubuh manusia, juga tidak dapat dipakai wadah pemersatu manusia, karena manusia bukanlah makhluk organik saja. Maka bentuk kesatuan kategori ini dapat dikesampingkan saja.
2)      Kesatuan sosiologis. Kesatuan jenis inilah yang menjadi pusat perhatian kita di sini.
          (a)   Kesatuan sosiologis yang tertua ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur-unsur kesamaan: darah, daerah, bahasa, dan nasib yang sama. Kesatuan tersebut dapat bertahan lama atau relatif lama, tetapi ruang lingkupnya sangat terbatas hanya pada suatu keluarga atau suku. Bilamana proses perkembangbiakan berjalan maju dan meluas, maka tali persaudaraan dan persatuan mulai kendor dan bahkan melenyap. Orang mencari landasan persatuan baru.
          (b) Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama. Misalnya golongan yang berbeda keturunannya dan bangsanya, situasi geografisnya merasa “bersaudara” karena mempunyai pandangan hidup yang sama seperti: liberalisme, sosialisme, komunisme, marhaenisme dsb. Rasa persaudaraan ini amat rapuh, karena orang tidak saling mengenal. Dalam hidup sehari-hari mereka jatuh kembali dalam keluarga atau kekerabatan.
                 Mereka dalam kandungan liberalisme misalnya tidak menemukan kepuasan sepenuhnya. Bentrokan dan perpecahan di dalamnya adalah hal yang biasa.
          (c)   Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa kecil bergabung dalam satu sistem kenegaraan yang besar  seperti misalnya Negara Republik Indonesia, Negara Malaysia, Filipina, India, Cina, Amenika Senikat. Untuk melindungi keamanannya maka sejumlah negara yang mempunyai kepentingan yang sama bergabung dalam suatu pakta militer atau nonmiliter, seperti misalnya NATO, pakta Warsawa, ASEAN dsb. Dalam banyak negara dimungkinkan hidupnya partai-partai politik yang mengikuti ideologi golongan masing-masing sejauh tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara yang bersangkutan. Kekuatan persatuan yang tumbuh dalam kesatuan politik tidak menentu, tergantung dan perkembangan situasi dan kondisi di dalam dan di luar negeri. Perselisihan, bentrokan dan perpecahan dalam golongan dan partai dalam satu negara adalah hal yang lumrah.
          (d) Kesatuan atas dasar pragmatis. Kesatuan ini mengesampingkan unsur ideologis, politis, ras dan warna kulit, bahkan juga unsur agama dan kepercayaan. Dibentuk organisasi yang sifatnya “netral”, dapat dimasuki siapa saja tanpa pandang bulu asal saja dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Persatuan jenis ini terdapat dalam bidang kesehatan, seni olah raga, seni suara, seni lukis dsb. Tali persatuan jenis ini yang meliputi lingkup skala nasional dan internasional, dapat berfungsi lebih tenang dan lebih senang. Namun setiap orang secara naluri merasa bahwa kebahagiaan yang dicapai dalarn wadah persatuan itu jauh dari lengkap. Karena di situ baru ditemukan bagian kecil dari kebulatan kebahagiaan yang besar dan mendalam.
          (e)   Kesatuan Iman keagamaan. Di antara kesatuan sosiologis, kesatuan iman keagamaan adalah kesatuan yang tertinggi yang dapat dikenal manusia di dunia ini. Karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dan dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi (ultimate) yang dipercayai bersama. Di sini manusia menjumpai sesamanya dal am suatu “kepercayaan bersama” (een gemeenschappelijk geloven) di mana semua dari masing-masing dan bersama-sama menyerahkan diri kepada “yang tertinggi” dan dalam mengalami kebersamaannya dalam iman bersama merasakan kebahagiaan yang tertinggi. Maka dalam persatuan ini manusia selalu mencarii sesamanya yang seiman, karena hanya di dalam jenis kesatuan yang seiman, manusia dapat mengungkapkan perasaan yang terdalam dan terkuat. Dalam persatuan itu dimungkinkan inhimitas yang terdalam di mana masing-masing mengalami kesendiriannya sedalam-dalamnya dalam persentuhannya serta kemanunggalannya dengan “yang tertinggi” dan yang tersuci secara bersama-sama. Bila “yang tertinggi” diimani sebagai “Kasih” itu sendiri yang mengasihi mereka maka kesatuan iman itu menjalin kesatuan bentuk baru yaitu kesatuan kasih. Dalam agama yang mengajarkan dan mengimani bahwa Tuhan itu KASIH yang mengasihi manusia dengan kasih yang tanpa pamrih, yang dibuktikan dengan pengorbanan-Nya yang tak ternilai (iman sedalam itu diajarkan misalnya dalam Agama Kristen) maka kesatuan kasih antar umat yang seiman itu terungkap juga dalam masyarakat luas dalam perbuatan-perbuatan karitatif yang tanpa pamrih. Bagi golongan luar yang tidak memiliki kepercayaan sebesar itu adalah hal yang sulit, bahkan mustahil tidak masuk akal bahwa ada orang yang mau berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa mencari kepentingan sedikit pun bagi diri sendiri.
          Kesatuan iman dan kesatuan kasih yang diajarkan dan dipupuk, diperkembangkan oleh agama termasuk suatu misteri yang tidak dapat dipahami secara tuntas oleh manusia. Di dalam relasi kasih antara manusia — Tuhan (KASIH) — sesama manusia —, terdapat unsur kekuatan yang tak dapat dijangkau oleh daya tangkap manusia, yaitu unsur kasih ilahi. Kalau demikian maka “kepercayaan bersama” (gemeenschappelijk geloven) yang Setinggi itu disebut kepercayaan transendental, sedangkan kepercayaan yang tidak sejauh itu masuk kategori nontransendental atau biasa saja. Pembedaan itu bagi sosiologi tidak begitu penting; yang terpenting ialah eksplisitasinya dalam bentuk kemasyarakatan, tak peduli apakah bentuk itu bersifat permanen ataukah hanya sementara dan berubah-ubah[17]. Sebab kalau demikian bentuk itu dapat diteliti dan dipélajari secara sosiologis.
          Pada masa permulaan di mana umat suatu agama masih merupakan kelompok kecil, dalam lingkup daerah yang relatif sempit, maka rasa kemesraan (intimitas) masih mudah dihayati bersama. Khususnya hal itu tampak sebagai fakta sosiologis dalam perayaan ibadat (liturgis) seperti pengadaan korban bersama, doa bersama, pelajaran agama; kesemuanya terjadi dalam satuan-satuan sosiologis yang kecil.
          Tetapi dalam masa-masa berikutnya jumlah penganutnya bertambah melampaui batas-batas kesukuan dan kedaerahan. Lingkaran kesatuannya membesar dan muncullah berturut-turut jemaat nasional, internasional dan mondial. Adalah hal yang biasa bahwa dalam proses perkembangan pada skala etnis dari geografis itu tumbuh pula proses-proses pengkhususan (diferensiasi) dan perpecahan (separasi). Sebab semakin besar kesatuannya, semakin luas kebinnekaannya, akan semakin kendor pula rasa intimitas dan kemanunggalannya, meskipun ada kesadaran dalam iman bahwa mereka semua adalah satu. Namun kesadaran akan kesatuan yang demikian itu lama kelamaan akan luntur karena tidak mendapat umpan balik yang men eguhkannya melalui kontak dan pertemuan berkala yang mesra. Dalam keadaan kosong dan terasing satu sama lain yang membawa serta rasa kesepian dan rasa kurang aman, yang diperkuat dengan munculnya arus urbanisasi dan fenomena industrialisasi maka adalah hal yang manusiawi kalau golongan yang merasa tidak puas itu mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
          Maka muncullah komunitas-komunitas keagamaan dan orang-orang yang mau meningkatkan penghayatan imannya bagi kepentingan kesatuannya dan demi pengamalannya bagi masyarakat luas di sekitarnya. Kalau timbulnya komunitas-komunitas religius di atas membawa akibat positif bagi kepentingan kesatuan agarna umumnya, sebaliknya datangnya sekte-sekte baru tidak selalu demikian halnya, karena sekte-sekte ini dengan segala maksud baiknya akhirnya mengarah kepada proses pemisahan diri dan induk kesatuan agama. Perpecahan menjadi kenyataan konkret waktu golongan jenis itu menyatakan mau hidup sendiri lepas dan kandungan induknya atas dasar-dasar baru seperti: prinsip penafsiran tersendiri terhadap sumber ajaran iman dan sistem organisasi yang tersendiri pula.
          Sejarah perkembangan agama-agama mencatat malahan pemisahan-pemisahan yang besar. Contohnya dapat diambil dari Agama Kristen yang dikenal dengan istilah skisma Timur (abad ke-11) dan skisma Barat (abad ke-16).
Tetapi sejarah juga mencatat adanya proses reintegrasi atau persatuan kembali, terutama dalam Agama Kristen, yang juga disebut gerakan ekumene. Khususnya dalam abad ke-20 ini para penganut Agama Kristen memperoleh kesadaran lebih jelas bahwa menurut kehendak pendirinya mereka harus bersatu. “Semoga mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:22). Tetapi baiklah diketahui pula bahwa keinginan untuk bersatu (hidup rukun dan damai) tidak saja dengan saudara-saudara Seiman, tetapi juga dengan golongan lain agama, dewasa ini mulai berkembang pula. Hasil dan dialog antar umat beragama hingga saat ini memang belum dapat dikatakan memuaskan. Namun hal itu tidak mengurangi integratif agama, yaitu memupuk dan membina persaudaraan antar umat manusia yang tercerai-berai.

2.3.5. Fungsi transformatif
          Dalam uraian di atas telah kita soroti fungsi pengawasan (kontrol) dan fungsi kenabian (profetis dan kritis) agama. Di sini akan disinggung sebentar fungsi transformatif agama, karena fungsi ini menurut pengertiannya berbeda dengan pengertian pengawasan dan kenabian. Kata transformatif berasal dan kata Latin “transformare”, artinya mengubah bentuk. Jadi fungsi transformatif (yang dilakukan kepada agama) berarti mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama dalam bentuk kehidupan baru. ini berarti pula mengganti nilai-nilai lama dengan rnenanamkan nilai-nilai baru.
          Berdasarkan pengamatan analitis diketahui bahwa kehidupan masyarakat lama dibentuk oleh nilai-nilai adat yang diwariskan dan angkatan sebelumnya yang berupa pola-pola berfikir, merasa serta pola-pola kelakuan yang harus ditaati. Nilai-nilai itulah yang membentuk kepribadian atau identitas manusia serta masyarakatnya menurut tipologi adat tertentu. Apabila nilai-nilai sosial di atas ditimbang dan dinilai menurut ukuran baru yang dipakai agama-agama baru yang masuk dalam lingkungan masyarakat adat itu, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial tersebut tidak semuanya bersifat manusiawi (wajar). Sebagian dinyatakan bertentangan dengan kaidah-kaidah kemanusiaan yang wajar. Maka transformasi berarti juga mengubah kesetiaan manusia adat kepada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi dan membentuk kepribadian manusia yang ideal. Bersamaan dengan itu transformasi berarti pula membina dan mcngembangkan nilai-nilai sosial adat yang pada intinya baik dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas.
          Baiklah dikemukakan di sini sejumlah nilai sosial adat yang telah mengkristal dalam pola-pola berfikir dan berkelakuan yang oleh agama umumnya dipandang kurang manusiawi.
          Yang melekat pada manusia umumnya. Misalnya kegiatan berfikir dan bertindak yang semata-mata dikendalikan oleh kekuatan batin yang disebut “egoisme”, di mana secara radikal tidak ada tempat untuk pengertian berkorban demi kepentingan orang lain tanpa pamrih. Tidak adanya pemahaman tersebut sering menimbulkan akibat yang merugikan masyarakat luas. Misalnya suatu kelompok kemanusiaan mendirikan poliklinik atau rumah sakit di suatu wilayah.
          Apa yang dialami kelompok itu? Kelompok itu mendapat reaksi hebat. Masyarakat sekitarnya berupaya menggagalkan usaha itu, karena menurut pendapat mereka tidak mungkin orang (dalam hal ini kelompok kemanusiaan itu) berbuat sesuatu tanpa harapan akan mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri atau golongannya. Mentalitas yang masih ada di mana-mana ialah: membalas dendam orang yang telah berbuat salah kepadanya, misalnya pepatah “utang pati nyaur pati” (nyawa ganti nyawa); sikap mental lain yang tercela ialah “membenci musuhnya”, karena sama sekali tidak masuk akal bahwa agama mengajarkan orang harus mengasihi musuhnya. Masih dapat ditambahkan di sini sikap mental yang intinya dapat dikembalikan kepada rasa kurang harga diri, tak berani mengambil sikap tanggung jawab sendiri, mengelakkan pertanggungjawaban kepada orang lain entah kepada atasan yang memberikan perintah (di sini sikap mental yang berorientasi ke atas), entah kepada rekan sejawat. Sehubungan dengan itu masih dapat diketengahkan sikap “narima” yaitu menyerah kepada nasib, tetapi jika ada usaha memperbaiki nasib lalu mengambil jalan “pendek”, dengan mencari keuntungan tanpa melalui jerih payah sendiri terlebih dulu. Misalnya, tindak korup dan Semacamnya.
          Nilai-nilai sosial yang kurang manusiawi yang menguasai struktur masyarakat. Beberapa data sekedar untuk contoh. Antara lain: Masyarakat adat pada umumnya tersusun dan kelas-kelas (kasta). Keadaan Seperti ini menguntungkan golongan ningrat dan merugikan golongan orang biasa serta memungkinkan perlakuan yang kurang manusiawi dan golongan berkuasa terhadap bawahan yang lemah. Dan sumber itu muncul fenomena perbudakan dalam sejarah manusia. Kemiskinan struktural diikuti fenomena ketidaksehatan struktural. Pimpinan masyarakat beserta sistem peraturannya “membenarkan” dan melestarikan ketidakadilan yang akibat negatifnya menimpa orang kecil, seperti penindasan dan penghisapan terhadap bawahan. itu semua dapat dirangkum dalam satu kalimat, bahwa hak-hak azasi manusia dalam masyarakat adat belum berlaku sebagaimana mestinya.
          Bahwa agama-agama diharapkan semua pihak yang menyadari masalahnya secara mendalam untuk mengadakan perubahan dalam hal-hal yang disebut di atas tidak perlu pembuktian yang panjang lebar. Khususnya instansi keagamaan sendiri memiliki kesadaran yang mendalam bahwa mereka mendapat tugas dan pendirinya untuk mengubah dunia. Tugas transformatif itu bagi setiap agama tercantum dalam ajarannya, terutama agama-agama modern yang juga menamakan dirinya agama universal. Tugas itu nampak lebih jelas dalarn agama yang mengajarkan bahwa kebenaran yang diajarkannya itu dinyatakan sebagai “garam dunia” atau pula “ragi dunia” (Mat 5:13 dan Mat 13:33); juga dengan tingkapan “terang dunia” (Mat 5:14). Ungkapan dengan benda lambang garam, ragi, terang, sudah jelas dimaksudkan untuk mengubah wajah dunia. Apakah penunaian tugas transformatif itu telah menghasilkan buah yang memuaskan adalah soal lain. Namun sebagai bukti orang dapat menelusuri sejarah dunia.

2.4.    Pengaruh agama terhadap stratifikasi sosial
          Gambaran yang hendak dicari dalam pengkajian ini adalah suatu gambaran umum tentang perpautan pengaruh agama dengan lapisan-lapisan masyarakat dan pengaruh lapisan-lapisan masyarakat terhadap agama. Dikatakan hanya gambaran umum, karena pengkauan ini tidak bertolak dan penelitian ilmiah yang lazim diadakan para ahli sosiologi untuk membuktikan suatu teori atau hipotesis, tetapi hanya didasarkan atas pengamatan kasar sehari-hari dan atas hasil refleksi sosiologi Agama yang nilai ilmiahnya masih bersifat nonempiris dalam arti sempit,  karena hanya diangkat dan pengamatan yang umum.
          Dalam kaitan ini perlu diingat kembali ajaran Sosiologi Umum tentang arti dan isi pengertian stratifikasi sosial dan lapisan sosial. Yang dimaksud dengan stratifikasi sosial (social stratification) ialah susunan berbagai kedudukan sosial menurut tinggi rendahnya dalam masyarakat. Seorang pengamat menggambarkan masyarakat sebagai suatu tangga yang berdiri yang mempunyai anak tangga-anak tangga dari bawah ke atas. Stratifikasi sosial itu tidak sama antara masyarakat yang satu dan yang lain, karena setiap masyarakat mempunyai stratifikasi sosialnya sendiri. Kalau jarak antara tangga yang satu dengan anak tangga di atasnya ditarik garis horisontal maka terdapat suatu ruang.
          Ruang itu disebut lapisan sosial. Dalam ruang itu tinggal orang-orang yang mempunyai kedudukan setingkat. Jadi lapisan sosial (social stratum) adalah keseluruhan orang yang berkeduduk an sosial setingkat. Jikalau anggota-anggota lapisan sosial itu merasa din bersatu dan menyadani kedudukannya yang setingkat maka timbullah sebuah kelas sosial (social class).
          Di samping itu seorang pengamat masih dapat membuat penggolongan anggota masyarakat dalam satuan-satuan kategorial (social category). Pembuatan kategori sosial memang tidak dibuat berdasar atas kedudukan sosial yang sama yang disadari bersama oleh para anggotaflya seperti dalam hal lapisan sosial, tetapi menurut akal dan keinginan si pengamat sendiri. Satu-satunya kriterium yang dipakai untuk penggolongan kategorial ialah ciri yang sama yang tidak mereka perhatikan namun secara khusus diperhatik an oleh pengamat. Misalnya ciri yang sama menurut jenis kelamin: golongan pria, golongan wanita; pendidikan: golongan cendekia dan golongan buta huruf; ciri yang sama dalam usia: golongan tua dan golongan muda; ciri yang sama dalam hal pekerjaan golongan petani, golongan buruh, golongan pegawai negeri, golongan tentara, dan lain sebagainya. Ini semua dilakukan si pengamat untuk kepentingan penelitian. Ciri khusus mana yang sedang diperhatikan tergantung dan si pengamat sendiri.
          Masyarakat bukan saja suatu struktur sosial stabil, tetapi suatu struktur yang berkembang dan berubah terus-menerus sebagai akibat dari kekuatan hukum masyarakat yang disebut proses sosial dan perubahan sosial entah dalam ritme yang cepat entah lambat. Laju proses sosial (social process) dan perubahan sosial (social change) itu sendini tidak rerlepas dan perubahan sosio-kultural, bahkan justru karena dipengaruhi secara langsung oleh sosio-budaya, teristimewa apabila kebudayaan asli bertemu dengan kebudayaan asing. Dan pelajaran Sosiologi Umum kita mengetahui bahwa dan antara unsur-unsur kebudayaan agama memainkan peranan dominan atas masyarakat baik itu agama asli maupun agama asing. Sebagaimana de fakto unsur kebudayaan nonreligius mempengaruhi dan mengubah masyarakat melalui lapisan-lapisan sosial, demikian pula agama sebagai unsur kebudayaan religius hanya dapat masuk dan meresap dalam masyarakat melalui lapisan-lapisan masyarakat.
          Yang menjadi pokok persoalan dalam pengkajian ini ialah: Apakah ada perbedaan yang berarti dalam cara menanggapi dan menghayati iman (ajaran) agama oleh lapisan-lapisan sosial dan satuan-satuan kategorial yang ada dalam masyarakat.
          Atau dengan kata lain, bagaimana konfigurasi variabel tanggapan lapisan-lapisan sosial itu terhadap tiga tantangan (“titik putus” atau “breaki ng points”) ialah: kelangkaan, ketidakpastian, dan ketidakmampuan manusia, yang muncul dan dunia supra-empiris.
          Persoalan di atas amat rnenarik, karena jawaban akan mempunyai relevansi baik bagi instansi keagamaan maupun instansi non-keagamaan. Persoalan yang perlu dijawab muncul dan kenyataan bahwa di satu pihak pendiri agama serta penyebar-penyebarnya berasal dan lapisan sosial tertentu; di lain pihak pentobat-pentobatnya atau penganut-penganut yang muncul kemudian hidup dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda karena berasal dan lapisan sosial yang berbeda-beda pula. Setiap keseluruhan orang dalam suatu tangga masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam satuan itu tetapi berbeda dengan keseluruhan orang yang tinggal dalam tangga masyarakat yang lain baik di bawah maupun yang ada di atasnya. Dan pengalaman dapat dikatakan, bahwa dari kedudukan (status) sosial yang berbeda-beda dan fungsi yang berbeda-beda pula, sejajan dengan pendidikan dan keahlian untuk lapisan yang satu dengan yang lain, muncul kebutuhan yang berbeda-beda, gaya dan pandangan hidup yang berbeda, cara berpikir dan motivasi yang berbeda dalam menanggapi dan menghayati tuntutan agama. Misalnya mengenai cita-cita mengganti Pancasila Sebagai dasar negara dengan Syariat Islam sebagai dasar negara, ada golongan yang mendukung dan ada golongan yang menentang. Demikian pula terhadap gerakan awamisasi tugas-tugas keagamaan terdapat sikap yang pro dan yang kontra.
          Karena langkanya karangan terbaru mengenai masalah yang sedang kita bicarakan di atas maka sejumlah ahli sosiologi masih menggunakan bahan-bahan dan Durkheim, Weber dan Malinowski dalam masalah yang sama. Apalagi untuk Indonesia masalah ini belum diselidiki secara ilmiah sehingga sumber ilmiah (teoretis) sebagai titik tolak dan pendorong masih perlu cari dari buku-buku luar negeri, khususnya dan Eropa dan Amerika Serikat.
          Di bawah ini akan dikemukakan beberapa pandangan mengenai pen garuh agama atas lapisan-lapisan sosial dan sebaliknya.


(1)          Golongan petani.
        Sikap mental golongan petani terbentuk oleh pengaruh situasi dan kondisi di mana mereka hidup; antara lain: faktor kumatologis dan hidrologis seperti musim dingin dan musim panas, yang sejalan dengan musim kering dan musim penghujan; faktor flora dan fauna seperti tanaman padi, sayuran, palawija dll. yang penggarapannya dibantu tenaga ternak yang dipelihara (kuda, sapi, kerbau dll.). Maka seperti dikatakan WEBER kaum petani lebih terlibat dalam proses organik dan peristiwa alam yang tak terhitung jumlahnya dan siklus yang satu ke siklus berikutnya dalam ritme yang tidak dipercepat atau diperlambat. Hukum cocok tanam tidak dapat diperhitungkan secermat seperti pada ekonomi pemasaran, maka kaum petani lebih cenderung untuk mendayagunakan kekuatan magi guna mempengaruhi kekuatan kosmos yang irrasional. Itulah sebabnya kaum petani pada umumnya rnempunyai kecenderungan religius Iebih besar daripada kelompok manusia dan lapisan sosial lain.
                        Semangat religius yang hidup dalam golongan petani itu nampak jelas dalam pengadaan sejumlah pesta pertanian pada peristiwa penting. Misalnya kaum petani di Indonesia mengadakan selamatan pada waktu menanam benih dan pada waktu panen, tidak saja pada zaman pra-industri tetapi juga pada zarnan sekarang ini. Orang Jawa menyebut upacara ini “wiwit” (mulai pernotongan padi) yang diadakan untuk menghormati Dewi Sri, yang dipercayai sebagai pelindung kesuburan sawah dan ladang. Jalannya upacara dan jenis korban yang dipakai serta doa yang diucapkan bervariasi menurut tempatnya[18].
                        Pesta pertanian (panen) yang serupa terdapat pula pada bangsa Yahudi zaman bahari sebagaimana tercatat dalam Kitab Suci mereka (baca Perjanjian Lama). Mereka mengadakan “massot” atau pesta Roti Tak Beragi atau Pesta Paska. Pesta itu dirayakan selama 7 hari dan selama itu mereka makan roti tak beragi yang dibuat dan bulir yang baru dipetik sebagai tanda permulaan baru. Di samping “massot” masih ada pesta yang disebut “sabu’ot” dan “asif”. Perayaan “sabu’ot” atau Pesta Berkas Gandum atau Pesta Menuai, diadakan 7 minggu setelah “massot” dan ditutup dengan “asif” atau Pesta Buah[19].
                        Maka dan pengamatan yang kurang mendalam ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yang masih bersifat hipotesis sebagai berikut.
-          Golongan petani mempunyai jiwa religius yang relatif lebih besar dan jalannya hidup keagamaan meneka lebih stabil. Penyampaian ajaran agama kepada mereka Iebih sesuai dengan cara yang sederhana, rnenghindarkan teori-teori abstrak (seperti Summa theologia atau teologi Pembebasan), tetapi dengan lambang-lambang atau perumparnaan yang diambil dari dunia pertanian seperti yang dilakukan Kristus di Palestina, yaitu perumpamaan seorang penabur benih, penumpamaan biji sesawi, penumpamaan kebun anggur, penumpamaan pohon ana, perumpamaan ragi yang dicampur dengan tepung terigu, perumpamaan garam dan ragi. Untuk petani di pulau Madura misalnya suatu teologi “kerapan sapi” akan lebih cocok daripada pelajaran dan buku katekismus. Tetapi untuk sebagian penduduknya yang mata pencahariannya sebagai nelayan (pencari ikan) maka “teoiogi penangkapan ikan” akan dirasa lebih sesuai bagi golongan itu.
-          Masalah adaptasi dan inkulturasi atau pemribumian agama yang berasal dari luar negeri, khususnya yang menyangkut prioritas langkah mulainya dari soal bagaimananya, jawabannya akan ditemukan lebih tepat dari kalangan para petani di pedesaan. Di situ soal waktu misalnya bukanlah merupakan “masalah uang” seperti pada golongan pedagang, tetapi dianggap sebagai “masalah pertumbuhan”.
-          Pernyataan Weber yang diikuti O’Dea bahwa kaum petani sebagai kelas tidak suka menjadi penyebar agama yang aktif, kalau tidak diancam dengan perbudakan atau dirampas harta miliknya[20], ternyata tidak berlaku bagi kaum petani di Indonesia. Di sini ternyata tidak sedikit imam pribumi, kyai, pendeta, para katekis dan mubaligh berasal dari golongan petani.
          (2)   Golongan pengrajin dan pedagang kecil
                        Golongan ini hidup dalam situasi dan kondisi yang berbeda dengan golongan petani. Golongan ini kurang bergumul dengan permainan hukum alam (pertanian). Hidup mereka lebih didasarkan atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Tuntutan hidup yang mereka hadapi dalam situasi dan kondisi nonagraris itu mereka tanggapi dengan cara dan gaya tensendiri: bukan menyandarkan diri pada kedermawanan alam yang datang lambat dan tidak menentu, melainkan dengan penencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti. Menurut Weber yang mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya — (yaitu Agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Buddha, Konfusianisme dan Taoisme) golongan pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang mencakup etika pembalasan[21]. Mereka menaati kaidah moral dari pola sopan santun dan percaya bahwa pekerjaan yang baik yang dilak ukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas jasa yang setimpal. Namun akhirnya agama yang mereka pilih adalah agama etis yang rasional. Dengan kata Lain, unsur emosi tidak memainkan peranan yang terpenting.
          (3)   Golongan pedagang besar.
                        Kategori orang-orang dan lapisan ini menunjukkan sikap mental yang lain lagi terhadap agama. Pada umumnya golongan ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan (compensation) moral, seperti yang dimiliki tingkat menengah bawah. Sepanjang sejarah manusia kelas ini dikuasai oleh orientasi keduniawian (mundane) yang menutup kecenderungannya kepada agama yang profetis dan etis. Semakin besar kemewahan mereka semakin kecil hasrat mereka terhadap agama yang mengarah kepada dunia lain. Dari pengalaman yang dapat dikumpulkan dapat dikatakan pula bahwa jika mereka berhasil ditarik masuk salah satu agama, perhatian mereka kepada masalah pendalaman iman melalui pengajaran agama dan peribadatan, kehadiran mereka agak langka. Namun sebagai gantinya mereka (meski jumlahnya kecil) tidak berkeberatan memberikan bantuan uang atau barang untuk kemajuan agama yang mereka anut. Selanjutnya kegiatan yang diperlukan untuk pengembangan agama mereka serahkan kepada orang lain.
          (4)   Golongan karyawan.
                        Istilah “golongan karyawan” diturunkan di sini dengan maksud untuk mengikuti khazanah peristilahan yang berlaku sekarang dalam masyarakat Indonesia. Dalam pengertian ini termasuk semua pegawai negeri sipil, dan dibedakan pegawai dan angkatan bersenjata (ABRI) di satu pihak, dan pegawai perusahaan swasta di pihak lain. Weber menyebut kelas orang-orang ini dengan istilah “kaum birokrat” (bureaucracy) dan dikenakan fenomena yang sama baik di masyarakat Barat maupun di masyarakat lain yang telah memiliki peradaban dunia.
                        Sangat menarik adalah pernyataan Weber yang mengambil data-data dan pengamatannya di Cina, khususnya Agama Konfusianisme, bahwa kecenderungan religius kaum birokrat bersifat “serba mencari untung dan enak” (opportunistic and utilitarian). Di sana terdapat ajaran hasil persetujuan bersama yang mengandung kekosongan mutlak akan perasaan dan kebutuhan akan keselamatan (salvation) atau landasan transenden untuk kesusilaan (ethic). Agama perseorangan yang berdasarkan perasaan pun cenderung disingkirkan. Memang di negara itu Weber menjumpai upacara untuk menghormati arwah nenek moyang dan orang tua-tua, dan itu memang dijunjung tinggi oleh para penjabat pemerintahan, tetapi di situ sungguh terasa adanya jarak tertentu dan roh-roh[22].
                        Pernyataan Weber di atas cukup mengejutkan, namun untuk masyarakat Indonesia, terutama golongan karyawan umumnya, ternyata harus dikatakan berdasarkan pengalaman umum bahwa jiwa yang kosong akan kerohanian (yang transenden) tidak ditemukan. Kategori pegawai negeri tidak dapat dikatakan berjiwa materialistis, karena semangat keagamaan masih cukup tebal. Hal itu terlihat dalam pertemuan-pertemuan nonreligius seperti pada rapat-rapat dan perayaan nasional di mana salam keagamaan — bagi umat Islam “Salam alaikum” — diucapkan. Bahkan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Esa pun tidak ketinggalan.
                        Terhadap praktek keagamaan yang berbentuk peribadatan atau perayaan liturgis golongan karya pada umumnya bersikap formalistis. Bentuk yuridis formal yang dalam Agama Islam sangat dipentingkan ternyata masih cukup ditaati. Namun frekuensi kehadiran beribadat dalam rumah ibadat (masjid atau gereja) dari golongan karya tingkat rendah lebih tinggi daripada pegawai negeri tingkat tinggi. Bagi yang disebut terakhir ini, khususnya yang beragama Islam, kehadiran mereka hanya terbatas pada beberapa Hari Raya saja, sedangkan kebaktian wajib pada hari-hari Jumat mereka tinggalkan. Hal sedemikian itu tidak berlaku bagi karyawan yang beragama Kristen dan Katolik, karena jumlahnya memang sedikit. Namun kelihatan juga lahwa di antara mereka pada umumnya terpengaruh oleh sikap yuridis fonmalistis terhadap tuntuan agama, dan itu lebih kentara lagi jika dibandingkan dengan kelompok yang bukan pegawai negeri.

(5)            Golongan kaum buruh
                        Yang dimaksud dengan golongan tersebut ialah mereka yang bekerja dalam industri atau perusahaan modern.
                        Dalam abad ke-18 dan ke-19 kaum buruh di Eropa mengalami nasib pahit karena perlakuan yang tidak manusiawi dan pihak kaum majikan. Karl Marx menamakan perlakuan itu sebagai “penghisapan manusia oleh manusia”, dari golongan ini dimasukkan dalam kelas proletariat, yaitu kelas yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat, disingkirkan dan
sistem sosial yang berlaku. Mereka dianggap benguna bagi masyarakat sejauh mereka punya tugas melahirkan anak (proles) demi kelangsungan umat manusia. Marx rnenuduh agama sebagai suatu instansi yang mengasingkan kaum proletar dan problematika hidup di dunia sekarang mi den gan membuat mereka terhius dan tak sadar akan penderitaannya, dan rnengalihkan perhatian mereka kepada kebahagiaan di dunia akhirat. Namun demikian tidak dapat dimungkiri bahwa Marx sendiri yakin kelas proletar ini membutuhkan suatu agama, minimal suatu tiruan agama sebagai pengganti agama tradisional. Harus diakui pula bahwa Marx herhasil menciptakan sejenis agama baru yang menjanjikan penebusan (pembebasan) dari penderitaan. Apa yang disebut marxisme yang dianut oleh sebagian kaum buruh tidak lain adalah sernacam agama sekular yang mengusahakan pembebasan. Jadi dapat disimpulkan hahwa kelas buruh industri khususnya di Eropa sebelum Perang Dunia II mempunyai kecenderungan dasar kepada agama pembehasan. Apalagi agama pembebasan yang diinginkan itu tidak sempat datang, mereka mau menerima gantinya.
                        Agama pembebasan buatan Marx ternyata berhasil diekspor dari be ua asalnya yaitu Eropa. Bukti konkret dapat dilihat di Republik Rakyat Cina, Vietnam, Meksiko dll. Bahkan di bumi Indonesia sendiri pernah hidup secara resmi sampai dengan 30 September 1965, yang disebut dengan nama Partai Komunis, dan yang kehadirannya membahayakan Pancasila.
                        Kalau dipertanyakan mengapa pada sejumlah bangsa di luar Eropa yang waktu itu belum mengenal industri besar (modern), marxisme dapat bercokol, jawabannya tidak sukar dicari. Di negara-negara yang demikian itu bukanlah sistem industri, melainkan sistem pemerintahan feodal yang membuat sehagian anggota masyarakat menderita. Dan penderitaan itu menjadi semakin berat dan meluas meliputi seluruh penduduk dengan datangnya sistem penjajahan dari bangsa-bangsa Eropa yang sudah maju. Maka muncullah kelas baru yang disebut (1) golongan tertindas dan (2) gol ngan miskin. Dua golongan macam tersebut mempunyai titik persamaan, terutama mengenai sikap mentalnya terhadap agama.
                        (.) Pada umumnya golongan teruindas dan golongan miskin hidup den gan sikap mental yang kurang lebih sama dengan kaum buruh di Eropa abad yang lalu: cenderung kepada agama pembebasan. Jika agama yang diharapkan tidak datang, mereka bersedia menerima gantinya, sekalipun hanya berupa ideologi pembebasan, atau suatu pandangan hidup yang secara rasional memberikan kepastian akan adanya pembalasan, bila mungkin sekarang ini juga, tetapi kalau tidak, sekurang-kurangnya di dunia lain. Dengan kata lain golongan itu merasa butuh etika pembehasan. Akhirnya dalam proses pemikirannya persoalan yang terpenting bukan lagi “siapa dan dari mana” yang mendatangkan kesengsaraan ini, tetapi siapa yang dapat menyingkirkan kesengsaraan ini. Tidak penting bagi mereka apakah pembebasan itu datang dan dunia mi ataukah dan dunia lain. Itu soal sekunder. Tetapi dan pengalaman mereka sendiri mereka menyadari bahwa manusia hanya makhluk yang serba terbatas kernampuannya, tidak sanggup mengatasi segala rintangan. Maka jika ada agama ataupun idelogi yang menawarkan kepadanya pembebasan dari penderitaan ini, mereka tidak akan menolaknya.
                        Sayangnya bahwa agama-agama modern sangat lamban menanggapi kebutuhan dasar dan golongan tersebut di atas. Sebaliknya kaum marxis (komunis) lebih cepat mengetahui dan menjawab kebutuhan kelas ini bukan sebagai perorangan tetapi sebagai kelompok kategorial. Maka kalau dipertanyakan siapa yang paling depan menjadi pembela dan pembebas kelas manusia yang tertindas, jawaban yang paling nyaring datang dari kaum marxis. Dan jawahan ini memang ditopang oleh fakta-fakta konkret keberhasilan mereka dalam melaksanakannya dan tingkat nasional hingga tingkat internasional. Orang tidak perlu menjadi penganut marxisme untuk mengakui bahwa sejak tampilnya Marx pada abad yang lalu hingga dewasa ini keadaan kaum buruh dan kaum tertindas sebagai kategori sosial dalam tangga masyarakat telah merasakan perbaikan yang berarti. Jadi perbaikan nasib mereka sebagai kelompok kategorial yang tidak datang dari instansi keagamaan, melainkan secara langsung dari ideologi marxisrne. Sehubungan dengan rnasalah pembebasan golongan umat manusia yang tertekan oleh penderitaan maka instansi agarna perlu memikirkan
kembali dan bertanya lagi kepada diri sendiri apakah dia telah menjalankan panggilannya selaras dengan maksud pendirinya, karena tiap-tiap agama ditugaskan bukan untuk rnenyembuhkan onang yang sehat, melainkan orang yang sakit.
                        Dari sejarah perkembangan agama kita mengerti bahwa bangsa Yahudi pada zaman Perjanjian lama menyadarkan diri sebagai bangsa yang beruang kali ditindas dan untuk sekian kalinya merasa tidak mampu membebaskan diri kecuali dengan kekuatan Tuhan; maka dari situasi itu muncul gagasan mesianisme yang disusul dengan gerakan pembebasan (messianic movements). Pada intinya gerakan mesianisme percaya dan mengharapkan kedatangan seorang juru selamat (Mesias) yang akan mendirikan Kerajaan Allah di bumi ini sebagai kekuatan yang sanggup memberikan pembebasan kepada semua jenis kategori umat manusia dan penindasan dan penderitaan. Dalam agama Kristen para penganutnya menunggu kedatangan kembali sang Messias pada akhir zaman. Dan beberapa sekte (antara lain aliran Chilianisme) harus mengakui kekecewaannya karena tebakan mengenai waktu berakhirnya dunia ini selalu salah. Walaupun gerakan mesianisme itu pada awal mulanya bersifat religitis murni, namun pada masa kemudian harus diakui bahwa gerakan itu berubah menjadi gerakan politik, atau paling sedikit berorientasi pada politik. Apa yang disebut gerakan “Ratu Adil” yang menurut masyarakat Jawa berasal dari raja Jayabaya dari Kediri, merupakan suatu contoh terdekat bagi kita.




          (6)   Sebaiknya kelas yang beruntung
                        Golongan elite dan hartawan — memiliki sikap mental yang lain terhadap agama. Menurut Weber golongan elite dan hartawan — sejajar dengan golongan pegawai negeri (birokrat) —, tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa, dan kerendahan hati, namun mereka haus akan kehormatan. Pada mereka tidak ada keinginan untuk mengembangkan gagasan keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai suatu fungsi pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia[23]. Kalau kita pertanyakan motivasi mana yang melatarbelakangi sikap mental mereka itu, maka jawabannya harus kita kembalikan kepada sikap kelas ini terhadap tiga “titik putus” (the breaking points) yang telah kita lihat dalam uraian sebelumnya, yaitu kelangkaan, ketidakp stian dan ketidakmampuan manusia. Terhadap dua “titik putus” yang pertama (yaitu kelangkaan dan ketidakpastian) pada golongan ini tidak terdapat masalah yang menakutkan. Kedudukan dan kekayaan yang mereka memiliki cukup dapat memberikan jaminan yang aman. Mengenai “titik putus” yang ketiga (kctidakmampuan), itu pun untuk sementara tidak perlu mutlak dipermasalahkan. Hal yang azasi (Tuhan, hidup kekal, dsb.) dapat ditunda sampai hari tua, karena sekarang belum diperlukan.

          (7)   Kategori orang dewasa dan kategori orang muda
                        Dalam masyarakat Indonesia dua kategori tersebut di atas sering disebut angkatan tua dan angkatan muda. Kedua pengertian itu diangkat dari alam pikiran ilmu jiwa dan ilmu kebudayaan. Bagi sosiologi kedua “kelompok” itu dilihat sebagai dua kategori sosial. Dalam kenyataan dua golongan itu tidak tampak secara konkret, tetapi pengelompokannya diciptakan oleh pikiran ahli sosiologi sendiri, berdasarkan satu kriterium yang sedang diperhatikan, ialah “usia” tertentu. Yang menjadi pertanyaan bagi Sosiologi Agama ialah, adakah perbedaan yang khas dalam hal sikap mental dua kategori itu terhadap agama. Kalau ada, lalu bagaimana kedua kategori itu harus ditangani dan dilayani dalam memenuhi kebutuhan mereka masing-masing.

          Berdasarkan pengamatan yang kasar (sehari-hari) dapat diambil beberapa kesimpulan. Golongan dewasa pada umumnya mempunyai sikap iman yang sudah terbentuk, stabil dan sulit diubah. Dalam intensitas iman dan corak yang mewarnainya harus dikatakan tidak sama, karena kategori
orang dewasa terdiri atas orang-orang dan lapisan sosial yang menurut garis vertikal tidak sama kedudukannya, dan kepentingannya seperti telah dibahas pada halaman sebelumnya. Tetapi dari lapisan sosial mana pun asalnya mereka sudah mempunyai pendirian yang matang dan sikap yang mantap dalam arti yang positif maupun negatif. Karena pendirian mereka umumnya sudah stabil dan sukar diubah maka mereka menanggapi arus pembaharuan agama dengan sikap tak acuh karena sudah merasa puas dengan cara-cara lama yang telah menjadi tradisi.
          Sebaliknya kategori usia muda identitas mereka belum terbentuk dan masih perlu dicari. Mereka masih berada dalam masa pancaroba yang disebut masa rekonstruksi, di mana nilai-nilai yang berarti masih perlu dipelajari dan dijadikan miliknya. Akibat kurangnya pengalaman dan belum tercapainya kematangan berpikir, mereka belum berhasil mencapai keseimbangan yang ideal. Di satu pihak mereka merasa membutuhkan bimbingan dari angkatan tua, tetapi di lain pihak mereka tidak mau diikat oleh tradisi-tradisi yang berasal dari angkatan sebelumnya. Hal tersebut menimbulkan ketegangan antara angkatan muda dan angkatan tua, dengan intensitas yang bervariasi dari masa ke masa, dan untuk pendamaiannya selalu diperlukan cara pemikiran tersendiri, yang sesuai dengan tuntutan zaman yang sedang berjalan.
          Keadaan sosial-psikologis yang demikian itu membawa pengaruh yang besar atas sikap mereka terhadap agama. Terhadap tantangan yang berdimensi duniawi saja seperti kelangkaan dan ketidakpastian, jawaban mereka masih bersifat mencoba dan meraba; apalagi terhadap iman dan agama yang menyangkut kepentingan akhirat (supra-empiris). Itu semua bagi angkatan muda masih merupakan tanda tanya yang belum terjawab secara meyakinkan. Jawaban-jawaban yang telah diberikan angkatan tua termasuk pemimpin-pemimpin agama diragukan kebenarannya; praktek-praktek keagamaan lama diberi tanda tanya, dicap sebagai kolot dan usang. Perubahan-perubahan dalam lingkup keagamaan yang belum tentu merupakan pembaharuan, asalkan berbeda dengan yang lama meski belum teruji kebenarannya, mudah diterima angkatan muda. Maka dapat dimengerti bahwa krisis imam sebagai akibat dan arus sekularisasi yang melanda seluruh dunia keagamaan dewasa ini menemukan sasaran yang luas dalam kalangan manusia dari kategori usia muda.
          Dewasa ini kehilangan iman orang muda merupakan suatu problem kaum muda yang berdimensi mordial. Penelitian Andre Charron dan pusat pastoral Montreal membuktikan bahwa hal meninggalkan praktek hidup keagamaan oleh kaum muda itu akan cenderung menyebabkan kehilangan iman yang dianutnya secara total. Ada beberapa macam bentuk meninggalkan agama. Ada yang menjauhkan diri dari sakramen-sakramen, tetapi dari hidup berdoa tidak. Charron menunjukkan adanya suatu pola “penjauhan progresif” pada kaum muda. Menurut Charron ada delapan tahap dan yang teringan hingga yang terberat, tegasnya dari tidak menjalankan hidup keagamaan menurut tata lahirnya meninggalkan dunia iman, hingga pada sikap tidak peduli sama sekali terhadap agama. Tahap pertama, meninggalkan praktek peribadatan (liturgi) dengan tidak menghadiri misa kudus.
          Tahap kedua, meninggalkan Gereja sebagai institusi, yang dibagi dalam batas (marginal) yang aktif dan pasif, tergantung dari kadar keberatan mereka terhadap Gereja, atau karena sekedar terguncang oleh gelombang sekularisasi.
          Tahap ketiga, menjauhi Gereja sebagai persatuan umat beriman, yang dibagi Katolik nominal (statistik) dan Katolik yang telah memutuskan hubungan sama sekali.
          Tahap keempat, meninggalkan nilai-nilai Kristen dalam praktek, di mana tidak ada pengaruh real dan iman atas perilaku seseorang atau keterlibatannya dalam masyarakat luas. Tahap kelima merangkum mereka yang menjauhkann diri dari kesadaran akan arti kekristenan dalam hidup, termasuk yang menolak Injil, syahadat iman, atau ajaran Gereja. Tahap keenam, menjauhkan diri dari kepercayaan akan Yesus Kristus, yang prosesnya menuju kepada “tidak percaya” dalam arti yang sesungguhnya. Tahap ketujuh menjauhkan diri dan penerimaan akan Tuhan yang berpribadi (personal) baik yang agnostik maupun yang ateis. Tahap yang kedelapan menjauhkan diri dari segala masalah keagamaan, termasuk yang tak peduli sama sekali di mana tidak ada minat sama sekali kepada kemungkinan beriman[24].
          Fenomena tersebut di atas memang hanya terbatas pada angkatan muda dalam dunia Kristen. Maka tidak dapat dikatakan bahwa intensitas dan situasi yang nampak kelabu itu berlaku sama kuatnya untuk kalangan muda dalam agama-agama lain. Dari pengalaman di indonesia kategori usia muda belum sampai pada tahap menolak bimbingan, tetapi bahkan mereka menantikan bimbingan dari instansi Gereja. Yang mereka inginkan bukan saja bimbingan secara kategorial tetapi juga adanya kontak secara pribadi, di mana pembimbing dapat mengenal kesulitan sebenarnya yang digumuli angkatan muda secara langsung[25].

(8)     Golongan wanita. Menurut Weber kategori wanita mempunyai kecenderungan religius yang berbeda dengan kategori pria. Golongan wanita menunjukkan daya reseptif yang kuat terhadap semua hal religius terkecuali yang berorientasi kemiliteran. Weber menyatakan pula bahwa
kaum wanita cenderung untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan religius dengan keterlibatan emosional yang besar sampai mendekati titik yang disebut histeris[26]. Apakah kodrat wanita memang demikian, hal ini termasuk dalam kompetensi filsafat manusia untuk menjawabnya. Yang dapat disaksikan secara sosiologis hanyalah bahwa jenis manusia dari kelamin wanita pada umumnya menunjukkan kesetiaan lebih besar kepada praktek hidup keagamaan. Kecenderungan itu tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan mereka akan niiai-nilai yang serba mistis dan kontemplatif, yang intinya tidak dapat ditangkap secara diskursif (menurut hukum kerja rasio), tetapi yang manfaat rohaniahnya langsung dapat dirasakan, yaitu ketenangan batin. Seakan-akan mereka dapat melihat dan menerima langsung nilai-nilai yang supra-empiris sedangkan kaum pria memerlukan dasar rasional terlebih dulu untuk dapat menerima dan menghayatinya. Soal lain ialah, apakah agama-agama di dunia ini memberikan “input” positif bagi kesamaan hak wanita dengan pria yang dapat disaksikan sebagai kenyataan konkret dalam masyarakat? Dengan kata lain, apakah diskriminasi antara pria dan wanita baik secara teoretis maupun praktis telah benar-benar terhapus dari masyarakat?
          Menurut agama-agama prinsipnya mengajarkan persarnaan hak antara kaum pria dan kaum wanita, namun dalam kenyataannya harus dikatakan bahwa perwujudan prinsip ideal tensebut membutuhkan kurun waktu (dalam ukuran abad) yang relatif amat panjang dan proses yang berat melawan tantangan kuat yang muncul dari zaman ke zaman. Orang terpaksa mengakui kenyataan yang hidup di antara umat beragama dan agama-agama besar, bahwa kaum wanita praktis belum diberi kedudukan dan peranan keagamaan yang sama tingginya dengan kaum pnia. Kebenanan pepatah Jawa yang berbunyi “swarga nunut, nenaka katut” yang dikenakan kepada kaum wanita umumnya, dewasa ini tidak dapat tidak masih berlaku seutuhnya bagi sebagian besar kaum wanita.

2.5.    Pengaruh agama atas bidang kehidupan manusia
          Setelah membahas fungsi agama terhadap masyanakat (2.2.), dan pengaruh agama terhadap stratifikasi sosial (2.3.), kita mendapat suatu gambaran tentang masalah yang akan kita bicarakan dalam bagian ini, meskipun harus dikatakan bahwa gambaran itu belum lengkap. Untuk membuat gambaran yang lengkap masih perlu ditambah dengan penampilan segi-segi kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari pengaruh agama.
          Sebagaimana telah kita ketahui dari hasil pengkajian di muka, jasa terbesar agama ialah mengarahkan perhatian umat manusia kepada masalah mahapenting yang selalu menggoda, yaitu masalah “arti dan makna” (the problem of meaning). Manusia membutuhkan bukan saja pengaturan emosi, tetapi juga kepastian kognitif tentang perkara-perkara yang tidak dapat dielakkan dari pikirannya: kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut agama menunjukkan jalan dan arah ke mana manusia dapat mencari jawabannya. Dan jawab itu hanya dapat diperoleh dengan memuaskan kalau manusia perorangan beserta masyarakatnya mau menerima suatu tempat yang ditunjuk sebagai sumber dan terminal terakhir dan segala kejadian di dunia ini. Terminal terakhir itu berada dalam dunia supra-empiris, yang tidak dapat dijangkau tenaga inderawi maupun otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, melainkan harus diterima sebagai kebenaran yang tidak dapat disingkiri tanpa menyingkirkan arti dan makna eksistensinya sendiri dan dunia seluruhnya. Apalagi agama telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensialnya yang berupa: ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup yang mahaberat itu. Agama menunjukkan penyelesaiannya secara memuaskan kalau manusia mau menerima nilai-nilai terakhir dan tertinggi (ultimate). Jelaslah bahwa pendobrakan problem yang demikian penting dengan hasil yang positif itu merupakan suatu jasa besar dalam agama.
          Dalam menghadapi masalah “kelangkaan” dalam arti kesejahteraan material (ekonomi) — berlawanan dengan penglihatan Karl Marx — Weber melihat bahwa agama memberikan saham yang tidak kecil serta amat positif. Sebagai contohnya ialah bahwa Proteslantisme memberikan pengaruh kausal yang kuat kepada lahir dan berkembangnya kapitalisme modern. Pendapatnya itu dipaparkan dalam bukunya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”, di mana ia lebih jauh mengutarakan peran positif yang dimainkan agama dalam sejarah umat manusia. Dengan uraiannya itu ia jelas-jelas melawan pendapat yang berlaku pada waktu itu, antara lain dari Marx yang melihat agama hanya sebagai sulur yang tumbuh dari variable ekonomi dan yang tidak mempunyai makna kecuali yang negatif saja[27].
          Pengamatan kaum rasionalis dan materialis mengenai larangan-larangan (tabu) dari agama tertentu untuk makan sejumlah jenis ciptaan (seperti babi untuk umat Yahudi dan Islam; sapi untuk umat Hindu dll.) di satu pihak dan penyembelihan puluhan ternak (kerbau dan babi di Sulawesi dan Batak) untuk perayaan keagamaan di lain pihak; tidak dapat menghilangkan kesan mereka bahwa agama sekurangnya agama tertentu itu, tidak membawakan keuntungan melainkan sebaliknya bagi pemeluknya. Misalnya sumber ekonomi yang datang dari dunia peternakan babi, peternakan sapi, anjing dll., ditutup kemungkinannya untuk memajukan ekonomi penganut-penganutnya. Dalam hal mi agama lalu dikatakan sebagai faktor penghambat kesejahteraan masyarakat.
Sosiologi tidak berhak memberikan evaluasi tentang moralitas tingkah laku pemeluk agama, karena tugasnya hanya bersifat konstatatif (menyaksikan). Dalam batas ini ia (sosiologi) hanya mengumpulkan pendapat atau penilaian yang diberikan pemeluk yang bersangkutan, atau motivasi yang melatarbelakangi tindakan itu. Ternyata dasar motivasi dari penilaian pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan dapat berbeda secara radikal dari yang dipakai para pengamat rasionalis dan materialis. Apa yang menurut ukuran materialis merupakan suatu kerugian, bagi manusia religius bukan sebagai kerugian tetapi keuntungan, bahkan suatu kebahagiaan yang menyangkut seluruh eksistensinya. Nilai-nilai ekonomi bukanlah merupakan nilai yang terakhir dan tertinggi, maka jika perlu dapat dikorbankan untuk pencapaian nilai yang lebih tinggi yang ia inginkan. Pandangan mengenai nilai-nilai manusia, dunia empiris dan dunia supra-empiris, yang secara radikal berbeda dengan pandangan kaum materialis, mengubah seluruh susunan nilai yang dibuat kaum materialis dan mendorong manusia religius menentukan strategi tindakannya dalam prioritas dan urgensi yang sesuai dengan kepercayaannya. Lagi-lagi di sini agama menyaksikan bahwa manusia beragama memberikan penilaian lebih tinggi kepada dunia supra-empiris daripada dunia empiris, atau dengan istilah Malinowski, dunia sakral dan dunia profan; dua dunia yang menurut Durkheim berbeda Secara radikal.
          Sebagaimana halnya tentang larangan yang diajarkan agama tertentu berpengaruh atas proses sosial atau jalannya kehidupan masyarakat, demikian pula ajaran moral yang bersifat deterministis berpengaruh pada cara berpikir dan pola tingkah laku para penganut yang bersangkutan. Determinisme moral mengajarkan bahwa terdapat mekanisme kausal dan dunia
supra-empiris atas dunia empiris. Apa yang terjadi di dunia yang kelihatan ini baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan dianggap sebagai jawaban (balasan) dari yang “berkuasa” atas perbuatan manusia sendiri. Misalnya suatu kecelakaan dialami seorang pengendara sepeda motor yang mengakibatkan ha tewas, merupakan indikator bahwa orang tersebut hidup jahat. Suatu panen yang gagal oleh karena hama wereng atau tikus membuat si petani atau desanya spontan berpikir bahwa “Yang Kuasa” tidak berkenan kepadanya karena perbuatannya yang salah entah disengaja atau tidak. Kesalahan itu harus dicari dari keseimbangan yang telah dirusak olehnya harus dikembalikan dengan doa-doa atau upacara ritual. Ajaran deterministis itu memang ada, tetapi terbatas pada agama bahari. Agama-agama modern menjauhkan moral yang demikian itu. Apabila terdapat ayat-ayat dalam Kitab Suci yang berbau deterministis, maka pimpinan agama yang bersangkutan memberikan interpretasi lain. Kegagalan suatu usaha manusia tidak perlu dikaitkan secara kausal dengan “Yang berkuasa”, tetapi harus dikembalikan kepada kesalahan teknis (bukan moral) dan manusia yang merencanakan. Nilai moral dari suatu kegagalan memang diakui adanya dan kegunaannya bagi manusia yang bersangkutan, antara lain untuk menguji kemampuan sebenarnya yang dimiliki dan mengenal dirinya lebih obyektif.
          Para ahli kebudayaan yang telah mengadakan pengamatan mengenai aneka kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan, bahwa agama merupakan unsur Inti yang paling mendasar dan kebudayaan manusia, baik ditinjau dan segi positif maupun negatif. Masyarakat adalah suatu fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus-menerus yang dapat dibagi dalam dua kategori: kekuatan batin (rohani) dan kekuatan lahir (jasmaniah). Contoh kekuatan lahiriah ialah perkembangan teknologi baru yang terlihat dalam revolusi industri di Eropa dan Amerika Serikat, yang kemudian diekspor kepada bangsa-bangsa yang sedang berkembang, yang mendatangkan kemajuan yang tidak kecil bagi kebudayaan material. Di lain pihak perubahan masyarakat juga digerakkan oleh kekuatan batin seperti faham demokrasi, gagasan reformasi, faham politik, dan agama. Dan analisis komparatif ternyata bahwa agama dan nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dalam semua kebudayaan. Dalam hal itu agama dapat menjadi inisiator ataupun promotor, tetapi juga sebagai penentang yang gigih, sesuai dengan letak kedudukan agama. Agama dapat terletak pada jantung kebudayaan tetapi dapat juga pada pinggirannya.
          Sebagaimana di dunia Barat Agama Kristen dalam sejarahnya dapat berbentrokan dengan negara, tetapi di waktu lain menjadi pendukung pembaharuan politik yang kuat. Di kawasan lain, kepercayaan Kristen, konsepsi-konsepsi biblis yang telah berakar dalam masyarakat luas pada waktu itu, menjadi penentang penemuan baru dalam bidang kosmografi. Sebaliknya idea-idea biblis lainnya, seperti perintah untuk menguasai jagat raya, menjadi faktor pendorong yang kuat dan terus-menerus untuk mengalahkan rintangan-rintangan kemajuan umat manusia, sehingga orang hingga dewasa ini menyamakan kebudayaan Eropa dengan kebudayaan Kristen.
          Sejajar dengan itu, tegasnya bahwa agama merupakan unsur inti dari kebudayaan manusia, maka dapat dibenarkan sampai tingkat tertentu pendapat urnum yang menyatakan, bahwa kebudayaan Asia adalah pengaruh dan Agama Hindu dan Buddha, kecuali di kawasan yang penduduknya beragama Islam. Di tempat yang disebut terakhir ini, seperti Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Timur Tengah, kehudayaan setempat banyak dipengaruhi secara mendalam. Namun untuk kebudayaan Indonesia perlu ada catatan penting. Negara kita mengenal agama-agama besar yang berturut-turut masuk dari luar ke dalam kawasan Nusantara. Pertama Agama Hindu. Buddha, kemudian Agama Islam, lalu disusul agama Kristen. Berpedoman pada dalil bahwa agama merupakan unsur inti kebudayaan, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh iman ajaran agama-agama tersebut di atas. Soal agama mana yang telah herhasil menanamkan pengaruh terkuat dan terdalam yang menguasai kehidupan batin dan lahir bangsa Indonesia harus dijawab dengan penelitian ilmiah yang mendalam.
          BENYAMIN NELSON yang dikutip olch O’Dea, mengatakan bahwa agama rnerupakan suatu ‘‘directive system’’, yang tersusun dari unsur-unsur normatif, yang mencetak dan membentuk jawaban kita atas banyak tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan menurut cara yang diinginkan[28].

2.6.    Kelestarian eksistensi agama dalam masyarakat
          Dalam abad sekular ini banyak pemeluk agama diliputi rasa cemas mendengar pernyataan-pernyataan seperti “matinya Tuhan Allah”, dan “agama akan punah”, atau “agama akan masuk museum”. Lalu akan lahir suatu masyarakat sekular yang bersih dari segala unsur keagamaan. Ramalan senada diucapkan oleh COMTE, Bapak dari sosiologi modern ini melihat agama, dengan sudut pandang yang baru yakni positivisme, sebagai konstruksi pemikiran manusia mengenai perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia empiris ini untuk memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran tertentu (baca tahap teologis). Tetapi hukum pemikiran itu sendiri yang benjalan dalam tiga tahap (tahap teologis, metafisik, dan positif) akan membawa agama ke dalam suatu zaman (baca tahap positivisme) di mana manusia secara radikal tidak membutuhkannya lagi. Dalam situasi demikian itu agama akan lenyap dari masyarakat. Comte sendiri telah mulai merealisasi gagasannya itu dengan mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian kepada masyarakat.
          Ramalan serupa diberikan pula oleh Marx, bapak sosialisme ateis. Pada hematnya agama adalah suatu produk yang dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan darurat. Jelasnya dibuat oleh manusia kapitalis liberal untuk kepentingan manusia yang “diasingkan dan kediriannya sendiri” oleh sistem penghisapan. Manusia yang dimiskinkan dan menderita sengsara itu membutuhkan agama sebagai obat pembius yang dapat memberikan ketenangan. Tetapi jika sistem kapitalis sudah dihentikan dan si manusia “terasing” itu telah berhasil menemukan dirinya kembali, maka tempat untuk agama dalam masyarakat sosialis tiada lagi.
          Max Weber mengetengahkan argumentasi yang senada dengan Comte, mengenai masalah lenyapnya agama dari masyarakat modern. Weber melihat masyarakat modern yang dikuasai oleh teknologi dan birokrasi sebagai suatu ancaman yang tak terelakkan yang akan mengurangi lingkup pengalaman manusia, dan mengarahkan kesadaran manusia hanya kepada urusan pragmatis sekitar perolehan hasil yang sebanyak mungkin untuk kenikmatan badaniah. Dan akhirnya akan terciptalah suatu masyarakat yang terorganisasi dan terintegrasi berkat suatu perencanaan yang sempurna. Masyarakat yang demikian itu akan sama dengan kurungan besi yang telah dicukupi dengan segala alat kehutuhan manusia. Khususnya teknokrasi pada hematnya akan menumpulkan bakat-bakat rohani seperti daya imaginasi poetika, cinta akan keindahan, perasaan agung akan pengalaman religius, dan akhirnya menjadi tumpul dan lumpuh sama sekali. Proses pen gembangab ini menurut penglihatannya mengarah kepada “pengosongan dunia” dan agama akan lenyap dan masyarakat, ialah masyarakat dan abad kedua puluh.

Kelestarian agama terjamin
          Kalau dikatakan dan sudut pandangan sosiologis bahwa agama tetap akan lestari hidup, maka pernyataan tersebut bukanlah semacam ramalan yang disimpulkan dan silogisme deduktif. Bukan, melainkan dari data-data pengalaman baik yang ditulis maupun yang tidak ditulis atau dari pendengaran, dan penglihatan banyak orang yang bukan ahil sosiologi.
          Pertama sebagai bukti ialah kenyataan dewasa ini (di mana abad ke 20 telah mendekati penghujung titik terakhir) bahwa agama belum lenyap bahkan belum ada tanda-tanda yang meyakinkan akan kelenyapannya. Malahan di Negara-negara di mana agama secara sistematis mau ditumpa (baca:di Rusia, RRC, Vietnam dll.) karena tidak cocok dengan ideologi negara, di situ agama masih hidup dan golongan penganut yang telab berhasil “dibebaskan” mencari ganti dalam bentuk lain.
          Argumentasi dan ramalan positivisme yang ditegakkan Comte mengandung kelemahan berat. Karena data-data yang dipakai sebagai premis hanya terbatas pada umat beragama di Eropa yang saat itu tengah menunjukkan gejala kemunduran dan segi tertentu. Kemunduran itu hanya diukur dengan ukuran yang sempit: berkurangnya umat dalarn partisipasi ritual, atau kebaktian hari Minggu. Ternyata masa-masa berikutnya situasi keagamaan itu tidak memburuk, bahkan yang terjadi sebaliknya. Comte tidak dapat mengetahui sebelumnya bahwa pada abad ke 20 ini diadakan Konsili Vatikan II yang membawakan penyegaran dan pembaharuan.
          Ramalan Marx hingga kini belum terbukti dan tidak pernah akan terbukti, karena dasar argumentasinya sangat berat sebelah. Ia hanya bisa melihat masalah kebutuhan manusia akan agama hanya dan satu sudut pandangan, ialah dan ekonomi sebagai faktor satu-satunya; dan ia menutup mata terhadap faktor-faktor lain yang bukan ekonomi, seperti misalnya naluri-naluri manusia yang tidak dipenuhi dengan nilai ekonomi saja. Lagipula apa yang ia harapkan bahwa kaum buruh yang kondisi sosio-ekonominya sudah diperbaiki lantas akan meninggalkan kehidupan keagamaan, itu tidak terwujud dalam kenyataan. Kaurn buruh di Polandia yang tergabung dalam Serikat Buruh “Solidaritas” merupakan bukti lawan yang jelas terhadap pendirian Marx. Karena mereka tetap tinggal setia kepada agama mereka (baca Agama Katolik). Contoh ini dapat dilengkapi dengan kaum buruh di negara-negara lain.
          Teori WELIER tentang “kurungan besi “dan lenyapnya agama dari masyarakat tidak pernah terbukti. Teori ini lebih berupa cetusan perasaan pribadinya terhadap masyarakat modern daripada hasil studi yang terperinci. Ia tidak pernah mengadakan analisis sosiologis yang lengkap mengenai masalah teknologi modern. Ia tidak dapat menduga sebelumnya bahwa dalam
masyarakat teknokrasi di mana kebutuhan materil manusia serba terpenuhi manusianya merasa semakin haus akan nilai rohani yang lebih mendalam dan mencoba menemukannya dalam kelompok-kelompok karismatik seperti yang terjadi dewasa ini. Mungkin sekali pendirian Weber di atas dipengaruhi oleh aliran pesimisme kultural yang didukung kaum eksistensialis dari kaum freudian yang berpendirian bahwa masyarakat adalah musuh dari kemerdekaan dan perwujudan diri manusia.
          Apakah kemajuan ilmu Pengetahuan modern (science) tidak akan memberikan tusukan maut bagi agama? Soal tersebut sudah sering dilontarkan para pemikir yang berpendapat bahwa agama adalah “suatu kesalahan dalam berpikir”, dalam bahasa asing an error in reasoning”. Pada suatu ketika “kesalahan” itu akan dibuka, lalu agama akan lenyap. Terhadap persoalan tersebut Kingsley Davis mengatakan, bahwa sudut pandangan rasionalistis itu sendiri jatuh dalam kesalahan (error). Pandangan itu tidak berhasil melihat bahwa sifat nonrasional agama mamainkan fungsi masyarakat pribadi manusia, dan oleh karenanya tidak diatasi dengan mengganti keterangan religius dengan keterangan ilmiah begitu saja mengenai jagat raya ini. Seorang pemuda yang tengah bercinta tidak akan mau berhenti mencintai karena dikatakan kepadanya bahwa pemudinya itu hanyalah suatu berkas sel seperti binatang menyusui lainnya[29].  Dengan kata lain manusia tidak akan puas dengan penjelasan rasional dan masih membutuhkan penjelasan yang nonrasional namun yang tetap manusiawi. Penjelasan terakhir inilah yang diberikan oleh agama. sehubungan dengan persoalan tersebut DAVID TRACY menegaskan bahwa ilmu pengetahuan itu sendiri mengandung dimensi religius. Karena untuk dapat memahami dan dapat menerima dasar rasional argumentasinya manusia membutuhkan suatu transendensi diri yang kognitif. Dengan demikian keterangan-keterangan rasional (ilmiah), khususnya untuk dapat dipahami dan diterima, memerlukan keterlibatan diri dengan soal Ketuhanan dan agama[30].





[1] Thomas F. O’Dea The Sociology Of Religion, Prentice – Hall Inc, Englewood Cliffs, New Jersey P. 7 Relligion ………….The Manipulation Of Non-Empirical or Supraempirical means for non-empirical or supra-emprical ends.
[2] Knight Dunlop. Relligion, Its Functions in human life, New York 1946, P.9
[3] Joachim Wach, Sociology Of Religion, Chicago, 1944. Dikutip oleh J, Milton Yinger, Religion Society and Individual. Op. Cit,. P.12
[4] Nikolas Luhmann, Sociologische Orientaties, dalam Concilium No.1  1974 hlm. 37
[5] Ungkapan “titik putus’ (the breaking point) : contingency, powerlessness, scarcity (ketidakpastian, ketidak mampuan, kelangkaan) berasal dari Sigmund Freud dalam ‘The Future Of An Illusion”, baca O’Dea, Op. Cit Hlmn 5 dan 31
[6] Bdk. Maj SPEKTRUM, Inkulturasi Liturgi, Kongres Liturgi III 1980 No. 4 Th. 10 1980, Hlm. 256 – 257
[7] Mgr. A. B Sinaga Ofm Cap. Teori Mnegenai lambang religious, dalam SPEKTRUM No. 4 Th. X 1980 hlm. 257
[8] Ibid, Hlm .257
[9] Bdk. Maj SPEKTRUM Op. Cit Hlm 259 – 261
[10] Mgr. A. B. Sinaga Ofm. Cap dalam Maj SPEKTRUM  Op. Cit. Hlm 248
[11] P.a Abimantrono cm. dalam Maj SPEKTRUM Op. Cit. Hlm 266
[12] Mgr. A.B Sinaga Ofm. Cap SPEKTRUM Op. cit. hlm 248
[13] P. A Abimantrono cm. SPEKTRUM op. cit hlm 267
[14] Rachmat Subagya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia. Yayasan Cipta Loka
[15] TIME, Januari No. 4 Th. 1982 hlm 20 – 21
[16] Bdk. Edwar Schillebeeckc, dalam CONCILIUM (Edisi Belanda) No. 4, 1973. Judul Kritische theorieen en politik angagement van de christelijke gementer. P.48-50.
[17] Bdk. Andrew Greeley, Het Doorzetten Van De Gemeenschapsgedachte. Dalam CONCILIUM,No1 Th. 1973 hlm. 27 – 28
[18] Bdk. Rachmat Subgya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia,hlm. 106
[19] Bdk. P.A Abimantrono cm, Arti Perayaan bagi orang Kristen, dalam SPEKTRUM, no. 4 th. X . 1980 hlm. 264
[20] Thomas F.O Dea, OP.Cit. hlm. 57
[21] Thomas. O’Dhea, Op. Cit. hlm. 57
[22] Ibid. Hlm 58
[23] Thomas F . O’Dea, Op. Cit,. Jlm 59
[24] FABC Newsletter, no. 37 June – Agust 1981 Hlm. 4
[25] Bdk. Dr. J. Riberu, Pembinaan Muda – mudi, dalam SPEKTRUM No. 3 Th VII, 1977, Bab VI No. 29 – 33 hlm. 209
[26] O’Dea Thomas F., Op. Cit,. hlm .60
[27] O’Dea, Op,. Cit hlm. 11
[28] O’Dea,. Op. Cit, hlm 114
[29] Kingsley Davis, Human Society, The Macmillan Company, Hlm 541 / 542.
[30] David Tracy, dalam CONCILIUM No. 1, 1973, hlm 131 - 139




Keistimewaan Multazam dalam Ibadah Haji

No comments:

Post a Comment