AGAMA DAN
MASYARAKAT
Dalam bab ini akan ditelusuri beberapa
segi agarna yang dirasa perlu mendapat prioritas dalam pengkajiannya. Pertama,
akan diberikan definisi agama menurut pemahaman sosiologi. Kemudian akan
ditelusuri pengaruh timbal balik antara agarna dan masyarakat, yaitu fungsi
agama terhadap masyarakat. Lalu pengaruh agama atas stratifikasi sosial.
Pengaruh agama atas bidang-bidang kehidupan manusia. Akhirnya akan disoroti
masalah kelestarian agama dalam masyarakat.
2.1. Definisi Agama
Baiklah kiranya ditekankan kembali
bahwa pemahaman sosiologi atas agama tidak ditimba dari “pewahyuan” yang datang
dari “dunia luar”, tetapi diangkat dari eksperiensi, atau pengalaman konkret
sekitar agama yang dikumpulkan dan sana-sini baik dari masa lampau (sejarah)
maupun dari kejadian-kejadian sekarang. Dengan kata singkat, definisi agama
menurut sosiologi adalah definisi yang
empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang
evaluatif (menilai). Ia “angkat tangan” mengen ai hakekat agama, baiknya atau
buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia
hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa
adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Dalam kaitan ini harus ditegaskan lagi
bahwa aliran fungsionalisme dengan sengaja dan sebagai prinsip
memberikan sorotan tersendiri serta tekanan khusus atas apa yang ia lihat dan
agama. Jelasnya ía melihat agama dun fungsinya. Agama dipandang sebagai suatu
institusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi
dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Maka
dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap
masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama (agama-agama) cita-cita
masyarakat (akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan
rohani) dapat terwujud.
Untuk landasan kerja seterusnya dalam
buku ini disajikan definisi yang empiris dan yang sesuai dengan faham
fungsionalisme. Pengalaman yang dijadikan landasan perumusan apa agama
itu, mencakup lapangan yang cukup luas, bermula dari persoalan yang menyangkut
kehidupan manusia sehari-hari hingga masalah yang mengatasi keperluan hidup
sekarang ini yang tak terjangkau oleh “empiri” (pengalaman) atau yang
“supra-empiris”. Dengan kata lain landasan perumusan itu ialah semua pengalaman
yang menyangkut kebahagiaan manusia seutuhnya dan selengkapnya. Manusia
mengalami problem fondamental ini . Ia siang malam diganggu oleh pertanyaan
yang muncul dari pengalaman mengenai ketidakpastiannya dia sendiri datam
menghadapi situasi dan kondisi yang tidak menentu akibat perubahan yang
berjalan terus-menerus. Kecuali pengalaman tentang situasi dan kondisi yang
tidak menentu, manusia masih dihadapkan dengan pengalaman lain, yaitu kenyataan
mengenai keterbatasannya dalam menguasai, mengontrol dan menundukkan tantangan
yang datang dari dunia ini. Manusia mengalarni ketidakmampuan (powerlessness)
secara jelas dan berulang kali. Tidak semua yang menjadi keinginannya, tak usah
menyebut keinginan yang tertinggi bahkan yang biasa-biasa saja, dapat
dicapainya sekalipun Ia telah merencanakan dengan perhitungan yang secermat
mungkin. Pada titik tertentu dalam proses usahanya suka atau tidak ia harus
mengakui kegagalannya karena ketidakmampuannya. Tidak perlu menunjuk pengalaman
manusia primitif yang batas-batas kemampuannya lebih sempit akibat dari kurangnya
pendidikan dan sarana-sarana yang dimilikinya. Bahkan manusia modern pun yang
lingkup kemahirannya dapat dikatakan sangat luas berkat pendidikan intelektualnya
sehingga memungkinkan penggunaan bantuan teknologi termodern, pada suatu titik
tertentu ia dipaksa untuk mengakui keterbatasannya dan kegagalannya dalam
mencapai cita-citanya baik yang sangat berguna bagi kepentingan pribadinya
maupun untuk kepentingan seantero dunia.
Makhluk manusia dewasa ini telah
memasuki zaman komputer yang membantu usahanya untuk mengarungi ruang angkasa.
Namun manusia modern ini belum sanggup menjawab pertanyaan fondamental yang
selalu rnengganggunya. Mengapa ada penyakit? Mengapa saya harus mati? Mengapa
dia si pemuda belia yang tercinta meninggal? Mengapa terjadi musibah yang
mengerikan itu (puluhan korban jiwa akibat gunung longsor, karena jembatan
musnah dihancurkan badai taufan dlsb.)? Persoalan semacam itu belum tenjawab.
Apalagi pertanyaan, apa itu semua ada artinya bagi manusia umumnya? Dengan kata
lain, manusia dihadapkan dengan problem “makna dan arti” yang ada di belakang
semua kejadian itu. Ternyata akibat keterbatasannya, manusia (tidak/belum?)
sanggup menjawab. Lalu Ia harus lari ke mana untuk mencapai jawaban itu? Kalau
ia (manusia) tidak menginginkan kemusnahannya pada “titik hancur” ini — dan
pengalaman membuktikan bahwa tak seorang pun menghendakinya — maka ia dipaksa
untuk mencari kekuatan lain “yang ada di luar” dunia ini.
Di samping rasa kecewa (frustrasi)
yang bertubi-tubi dialami manusia masih dihadapkan dengan masalah lain lagi,
yaitu kelangkaan – kemiskinan - dan penderitaan. Masalah tersebut
hingga dewasa ini harus diakui masih merupakan masalah yang belum terjawab
bukan saja oleh bangsa yang belum berkembang, tetapi juga oleh bangsa yang
sudah maju dalam sistem sosialnya (dan organisasinya). Masalah ini dapat juga dikembalikan
kepada masalah keterbatasan kemampuan manusia (yang telah disebut di atas),
tetapi dalam penanganannya mernang telah menimbulkan kesulitan tersendiri yang
dapat disimpulkan dalarn masalah ekonomi-sosial. Dalam hubungan dengan
masalah ini masih dapat dipertanyakan apakah alam semesta yang dihuni manusia
ini menyajikan persediaan cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin
meningkat? Jika jawabannya berbunyi “ya”, maka kemampuan (kekuasaan) manusia
masih penlu ditingkatkan lagi untuk menggali kekayaan yang masih tersembunyi
itu guna menutup kekurangan yang terus bertambah itu. Sudah barang tentu jawaba
n yang afirmatif itu masih perlu dibuktikan secara meyakinkan. Jika jawaban
atas soal di atas negatif (hal ini perlu dibuktikan secara faktual juga) maka
masalah kelangkaan termasuk masalah yang melekat pada eksistensi manusia dalam
situasi kini dan di sini (di dunia ini). Namun terpisah dari hal-hal yang
teoretis (dan hipotesis) itu manusia tidak dapat menutup matanya akan
kelangkaan sebagai kenyataan. De fakto, yaitu dalam masyarakat yang ada
sekarang ini dan dunia kita ini, di mana manusia-manusianya telah berusaha
sebaik-baiknya melalui sistem pembagian kerja dan distribusi hasil menurut
perbandingan alokasi fungsi dan fasilitas dan imbalan (balas) jasa yang
sepantasnya (dalam masyarakat yang sudah maju), namun sebagian dan penghuni
masyarakatnya masih belum mendapat bagian. Yang mereka alami secara faktual
ialah: kekurangan, dan penderitaan, dan tingkat yang biasa hingga tingkat di luar
kewajaran.
Teori fungsional melihat kekurangan
itu semua (tanpa mengurangi penglihatan teori lain atas hal yang sama) sebagai
cini-ciri eksistensial dan kondisi dan situasi manusia umumnya dan oleh karena
itu juga melekat pada masyarakat. Kalau dirumus dalam satu nafas maka
kekurangan eksistensial itu ialah (1) ketidakpastian, (2) ketidakmampuan
dan (3) kelangkaan. Itu semua membuat hidup ini - untuk meminjam
istilah psikologi – suatu frustrasi (kekecewaan) yang mendalam, atau dengan
kata lain penderitaan lahir dan hatin.
Lalu apa yang dibuat manusia? Menyerah kepada nasib? Jawaban atas pertanyaan 1W sudah jelas dan pengalaman biasa sehari-hari (maupun dan sejarah bangsa-bangsa) yang sekian banyak jumlahnya yang terdiri atas usaha-usaha manusia yang terus-meneru melihat seluruh kompleks kelemahan bukan saja sebagai rintangan yang menghalangi proses perkembangannya melainkan sebagai tantangan berat yang harus diatasi secara tuntas, minimal untuk mengurangi pengaruh buruknya. Manusia menjinakkan lingkungan hidupnya yang ganas, mencoba untuk menguasainya dan mengendalikannya. Hasil usahanya dirakit dalam suatu sistem sosiokultural yang sernakin hari semakin disempurnakan untuk dijadikan ternpat tinggal yang aman sentosa, meskipun sebagian warganya tidak dapat diluputkan dari kematian dan terpaksa meninggalkan hasil perjuangannya kepada angkatan yang masih hidup demi kehidupan yang semakin baik. Sej arah manusia rnengungkapkan usaha-usaha manusia yang bergerak dalam dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kehahagiaan sekarang ini dan kebutuhan akan kebahagiaan “nanti”. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam “dunia empiris” dan “dunia supra-empiris”. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain digambarkan sebagai di atas dunia ini, dunia transenden, yang tak terjangkau oleh pengalaman (empiri) manusia, karena ada di luar (dan di atas) dunia pengalaman ini.
Lalu apa yang dibuat manusia? Menyerah kepada nasib? Jawaban atas pertanyaan 1W sudah jelas dan pengalaman biasa sehari-hari (maupun dan sejarah bangsa-bangsa) yang sekian banyak jumlahnya yang terdiri atas usaha-usaha manusia yang terus-meneru melihat seluruh kompleks kelemahan bukan saja sebagai rintangan yang menghalangi proses perkembangannya melainkan sebagai tantangan berat yang harus diatasi secara tuntas, minimal untuk mengurangi pengaruh buruknya. Manusia menjinakkan lingkungan hidupnya yang ganas, mencoba untuk menguasainya dan mengendalikannya. Hasil usahanya dirakit dalam suatu sistem sosiokultural yang sernakin hari semakin disempurnakan untuk dijadikan ternpat tinggal yang aman sentosa, meskipun sebagian warganya tidak dapat diluputkan dari kematian dan terpaksa meninggalkan hasil perjuangannya kepada angkatan yang masih hidup demi kehidupan yang semakin baik. Sej arah manusia rnengungkapkan usaha-usaha manusia yang bergerak dalam dua bidang kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan kehahagiaan sekarang ini dan kebutuhan akan kebahagiaan “nanti”. Dua jenis kebutuhan yang mendasar ini dapat dikatakan dengan istilah yang lebih abstrak sebagai kesejahteraan dalam “dunia empiris” dan “dunia supra-empiris”. Yang satu terletak di sini dan kini, yang lain digambarkan sebagai di atas dunia ini, dunia transenden, yang tak terjangkau oleh pengalaman (empiri) manusia, karena ada di luar (dan di atas) dunia pengalaman ini.
Sekali lagi, itu semua bukanlah suatu
teori saja melainkan suatu kesimpulan empiris, yang tidak ditarik dari
dalil yang spekulatif, tetapi dari pengalaman eksistensial manusia dari zaman
ke zaman hingga sekarang ini. Dengan kata lain, berdasarkan fakta-fakta konkret
yang digumuli oleh setiap manusia yang hidup dan yang pernah hidup di dunia
kita ini.
Usaha apa yang telah dilakukan manusia
untuk merebut dua jenis kebahagiaan itu. Ternyata berdasar pengalaman sekarang
dan catatan sejarah manusia melakukan dua jenis usaha raksasa, ialah: usaha
religius dan usaha nonreligius. Apa motivasinya?
Manusia menempuh jalan (usaha)
nonreligius, selama ia masih sanggup merebut kebahagiaan itu dengan kekuatan
manusiawinya sendiri. Jalan (usaha) yang kedua ditempuhnya segera manusia
mengalami (dan dari situ meyakini) ketidakmampuannya, atau terbatasnya kekuatan
manusia secara radikal dan total. Dengan kata lain, di mana manusia tak
berdaya sama sekali untuk merebut kebahagiaan itu, di situ manusia
menjalankan usaha religius. ini berarti bahwa manusia bukan lagi menggunakan
kekuatan sendiri, tetapi “tenaga lain” yang dipercayai berada di dunia lain
yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera, namun dirasa bisa membantunya. Inilah
yang disebut agama dalam arti luas.
Jika orang mengikuti sejarah agama
menurut teori evolusi (seperti misalnya JAMES FRASER dan ANDREW LANG)
dari situ orang akan diperkenalkan perkembangan bentuk-bentuk keagamaan dan
hentuk yang rnasih sederhana hingga bentuk yang modern. Melalui urutan klasik
muncullah pra-animisme yang meliputi magisme dan fetisyisme, animisme,
kemudian religi atau agama. Dalam pra-animisme manusia menggunakan
kekuatan “gaib” (supra-empiris) yang dipercayai berada di dalam benda-benda
yang tak bernyawa, seperti batu yang aneh, besi (keris) dlsb. Dalam animisme
manusia berhubungan dengan makhluk yang bernyawa, khususnya rnakhluk halus atau
roh-roh (baik dan jahat) yang dipercayai memiliki kekuatan lehih tinggi
daripada manusia secara kategorial. Misalnya para arwah nenek moyang, roh-roh
yang dipercayai menguasai sumber air, sungai, lautan, gunung dlsb. Dalam
religi, manusia mengadakan hubungan dengan “roh yang tertinggi”, yang
dipercayai memiliki kekuasaan yang tak terbatas, yang oleh agama-agama besar
disebut TUHAN, yang menciptakan dan menguasai alam sernesta.
Terlepas dari penggambaran teori
evolusi yang mengajarkan munculnya agama menurut tahap-tahap yang khas itu
(pra-animisme, animismereligi); bila hanya menggunakan pengamatan sehari-hari
atas perilaku manusia yang berkaitan dengan kekuatan yang supra-empiris,
ternyata manusia tidak terikat oleh hukum pentahapan evolusi itu. Ternyata
manusia yang telah mengenal Roh Tertinggi atau Tuhan dan mengadakan komunikasi
dengan-Nya, masih ada yang menghormati rnakhluk-makhluk halus, bahkan ada juga
yang masih menggunakan kekuatan magis.
Dari pengamatan yang sama dapat
ditarik kesimpulan penting yang lain bahwa manusia tidak hanya menggunakan
kekuatan supra-empiris yang tertinggi (yang disebut Tuhan) untuk kepentingan
supra-empiris (baca kesejahteraan abadi) yang secara mutlak mengatasi
kernampuan manusia untuk mencapainya, tetapi juga untuk kepentingan sehari-hari
yang jasmaniah dan empiris yang harus dipenuhi sekarang ini. Dasar pemikirannya
harus dikembalikan lagi kepada tiga pengalaman fondamental seperti telah
dijelaskan di atas ialah: ketidakpastian, ketidakmampuan (keterbatasan) dan
kelangkaan. Sementara itu demi peningkatan daya guna agama itu manusia
merasionalisasi dan mensistematisasi segala pengalamannya dalarn bidang ini
dalam bentuk organisasi dan institusi yang mengatur mana yang menjadi bagian
iman dan moral serta mana yang merupakan bagian ritual yang harus ditaati oleh
penganut-penganutnya. Dengan demikian agama nampak sebagai suatu sistem sosial
yang dapat dilihat dan diteliti oleh ahli sosial.
Dengan uraian di atas maka cukuplah
kiranya sekarang untuk memberikan rumusan (definisi) mengenai apa itu
agama.
Definisi
Agama ialah suatu jenis sistem
sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berporos pada
kekuatan-kekuatan nonempiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk
mencapai keselamatan bagi diri mereka dan masyarakat luas umumnya.
Unsur-unsur yang hendak dirangkum
dalam definisi di atas telah diterangkan dalam pembahasan sebelumnya. Untuk
konkretnya dapat disebut lagi dengan singkat sbb.:
- Agama
disebut jenis sistem sosial. Ini hendak menjelaskan bahwa agama adalah
suatu fenomena sosial, suatu peristiwa kemasyarakatan, suatu sistem sosial dapat dianalisis, karena
terdiri atas suatu kompleks kaidah dan peraturan yang dibuat saling berkaitan
dan terarahkan kepada tujuan tertentu.
- Agama berporos pada kekuatan-kekuatan
nonempiris. Ungkapan ini mau mengatakan bahwa agama itu khas berurusan
dengan kekuatan-kekuatan dari “dunia luar” yang di-”huni” oleh kekuatan kekuatan
yang lebih tinggi daripada kekuatan manusia dan yang dipercayai sebagai arwah,
roh-roh dan Roh Tertinggi.
- Manusia mendayagunlakan kekuatan-kekuatan
di atas untuk kepentingannya sendiri dan masyarakat sekitarnya. Yang
dimaksud dengan kepentingan (keselamatan) ialah keselamatan di dalam dunia
sekarang ini dan keselamatan di “dunia lain” yang dimasuki manusia sesudah kematian.
THOMAS F.O.’ DEA memakai
definisi yang banyak dipakai dalam teori fungsional. Agama ialah pendayagunaan
sarana-sarana supra-empiris untuk maksud-maksud nonempiris atau supra-empiris.[1]
Dalam definisi tersebut di atas sangat
terasa bahwa pendayagunaan sarana-sarana supra-empiris semata-mata ditujukan
kepada kepentingan supra-empiris saja. Seakan-akan orang yang beragama hanya
mementing kan kebahagiaan akhirat dan lupa akan kebutuhan mereka di dunia
sekarang ini. Hal itu tidak sesuai dengan pengalaman. Banyak orang berdoa
kepada Tuhan untuk keperluan sehari-hari yang dirasa tidak akan tercapai hanya
dengan kekuatan manusia sendiri. Misalnya menjelang ujian banyak anak sekolah berdoa
untuk lulus ujian. Tidak sedikit orang mohon bisa lulus untuk keberhasilan
dalam usaha. Sedang keluarga yang anggotanya ditimpa sakit mohon kesembuhan.
Masalah “yang terakhir” memang banyak
menarik perhatian ahli Sosiologi Agama. J.
MILTON YINGER melihat
agama sebagai sistem kepercayaan dan praktek dengan mana suatu masyarakat atau
kelompok manusia berjaga-jaga menghadapi masalah terakhir dan hidup ini. DUNLOP punya pendirian yang
senada. la melihat agama sebagai sarana terakhir yang sanggup menolong manusia
bilamana instansi lainnya gagal tak berdaya. Maka ia merumuskan agama sebagai
suatu institusi atau bentuk kebudayaan yang menjalankan fungsi pengabdian
kepada umat manusia untuk mana tidak tersedia suatu institusi lain atau yang
penanganannya tidak cukup dipersiapkan oleh lembaga lain.[2]
Bagi JOACHIM WACH aspek yang
penlu diperhatikan khusus ialah: pertama unsur teoretisnya, bahwa agama
adalah suatu sistem kepercayaan. Kedua, unsur praktisnya: ialah yang
berupa sistem kaidah yang mengikat penganutnya. Ketiga, aspek sosiologisnya;
bahwa agama mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial. Pada
hematnya jika salah satu unsur tidak terdapat maka orang tidak dapat berbicara
tentang agama, tetapi 1W hanya suatu kecenderungan religius.[3]
Dalam kaitan mi dapat dipertanyakan
apakah sejumlah “isme” yang sudah dikenal luas merupakan agama. Jelasnya:
nasionalisme, kemunisme, sekularisme, kebatinan, kepercayaan akan raw adil,
dlsb. Atas pertanyaan di atas sejumlah sarjana seperti ELISAOETH NOTHINOHAM menjawab
bahwa “Isme-isme” di atas dapat dimasukkan dalam pengertian agama, dengan
eatatan bahwa itu semua bukan agama “supna-empiris” (baca: Agama wahyu) tetapi
hanya “agama sekular”.
Menurut NIKOLAS LUHMANN aspek
yang perlu diperhatikan dalam defin isi agama ialah aspek fungsionalnya. l.a
melihat agama terutama sebagai Itlatu cara dengan mana süatu fungsi khas
dimainkan dalam situasi evolusio ncr yang berubah terus-menerus.[4]
2.2. Lingkup
Iman dan Lingkup Agama
Dalam pengkauan fenomena agama harus
dibedakan antara pengertian iman dan pengertian agama. Iman ialah kekuatan
batin dengan mana manusia menanggapi sesuatu yang bermakna, entah itu kekuatan
gaib, entah Roh Tertinggi (Tuhan). Kekuatan-kekuatan itu dianggap sebagai “yang
suci”, “angker” atau sakral, yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi, yang
dapat memberi pengaruh baiknya kepada manusia. Oleh karenanya manusia
mengadakan hubungan dengan “yang baik” itu. Langkah paling jauh yang dilakukan
manusia ialah: penyerahan diri secara menyeluruh kepada yang gaib itu. Iman
yang sedalam itu hanya ditemukan pada agama yang mengajarkan bahwa yang gaib
itu adalah suatu pribadi tertinggi, Tuh an pencipta alam, dan yang memanggil
manusia untuk hanya mengabdi kepada-nya. Kepercayaan yang setinggi itu dijumpai
dalam agama wahyu seperti agama Yahudi, Kristen dan Islam. iman yang sedemikian
itu bersifat khas pribadi (strict personal) dan tidak dapat dicampuri pihak
luar, entah yang namanya golongan entah negara. Dalam lingkup inilah orang
berbicara tentang “kebebasan beragama”. Maka iman dalam arti itu juga tidak
menjadi sasaran Sosiologi Agama.
Pengertian agama (religi) lebih
dipandang sebagai wadah lahiriah atau sebagai instansi yang mengatur penyataan
iman itu di forum terbuka (masyarakat) dan yang manifestasinya dapat dilihat
(disaksikan) dalam bentuk kaidah-kaidah, ritus dan kultus, doa-doa dlsb. Bahkan
orang dapat menyaksikan sejumlah ungkapan lain yang sangat menarik seperti:
lambang-lambang keagamaan, pola-pola kelakuan tertentu, cara bermisi (da’wah),
rumah-rumah ibadat, potongan pakaiannya dan seterusnya.
Tanpa adanya agama sebagai suatu wadah
yang mengatur dan membina maka keseluruhan kebudayaan (religius) tersebut di
atas akan sukar dibina dan diwariskan kepada angkatan (umat beriman)
berikutnya. Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa justru kawasan inilah yang
menjadi obyek pengkajian sosiologi.
Lingkup agama
Berdasarkan pengamatan analitis atas
kawasan agama sebagai obyek sosiologi kita dapat mengadakan pembedaan dalam
tiga kawasan agama: (1) Kawasan “putih”, (2) kawasan “hijau” dan (3) kawasan
“hitam”. Istilah yang dipinjam dan bahasa sehari-hari itu dimaksud untuk
memudahk an pendekatan terhadap masalahnya, dan untuk memahami motivasi manusia
beragama secara lebih baik.
Yang dimaksud dengan kawasan “putih
“ ialah suatu kawasan di mana kebutuhan manusiawi yang hendak dicapai masih
dapat dicapai dengan kekuatan manusia sendiri. Manusia tidak perlu lari kepada
kekuatan yang supra-empiris. Dengan akal budinya dibantu oleh teknologinya maka
usaha manusia dapat berhasil. Baiklah diingat bahwa apa yang pernah dijelaskan
dalam bagian muka bahwa lingkup kawasan ini pun tidak sama lebarnya bagi
manusia (golongan manusia) yang satu dan yang lain. Bagi golongan manusia yang
masih primitif batas-batas “kawasan putih” ini ditarik lebih sempit, akibat dan
kompleks pengetahuan dan kemampuan mereka masih sempit. Mereka lebih cepat lari
kepada kekuatan “gaib” untuk meminta bantuannya. Sedangkan bagi manusia yang
sudah maju bantuan “dari luar” itu tidak diperlukan, bagi usaha-usaha yang
berdimensi netral.
Kawasan “hijau” meliputi daerah
usaha di mana manusia merasa aman dalam artian akhlak (moral). Dalam kawasan ini
tindak langkah manusia dengan sesamanya diatur oleh norma-norma rasional yang
mendapat legitimasi oleh agama. Misalnya hal ihwal yang berkaitan dengan hidup
kekeluargaan, perkawinan, warisan, pertukaran barang-barang, diatur oleh
peraturan-peraturan manusia, yang dibenarkan oleh agama yang dipelukanya.
Dengan adanya legitimasi dan agama itu lenyaplah rasa bimbang dan keraguan yang
semula membayanginya.
Kawasan “gelap” meliputi daerah
usaha di mana manusia secara radikal dan total mengalami kegagalan yang
disebabkan ketidakmampuan mutlak manusia sendiri. Apa pun daya marnsia sendiri
di daerah ini ia menghadapi suatu “titik putus” (breaking points) yang tidak
mungkin disambung lagi dengan kekuatannya sendiri[5].
Satu-satunya jalan keluar dan kesulitan ini ialah mengadakan kornunikasi dengan
kekuatan yang ada “di luar” yang mengatasi segala kekuatan alam. Kawasan ini
disebut daerah “gelap” karena rasio manusia tidak sanggup menangkap hakekat
(substansi) kekuatan “luar”, karena”Dia” itu di luar jangkauan pengalaman
manusia. Walaupun demikian adanya, namun manusia toh mau mengalami pengaruh-Nya,
asal manusia mengerti cara-cara untuk menghubungi-Nya. Maka terjadilah sejumlah
ritual yang dibuat yang harus ditaati orang yang hendak bertemu dengan “Dia”.
Dengan jalan itu (yang merupakan bagian terpenting dari agama) manusia
meyakinkan dirinya sanggup mengatasi problem manusiawi yang paling mendasar: ketidakpastian,
ketidakmampuan, dan kelangkaan. Hasil yang diperoleh dan dialami
manusia dalam pertemuannya dengan “Dia” ialah rasa “aman sentosa”, dengan kata
lain, bahwa manusia dalam situasi yang tidak pasti dan penuh bahaya itu
mendapat kepastian (security) dan
jaminan (assurance).
Dalam bidang yang khas itu (kawasan
yang “gelap”) di mana manusia dihadapkan dengan teka-teki yang tak terjawab, Sosiologi
Agama mencoba menelusuri masalahnya dan mengumpulkan data-data dan pengalaman
sekian banyak manusia yang terlibat dalam pusaran hidup itu untuk sampai pada
kesimpulan bahwa pengalaman manusia sesudah “titik putus” itu masih mempunyai
arti penting bagi dirinya dan masyarakatnya, berkat hubungannya dengan “Dia”
yang ada di sebelah (luar) sana.
2.3. Fungsi Agama Bagi Manusia dan Masyarakatnya
Pemahaman mengenai fungsi agama tidak
dapat dilepas dan tantangan-tantangan yang dihadapi manusia dan masyarakatnya.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan analitis (seperti sudah diterangkan dalam
halaman-halaman sebelumnya) dapat disimpulkan bahwa tantangan-tantangan yang
dihadapi manusia dikembalikan pada tiga hal: ketidakpastian, ketidakmampuan,
dan kelangkaan. Untuk mengatasi itu semua manusia lari kepada agama, karena
manusia percaya dengan keyakinan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan
yang definitif dalam menolong manusia. Dengan kata lain, manusia memberikan
suatu fungsi tertentu kepada agama. Di bawah ini akan dikaji fungsi manakah
yang diberikan manusia kepada agama.
2.3.1. Fungsi
Edukatif
Manusia mempercayakan fungsi
edukatif kepada agama yang mencakup
tugas mengajar dan tugas bimbingan. Lain dan instansi (institusi pro-fan) agama
dianggap sanggup memberikan pengajaran yang otoritatif bahkan dalam
hal-hal yang “sakral” tidak dapat salah. Agama menyampaikan ajarannya dengan
perantaraan petugas-petugsnya baik di dalam upacara (perayaan) keagamaan,
khotbah, renungan (meditasi), pendalaman rohani dll. maupun di luar perayaan
liturgis. Untuk melaksanakan tugas itu ditunjuk sejumlah fungsionaris seperti:
syaman, dukun, kyai, pedanda, pendeta, imam, nabi. Mengenai yang disebut nabi ini
dipercayai bahwa penunjukann ya dilakukan oleh Tuhan sendiri. Kebenaran ajaran
mereka yang harus diterima dan yang tak dapat keliru, didasarkan atas
kepercayaan penganut-penganutnya, bahwa mereka dapat berhubungan langsung
dengan “yang gaib” dan “yang sakral” dan mendapat ilham khusus darinya.
Tugas bimbigan yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan dan diterima berdasarkan pertimbangan yang sama. Pengalaman dan masa ke masa mengukuhkan dan membenarkan apa yang dikatakan di atas. Masyarakat mempercayakan anggota-anggotanya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sebagai manusia (di bawah bimbingan agama) akan berhasil mencapai kedewasaan pribadinya yang penuh melalui proses hidup yang telah ditentukan oleh hukum pertumbuhan yang penuh ancaman dan situasi yang tidak menentu dan mara bahaya yang dapat menggagalkannya mulai dan masa kelahiran dan kanak-kanak men uju ke masa remaja dan masa dewasanya. Bahkan pada saat-saat terakhir apabila manusia menghadapi kematian, — saat yang paling menentukan segala-galanya — kehadiran petugas agama sebagai pembimbing dan pendamping masih sangat terasa perlu.
Tugas bimbigan yang diberikan petugas-petugas agama juga dibenarkan dan diterima berdasarkan pertimbangan yang sama. Pengalaman dan masa ke masa mengukuhkan dan membenarkan apa yang dikatakan di atas. Masyarakat mempercayakan anggota-anggotanya kepada instansi agama dengan keyakinan bahwa mereka sebagai manusia (di bawah bimbingan agama) akan berhasil mencapai kedewasaan pribadinya yang penuh melalui proses hidup yang telah ditentukan oleh hukum pertumbuhan yang penuh ancaman dan situasi yang tidak menentu dan mara bahaya yang dapat menggagalkannya mulai dan masa kelahiran dan kanak-kanak men uju ke masa remaja dan masa dewasanya. Bahkan pada saat-saat terakhir apabila manusia menghadapi kematian, — saat yang paling menentukan segala-galanya — kehadiran petugas agama sebagai pembimbing dan pendamping masih sangat terasa perlu.
Dan buku-buku sejarah dan
kesusastraan dapat diketahui bahwa agama-agama baik yang sederhana maupun yang
modern mempunyai pusat-pusat pendidikan yang dikenal dengan nama pondok, padepokan,
pesantren,biara, asrama dll. Sebelum orang mengenal sistem pendidikan modern
(sistem persekolahan) pusat-pusat tersebut merupakan tempat pendidikan
satu-satunya. Keunggulan dan kelebihan pendidikan keagamaan, — bahkan dalam
zaman sekarang pun — tetap diakul masyarakat luas. ini dapat dilihat dan
kenyataan yang tidak luntur, bahwa banyak keluarga lebih suka mengirirnkan
anak-anaknya ke pusat-pusat pendidikan keagamaan daripada ke pusat pendidikan
negara. Kunci keberhasilan pendidikan kaum agamawan tenletak dalam
pendayagunaan nilai-nilai rohani yang merupakan pokok-pokok kepercayaan agama.
Di antara nilai yang diresapkan pada anak didik iaiah: makna dan tujuan hidup,
hati nurani dan rasa tanggung jawab, Tuhan, hidup, kekal, ganjaran atau hukuman
yang setimpal atas perbuatan yang baik dan yang jahat. Apalagi karya pendidikan
ditangani oieh para purnawaktu yang (menonjol dalam kalangan Kristen) berstatus
rohaniwan atau rohaniwati yang berkat profesinya menyerahkan seluruh hidupnya
untuk kepentingan pendidikan. Di samping itu masih dipergunak an hasil
pengkajian dan ilmu pengetahuan modern seperti misalnya filsafat, ilmu jiwa
modern, etika pendidikan, dll.
2.3.2. Fungsi penyelamatan
Tanpa
atau dengan penelitian ilmiah, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat
dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatannya baik dalam hidup
sekarang ini maupun sesudah mati. Usaha untuk mencapai cita-cita tertinggi
(yang tumbuh dan naluri manusia sendiri) itu tidak boleh dipandang ringan
begitu saja. Jaminan untuk itu mereka tem ukan dalam agama. Terutama karena
agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk
mencapai kebahagiaan yang “terakhir”, yang pencapaiannya mengatasi kemampuan
manusia secara mutlak, karena kebahagiaan itu berada di luar batas kekuatan
manusia (breaking points). Orang berpendapat bahwa hanya manusia agama (homo
religiosus) dapat
mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitif,
entah dalam masyarakat modern.
Kesanggupan apa saja yang
diakukan homo religiosus kepada agama? Untuk kepentingan masalah ini kita perlu
menggunakan pembedaan agama dalam dua kategori yang dibuat oleh para ahli
agama. Yang pertama ialah agama alamiah dan
yang kedua ialah wahyu. Yang disebut agama alamiah ialah agama yang
diciptakan oleh manusia sendiri. Dalam hal ini manusialah yang mencari ilah atau
Tuhan. Agama wahyu ialah agama yang dibuat Tuhan. Dalarn hal ini Tuhanlah yang
mencari manusia. Tuhan itu berkomunikasi dengan manusia dan mewahyukan seperangkat
kebenaran (dogma, moral dan cara peribadatan) kepada manusia. Dikatakan bahwa kebenaran-kebenaran
wahyu itu sifatnya transenden mutlak dan tidak dapat dipahami sepenuhnya oleh
manusia. Meskipun demikian adanya namun manusia harus menerimanya dengan iman
karena Tuhan sendirilah menjadi jaminan yang tak tergoncangkan. Sebaliknya kebenaran-kebenaran
agama alamiah mengandung kelemahan akibat keterbatasan manusia sebagai penciptanya.
Betapapun perbedaan antara dua jenis agama tersebut di muka mengenai isi
ajarannya dan mengenai taraf kecerdasan pemeluk-pemeluknya yang dari masa ke
masa terus erkembang berkat kemajuan ilmu pengetahuan dalam tingkat kebudayaan
yang berbeda-beda, namun para ahli sosiologi dengan jalan pengakuan (keyakinan)
para pemeluknya yang dapat dikumpulkan, tidak menghadapi kesulitan yang berarti
untuk menyimpulkan bahwa dan antara agama yang berbeda-beda itu didapati titik-titik
persamaan yang sifatnya universal. Khususnya dalam hal fungsi agama bagi
manusia yang tak berdaya menghadapi problem terakhir yang berkaitan dengan alam
transendental, teristimewa mengenai hubungannya dengan “yang gaib”, “yang
sakral” dan apalagi dengan Tuhan.
Manakah titik-titik persamaan yang universal dan tugas agama itu? Dalam masalah yang tengah kita perbincangkan agama dipercayai mempunyai fungsi eksklusif berikut mi.
1) Agama membantu manusia untuk mengenal “yang
sakral” dan “makhluk tertinggi” atau Tuhan, dan berkomunikasi dengan-Nya.
2) Agama sanggup mendamaikan kembali manusia
yang “salah” dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan penyucian.
Apabila dua persyaratan di atas
terpenuhi maka manusia merasa bahagia yang intinya tidak lain ialah menemukan
(kembali) dirinya sendiri terintegrasi dengan tertib alam fisik dan dunia
sakral yang telah dirusak dengan Iangkah yang salah.
ad 1. Seorang homo
religiosus (manusia beragama) meyakini bahwa agama sanggup menghadirkan
“yang sakral” atau Tuhan yang mahasuci dalam upacara keagamaan. Untuk maksud itu agama menggunakan lambang-lambang. Melalui lambang-lambang keagamaan
itu (yang jenis dan jumlahnya cukup bervariasi) manusia beragama percaya dapat
memperoleh apa yang ia inginkan, antara lain: a) persatuan dengan Tuhan, b) pembebasan
dan penyucian, dan c) kelahiran kembali.
Kehadiran Tuhan diserap dalam benda-benda lambang dengan dua cara, yaitu (1) secara spontan dan (2) dengan dimohon
Kehadiran Tuhan diserap dalam benda-benda lambang dengan dua cara, yaitu (1) secara spontan dan (2) dengan dimohon
(1)
Kehadiran secara spontan (theophania spontanea,). Tuhan
sendiri (dipercayai) berkenan hadir dalam lambang yang dipilih-Nya rnisalnya:
pada pohon yang rindang, pada mata air, pada sebuah batu, pada tempat yang
angker, pada sebuah gunung, dalam sebuah keris atau tombak, pada patung seorang
tokoh, pada orang yang mernakai topeng suci dsb.[6]
(2)
Secara dimohon (invokatjf,) — theophania invocativa. Tuhan hadir dalam
benda (lambang) atau manusia karena dirnohon. Tuhan dimohon turun dan mengambil
tempat dan bentuk dalam sesuatu lambang, sehingga dapat bergaul dengan manusia[7].
Ada dua macam permohonan (seruan), ialah invokasi inagis dan invokasi
religius. Invokasi magis
mendasarkan kekudusan kepada kekuatan gaib seseorang (baca: dukun, imam,
seorang sakti dll.) sehingga kekudusan (sakralitas) benda lambang bervariasi intensitasnya
menurut gradasi kekudusan si pemohon. Invokasi
religius mengandalkan kekuatan pada Tuhan sendiri serta kerelaan-Nya untuk
turun pada benda lambang. Tuhan dimohon, bukan dipaksa. Bentuk-bentuk invokasi
ialah segala bentuk doa deprekatoris, bentuk konsekrasi, bentuk permohonan.
Sedangkan bentuk-bentuk invokasi magis ialah mantera, jampi-jampi, kutukan dll[8].
Dalam praktek umumnya didapati gabungan antara invokasi magis dan invokasi
deprekatoris. Seorang kudus (sakti) di anggap memiliki doa dan tindak agama
iebih kuat daripada seorang biasa
Yang “supra-empiris” menjadi
“empiris”. Tuhan atau “yang sakral” dan “yang tak terbatas” dipercayai
hadir di dalam benda lambang, tetapi sekaligus ada di luar lambang, karena transendensinya.
Dengan demikian “yang tak terbatas” menjadi terbatas, diserap dalam lambang;
“yang ilahi” menjadi duniawi, “yang tak teraba” menjadi teraba. Dalam kondisi
yang sama dengan manusia, “yang tak terjangkau” dapat dialami manusia. Berkat
dimungkinkannya kontak manusia dengan yang sakral, dengan Tuhan, manusia merasa
kuat aman sentosa.
Dalam hubungan ini dapat dicatat bahwa dalam agama Kristen umat percaya (dengan iman yang kuat), titik pertemuan antara Tuhan dan manusia diwujudkan dalam tanda-tanda (lambang) yang dibuat Tuhan (Yesus Kristus) sendiri yang disebut sakramen-sakramen gereja, yang ada tujuh jumlahnya. Dalam perayaan sakramen (dipercayai) terjadilah pertemuan yang mesra antara Tuhan dan manusia (manunggalnya Tuhan dengan manusia, atau (Jawa) “manunggaling kawula lan Gusti”, yang di dunia sekarang ini telah dimungkinkan Tuhan sendiri secara maksimal).
Dalam hubungan ini dapat dicatat bahwa dalam agama Kristen umat percaya (dengan iman yang kuat), titik pertemuan antara Tuhan dan manusia diwujudkan dalam tanda-tanda (lambang) yang dibuat Tuhan (Yesus Kristus) sendiri yang disebut sakramen-sakramen gereja, yang ada tujuh jumlahnya. Dalam perayaan sakramen (dipercayai) terjadilah pertemuan yang mesra antara Tuhan dan manusia (manunggalnya Tuhan dengan manusia, atau (Jawa) “manunggaling kawula lan Gusti”, yang di dunia sekarang ini telah dimungkinkan Tuhan sendiri secara maksimal).
ad 2. Pembahasan dan penyucian merupakan suatu
kebutuhan dasar bagi manusia umumnya. Manusia mengalami tindakannya yang salah
dan dengan perbuatan itu kesadarannya mengatakan bahwa ia merusak hubungan harmonis
antara manusia dan tertib alam, antara manusia dan Tuhan, dan antara manusia
dengan sesamanya. Singkatnya: seluruh harmoni kehidupan dirusaknya. Kesadaran
akan kesalahan yang ada dalam individu-individu bersatu menjadi kesadaran
kolektif yang hidup dalam masyarakat, dan tindak lanjut untuk menghapus
kesalahan itu menjadi kebutuhan seluruh masyarakat.
Hal tersebut di atas terbukti dan
tindak masyarakat dalam pengadaan aneka bentuk upacara pembebasan dan penyucian.
Sebagai contoh dapat ditampilkan beberapa upacara keagamaan yang dijumpai pada
beberapa suku bangsa di Indonesia.
- Pembebasan dari roh-roh jahat. Dalam
upacara ini juga dipergunakan benda-benda lambang yang dipercayai mempunyai
kekuatan untuk maksud itu. Dari segi negatifnya: menolak pengaruh jahat, dan
membersihkan yang kotor karena salah (dosa). Benda lambang yang dipakai dalam
agama adat antara lain: azimat (benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan
menolak) seperti: batu ajaib, logam, akar tetumbuhan, benang merah (Jawa),
patung denawa. Di samping itu orang menggunakan “air suci” untuk memandikan
orang yang “kotor”, dengan menyiramkan atau memercikkan. Lambang yang berupa
api dan cahaya untuk membakar yang “kotor” (jenazah, gubug). Lalu suara
tertentu untuk mengusir roh jahat seperti: lampor, gejogan (Jawa), menabuh
kentongan atau genderang, tiupan, mantera dan doa-doa tertentu. Untuk maksud
yang sama diadakan tarian/drama seperti kuda lumping, wayangan untuk meruwat
“dosa”, pantang dari perbuatan atau makanan tertentu, dlsb.
- Upacara penyucian. ini dimaksud untuk melimpahkan suatu
kekuatan yang positif yang dapat memperkaya dan memberi berkat. Benda lambang,
air suci, air kelapa merah (NTT), minyak kelapa (NTT), sepotong daging binatang
korban (untuk dimakan), “berkat” berupa nasi yang telah disucikan dengan doa
dan dibawa pulang untuk dimakan seluruh keluarga. Di samping itu masih
digunakan seperangkat upacara untuk maksud penyucian pada saat penting dalam siklus
kehidupan manusia yang meliputi kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian;
pada peristiwa pendirian bangunan yang penting, seperti peletakan batu
pertama, pada saat menaikkan kuda-kuda, jembatan, peresmian balai desa,
sekolah, kuburan dll. Tidak boleh dilupakan juga pada peristiwa sekitar agronomi
(saat mulai menanam, saat mulai panen, upacara minta hujan dll.). Pada
upacara-upacara tersebut di atas benda-benda lambang yang sesuai seperti
tersebut di atas, memainkan peranan yang penting[9].
ad 3. Upacara kebangkitan
Manusia beragama mempunyai
kepercayaan,bahwa manusia dan dunianya karena ulah manusia sendiri yang salah yaitu
melanggar tertib alam dantertib moral dapat mengalami erosi dan depresi
menjadi disfungsional, sehingga
tidak berfungsi lagi sebagamana mestinya. Guna mengembalikan vitalitas dan
kesuburan yang semula ada perlu diadakan upacara kebangkitan atau upacara
pembaharuan: Bentuk dan cara kepercayaan tidak sama, ada variasi dan nuansa
yang ditemukan pada agama sederhana (bahari) dan agama modern. Namun gagasan
pokok yang malandasi pada intiiiya adalah sama. Dalam garis besarnya sebagai
berikut.
(1)
Ciptaan yang sudah rnenua harus ditiadakan (dilebur)
dan dicipta kembali (recreatio atau
juga re-incarnasi)[10].
Mengenai peleburan (ad I) ciptaan yang
sudah tua dan tak berfungsi lagi terdapat latar belakang kepercayaan
yang cukup umum. Pada satu sisi: Pengalaman rasa takut terhadap ancaman musuh
akan semakin berat, apabila keadaan yang rusak parah dibiarkan begitu saja.
Pada sisi lain, adanya pengalaman rasa rindu akan kebahagiaan murni seperti
yang ada pada kead aan semula (aslinya). Padahal orang percaya bahwa keadaan
aslinya ialah segar, vital, dan harmonis berkat persatuannya dengan dewa/Tuhan.
Upacara “mati-bangkit” mi diperlambangkan dengan jelas dalam upacara
pengorbanan binatang korban yang mewakili seluruh dunia ciptaan, seluruh
diri manusia, seluruh tata hukum kehidupan. Dengan pengorbanan ini seluruh
ciptaan dilebur (ditiadakan); seluruh ciptaan mati; segala dosa diampuni,
sernua noda dicuci, dan seluruh unsur kematian dibinasakan. Hidup dikembalikan
kepada sumbernya, agar terjadilah kehidupan yang murni (asli) seperti tatkala
baru saja diciptakan[12].
Perayaan mendobrak rutinitas dan penciptaan
baru (ad 2) didasarkan atas pengalaman berikut. Penghayatan hidup
sehari-hari mengalami erosi, karena menjadi gerakan rutin yang membosankan dan
oleh karenanya juga mengurangi keherhasilan, kalau bukan malahan menyebabkan
kegagalan. Perayaan pada intinya adalah mendobrak rutin dan menciptakan sesuatu
yang baru. Manusia yang berpesta wajib berkreasi (menciptakan), harus sanggup
membangunkan sikap yang sudah payah dengan membangkitkan gairah baru dengan
rnenemukan dan menampilkan dimensi-dimensi baru dan dalam dunia yang
terus-menerus berubah. “Di sinilah letak eksistensi manusia, yang membuka diri
terus-menerus ke masa depan, ke penemuan diri, ke perkembangan identitas, ke
pengenalan diri yang tak habis-habis nya’’[13].
Contoh: Perayaan Tahun Baru
merupakan peristiwa keagamaan yang tiap tahun berulang kembali. Di situ
terdapat unsur kematian dan unsur pembaharuan. Benda-benda lambang yang dipakai
dalam perayaan itu antara lain, membuang atau memecahkan barang-barang yang
sudah tua (lama) seperti botol, piring, dll., lalu menampilkan benda lambang
yang memberi terang, misalnya api unggun, pelita (obor) dalam rumah atau dalam
perarakan, permainan kembang api. Ditampilkan pula benda lambang yang dapat
memberi nilai kesegaran dan kemudaan seperti daun-daun muda (janur kuning,
kuncup bunga-bungaan, kuncup jantung pisang, pohon beringin, daun kemuning
sebagai lambang nemu “hening”, telur dsb.).
2.3.3. Fungsi
Pengawasan Sosial (Social Control)
Pada umumnya manusia, entah dari
zaman bahari entah dan zaman modern, mempunyai keyakinan yang sama, bahwa
kesejahteraan kelompok sosial khususnya dari masyarakat besar umumnya tidak
dapat dipisahkan dan kesetiaan kelompok atau masyarakat itu kepada
kaidah-kaidah susila dan hukum-hukum rasional yang telah ada pada kelompok atau
masyarakat itu. Disadari pula (terkecuali kaum anarkis) bahwa penyelewengan
terhadap norma-norma susila dan peraturan yang berlaku mendatangkan mala petaka
dan kesusahan yang pada waktunya melemahkan fungsi masyarakat. Kenakalan
remaja, pembunuhan dan kualitas yang biasa hingga yang sadis, peperangan antara
bangsa dengan alat-alat penghancuran yang mengerikan adalah beberapa contoh
yang membenarkan pernyataan di atas. Masalahnya menjadi lebih sulit apabila
pelanggaran kaidah moral itu dilakukan oleh oknum atau instansi pemerintah yang
syah. Misalnya tindakan yang melanggar keadilan dan hak-hak azasi manusia,
dalam benhuk penindasan si lemah (baik dalam hal pengetahuan maupun
kekayaan), penahanan warga negara yang salah kelewat batas, dlsb.
Berkaitan dengan variabel-variabel
norma susila dan kesejahteraan, penyelewengan dan keresahan di atas
dipertanyakan: Apakah agama mempunyai kompetensi, suatu wewenang yang diakui
oleh masyarakat pada umumnya? Kalau ya, maka timbul pertanyaan lain: dengan cara
yang bagaimana agama melaksanakan wewenang itu?
Berdasarkan kesadaran umum yang
benar-benan ada pada semua pemeluk agama, yang didukung oleh tindakan yang
diambil instansi keagamaan dari zaman ke zaman terhadap penyeleweng-penyeleweng
kaidah susila yang mengganggu kesejahteraan umum, dapat ditarik kesimpulan
berikut.
(1) Agama (instansi agama) mempunyai fungsi pengawasan
sosial (social control).
(2) Agama (instansi agama) mempunyai fungsi
profetis (kenabian) atau fungs kritis.
Fungsi pengawasan sosial
Agama merasa ikut bertanggung jawab
atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat
manusia umurnnya. Maka agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada
dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah
yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama memberi
juga sangsi. sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya
dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.
Kaidah-kaidah moral yang asli
tercantum dalam hukum adat. Hukum
itu merupakan cetusan hati nurani masyarakat yang hidup dalam kesadaran
masyarakat dan dinilai sebagai pusaka suci yang berasal dan para leluhur yang
menerimanya dan Tuhan. Sebagaimana adanya hukum adat merupakan suatu kompleks
kebiasaan dengan kadar moral yang bervariasi dan yang berbobot moral (harus)
turun ke yang berkadar kepantasan hingga yang berbobot sopan santun yang
mengatur perilaku lahiriah. Berkat ketaatannya kepada hukum adat masyarakat
merasa ikut mengambil bagian dalam keselamatan abadi dan merasa bersatu dengan
hukum alam. Maka ikatan yang sakral itu sewaktu-waktu harus diperbaharui jika
kendor atau rusak harus dikonsolidasi kembali meialui upacara keagamaan.
Pengawasan atas berlakunya hukum adat
itu dilakukan secara terperinci baik dalam tindak langkah sehari-hari maupun
dalam kejadian yang khusus (seperti kelahiran, perkawinan, kematian dlsb.).
Misalnya apakah pantangan, pemali atau tabu ditaati. Apakah tata cara adat
gotong royong, kebiasaan senasib dan sepenanggungan, pepatah dan petitih masih
ditaati dengan baik. Apakah upacara pada lingkup pertanian, pada pendirian
rumah dan bangunan-bangunan penting sudah dipenuhi atau belum. Dalam masyarakat
di mana adat dan agama masih menjadi satu maka pengawasan-pengawasan (kontrol)
atas hukum yang tidak tertulis itu dilaksanakan oleh kepala adat (yang
sekaligus kepala agama).
Namun dalam perjalanan sejarah, tata
hidup masyarakat sederhana dalam lingkup sempit dan tertutup itu mengalami
perubahan. Kehidupan desa dimasukkan dalam sistem besar dan kerajaan dan negara
yang feodal hingga yang modern. Ternyata sistem baru yang kemudian menjelma
dalam negara-negara nasional itu datang dari luar daerah, jelasnya negara
asing. Bersamaan itu masuk pula agama-agama besar yang mencari daerah misi
baru. Baik negara maupun agama asing itu memberlakukan hukumnya
sendiri-sendiri. Terjadi konfrontasi antara hukum adat dan hukum negara di satu
pihak, dan hukum adat terhadap hukum agama besar di lain pihak. ini berarti si
kecil melawan si besar, si lemah melawan si kuat. Apa yang terjadi dicatat pula
oleh sejarah. Dalam banyak hal hukum negara menyerbu daerah hukum adat bahkan
terdapat pemerkosaan etos adat dan kesusilaan asli.
Berdasarkan buku-buku yang
dipelajarinya Rachmat Subagya menyimpulkan (sehubungan dengan hal di atas)
sebagal berikut. “Penyerbuan semacam itu tidak terjadi satu kali saja,
melainkan berulang kali. Hukum Hindu yang termaktub dalam Kutaramanawa,
Manayadharmacastra, Adhiguna dan lain-lain dipakai oleh para raja. Kitab Tuhfah,
peraturan syariat, dipakai oleh para sultan. Pemerintah Belanda menambahkan
azas hukum Barat. Dengan demikian timbullah situasi hukum yang disebut oleh B.
Sudarso polynormativisme dan oleh Jaspan legal “syncretism”[14].
Penulis di atas mengkhususkan pandangannya
atas keadaan di Indonesia, terutama di Jawa. Kekuasaan politik yang bersatu
dengan kekuasaan agama yang masuk di Indonesia seperti yang diuraikan di atas
adalah kekuasaa dan India (Hindu dan Buddha) dan dan Arab (Islam), serta dan
Eropa (baca Belanda).
Ternyata agama asli tidak menyerah
kalah begitu saja terhadap serbuan asing itu. Rakyat mengadakan reaksi terhadap
hukum dari luar itu dengan menyaring hukum asing yang dapat memperkaya hukum asli.
Terjadilah akulturasi hukum asing dengan hukum asli yang menghasilkan suatu
sintesis baru. Di samping itu terdapat sejumlah unsur hukum asing yang
dipaksakan untuk diterima penduduk asli. Namun ternyata bahwa apa yang
dipaksakan itu belum dapat mengganti cita rasa hukum asli. Misalnya, larangan
untuk mengadakan selamatan oleh agama Islam dan Kristen tidak ditaati penduduk
(pemeluk agama asli). Upacara perkawinan yang telah diselenggarakan menurut
peraturan agama yang bersangkutan misalnya masih dirasa belum lengkap tanpa
upacara adat. Dan mereka baru merasa puas bila di samping upacara agama baru
juga diadakan upacara adat entah sebelum entah sesudah upacara resmi keagamaan.
Hasrat yang kuat dan agama asli itu belakangan ini memberikan dorongan kuat
kepada agama-agama misioner untuk mengadakan inkulturasi liturgi. Dalam bidang
mi usaha inkulturasi liturgi Gereja Katolik Indonesia ditingkatkan dan
ditampung dalam Kongres Liturgi III di Jakarta, tahun 1980.
Kembali kepada Lopik pembicaraan,
yaitu fungsi agama bagi masyarakat, dapat disimpulkan sebagai berikut. (1)
Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dan adat yang dipandang baik bagi
kehidupan moral warga masyarakat. (2) Agama mengamankan dan melestarikan
kaidah-kaidah moral (yang dianggap baik) dan serbuan destruktif dan agama baru
dan dan sistern hukum negara modern. (3) Di mana nilai hukum adat yang baik
masih dapat ditingkatkan atau disempurnakan agama-agama mengadakan inkulturasi.
(4) Pelanggaran terhadap hukum adat (asli) maupun hukum negara (yang berdimensi
moral) dikenai sangsi-sangsi.
Fungsiprofelis atau kritis
Bentuk pengawasan sosial agama
terhadap masyarakat dalam dimensi yang tajam dapat dinamakan fungsi profetis
(kenabian) atau fungsi kritis. Kekhususan dan fungsi profetis ini terletak pada
sasaran dan caranya. Sasaran “kritik” tersebut ialah kategori atau golongan
sosial yang sedang berkuasa atau pemegang tampuk pemerintahan yang dalam
kedudukannya melakukan tindakan-tindakan yang melanggar kaidah-kaidah susila
sehingga menimbulkan kerugian dan penderitaan baik moral maupun material kepada
rakyat bawahannya. Dengan kata lain, keadilan (justice) dan ketenteraman
(peace) masyarakat terganggu akibat ulah pemerintah yang salah.
Fungsi kritis agama dapat dan bahkan
hampir selalu menimbulkan konflik (bentrokan) antara instansi agama dan
instansi pemenintah, karena pemerintah pada umumnya tidak senang dengan kritik
itu, lalu mengadak an reaksi (perlawanan) untuk menangkis dan menghentikan
kritik itu.
Kapan instansi agama rnulai rnelancarkan kritiknya terhadap pemerintah Tindakan yang demikian itu dilakukan apabila pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. Secara konkret: ialah jika harapan rakyat akan keadilan (justice) dan kedamaian (peace) praktis tak mungkin dicapai lagi, karena negara melalui tindakannya yang didukung oleh peraturan hukum maupun tanpa landasan hukum menyalahi hak-hak ilahi dan hak-hak azasi manusia. Misalnya antara lain:
Kapan instansi agama rnulai rnelancarkan kritiknya terhadap pemerintah Tindakan yang demikian itu dilakukan apabila pemerintah nyata-nyata telah menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. Secara konkret: ialah jika harapan rakyat akan keadilan (justice) dan kedamaian (peace) praktis tak mungkin dicapai lagi, karena negara melalui tindakannya yang didukung oleh peraturan hukum maupun tanpa landasan hukum menyalahi hak-hak ilahi dan hak-hak azasi manusia. Misalnya antara lain:
- Tiada lagi kebebasan rakyat untuk
memeluk agama yang disukainya menurut kata hati nuraninya.
- Tiada lagi kebebasan untuk herfikir dan
mengeluarkan pendapatnya dalarn forum terbuka baik secara pribadi maupun
rnelalui media komunikasi massa.
- Secara nyata rakyat kecil yang bersalah
atau diduga bersalah tidak mendapat perlakuan hukurn yang adil seperti: hukuman
yang kelewat berat, penahanan yang tidak menentu lamanya.
- Jika secara nyata golongan yang lemah baik
mental maupun material dipakai sebagai tenaga murah, dipekerjakan tanpa imbalan
yang dapat menjamin hidupnya, dan itu semua demi kepentingan pemerintah atau golongan
yang sedang berkuasa.
- Jika secara nyata pemerintah menutup
jalan menuju ke perbaikan nasib sosial-ekonominya dengan memberikan
perlindungan kepada golongan tuan tanah dan golongan kaya lainnya yang suka
mempertah ankan kemiskinan struktural yang ada dalam negara.
- Fakta-fakta lain yang melanggar moral
sosial.
Contoh konkret. Di Arnerika
Selatan selama dua dasawarsa terakhir ini instansi agama (Katolik) melaksanakan
fungsi kritisnya terhadap pemerintah-pemerintah setempat, yang sangat merugikan
rakyat banyak karena melindungi golongan kecil yang kaya. Dalam kerangka fungsi
profetiskritis itu muncul usaha lain yang digerakkan sekelompok teolog untuk
menyusun landasan doktriner yang disebut “teologi pembangunan”, sebagai
landasan ilmiah bagi pembangunan sosial pada skala nasional, regional, dan
kontinental.
Kasus yang serupa dijumpai pula di
Filipina. Di negara itu para uskup Gereja Katolik mengajukan protes kepada
pemerintah yang syah (rezim Marcos) karena sistem pemerintahannya menindas
rakyat kecil.
Di Indonesia beberapa waktu yang lalu
suatu kelompok imam di Yogyakarta yang terdiri dan 40 orang mengajukan kritik
terbuka kepada pemerintah, karena hasil Pembangunan tidak sampai di tangan
rakyat kecil, walaupun yang terakhir ini
telah berkorban banyak untuk keherhasilan Pembangunan.
Di Polandia masalah fungsi kritis
agama dan konflik dengan pemerintah setempat terulang lagi. Di situ masalah kebebasan
merupakan masalah pokok. Rezim pemerintah yang berhaluan komunis menghalangi kebebasan
Serikat Buruh ‘‘Solidaritas’’ untuk mempertahankan eksistensinya dan
melanjutkan operasinya. Bahkan pemimpinnya Lech Walesa beserta ribuan rekannya
dimasukkan dalam penjara[15].
Dan beberapa contoh konkret di atas
dapat ditarik kesimpulan, bahwa ciri khas fungsi profetiskritis agama tidak hanya
terletak pada sasarannya, dalam hal ini pemerintah, melainkan juga pada caranya
yang herbeda dengan fungsi pengawasan (kontrol). Jika dalam fungsi yang pertama
digunakan cara persuasif, dalam rnelaksanakan fungsi profetis dipakai cara
ekssekratif (mengutuk) setelah cara persuasif (menasehati) tidak mempan. Akibat
eks-sekrasi (Latin: exsecratio = kutukan) itu sudah jelas, ialah perlawanan
pemerintah terhadap agama.
Sampai berapa jauh fungsi profetis itu?
Sampai berapa jauh fungsi profetis itu?
Cukup sering terjadi
peristiwa-peristiwa agresif dengan kekerasan senjata yang dilancarkan golongan
agama terhadap pemerintah yang syah. Motif yang mendorongnya pada umumnya ialah
anggapan golongan agama yang bersangkutan untuk mengganti negara sekular dengan
negara agama. Contoh, pemberontakan Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam pada
tahun 1948; gerakan Jemaat lmran di Bandung tahun 1981; revolusi Iran yang
menumbangkan pemerintahan Syah Pahlevi tahun 1979, di bawah pimpinan lmam
Khomeini. Dapat dipertanyakan apakah kegiatan di atas termasuk fungsi profetis
agama?
Berpedoman pada pengertian fungsi
profetis dalam arti sempit, sesungguhnya harus dikatakan, bahwa kegiatan di
atas tidak dapat dimasukkan dalam fungsi profetis-kritis agama. Sebab fungsi
profetis dilakukan atas nama iman Thaca atas nama Tuhan). Tetapi
gerakan-gerakan di atas (pemberontakan/revolusi) tidak dapat dikatakan atas
nama iman (Tuhan) atau atas nama agama dalam arti yang sebenarnya, dan lebih
tepat dikatak an “atas nama ideologi”. Karena dalam konteks itu agama
telah dij adikan suatu ideologi; suatu ideologi yang berinspirasikan pada agama
Sebagai suatu impian atau cita-cita. Akar ideologi yang lebih dalam ditemuk an
dalam Agama Yahudi dalam masa Penjanjian Lama, jelasnya dalam tradisi kenabian,
di mana orang percaya bahwa Kerajaan Allah yang dinantikan akan muncul sebagai
dunia baru yang sepenuhnya adil, bebas, dan manusiawi. Dalam abad “Aufklarung”di
Eropa, gagasan dasar itu dikembangkan menjadi suatu ideologi emansipasi yang
hendak membebaskan manusia dan segala bentuk ketidakbebasan hanya dengan
kemampuan rasio murni bersih dan pengaruh agama, dan yang kemudian dijelmakan
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern, yang diyakini memiliki kesanggupan
luar biasa dan mampu memecahkan segala persoalan[16].
Dalam kerangka ideologisasi agama di
mana suatu golongan agama tidak bertolak lagi dan iman dan agama — (walaupun
pelakunya masih menggunakan kata-kata “demi nama Tuhan” atau lagi “demi
kemurnian agama”) — tetapi dan teori emansipasi, yaitu demi kepentingan
golongann ya sendiri, maka gerakan serupa itu akan mendapat tantangan dari
berbagai pihak. Contohnya, gerakan lmran dkk. di dalam negara kita yang
mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Gerakan itu tidak luput dan
konfrontasi fisik dengan ABRI, dan harus diakui keunggulan yang terakhir mi.
Dalam kasus seperti di atas orang tidak boleh melihat tindakan negara itu
sebagai serangan negara melawan agama, tetapi hanya sebagai bentrokan antara
ideologi negara versus ideologi (suatu) sekelompok penganut agama tertentu.
Dan segi lain, agama yang bermaksud
menawarkan diri sebagai suatu ideologi pembebasan manusia dan segala belenggu
ikatan yang tidak manusiawi, HARUS BERFIKIR LEBIH JAUH tentang
persyaratan yang harus dipenuhi agama itu sendiri, apabila ia menginginkan
keberhasilan. Pertama dan terutama ialah adanya kesediaan yang jujur dan ikhlas
— yang disusul dengan tindakan positif — untuk menempatkan diri
sendiri di bawah Kritik yang mendalam (radikal). Khususnya mengenai
kualifikasi kedudukannya sendiri di tengah masyarakat; lalu mengenai
kekurangmampuannya berfungsi sebagai kekuatan spiritual (religius); dan
akhirnya mengenai kedudukannya sebagai ideologi umumnya, namun ditempatkan
dalam dan terhadap konteks laju perkembangan dunia yang telah berubah dan akan
terus berubah menuju kepada puncak-puncak dan ranting-ranting kehidupan sekular
yang semakin menajam.
2.3.4. Fungsi Memupuk Persaudaraan
Membaca subjudul di atas sejumlah
cerdik-pandai tentu akan menggoyanggoyangkan tangannya sebagai tanda tidak
setuju dengan ungkapan di atas bahwa agama berfungsi sebagai pembina
persaudaraan. Mereka seperti akan berkata, “Tuh, lihatlah sejarah! Apa yang
kalian temukan? Bukannya persaudaraan antar manusia, melainkan permusuhan dan
perpecahan karena masalah agama!” Dan mereka masih dapat menunjuk lagi
peristiwa konflik di Irlandia Utara, di Filipina Selatan, di Indonesia
(pembakaran rumah-rumah ibadat, rumah sakit dll.). Pendapat mereka dibenarkan?!
Gambaran di atas tidak obyektif,
karena berat sebelah. Karena mereka hanya dapat melihat yang negatif saja, seakan-akan
masa lampau hanya diisi dengan permusuhan saja, dan tidak pernah ada kedamaian.
Kalau sejarah dibaca lebih teliti, ternyata peristiwa persaudaraan dan perdamaian
lebih besar daripada permusuhan. Coba telili saja jalannya sejarah bangsa
Indonesia tahun 1981. Ada 4 Tniwulan (T). Berilah nilai plus ( +) untuk T di
mana tidak ada keresahan agama, dan tanda nilai minus (—) untuk T di mana ada
keresahan. Kalau demikian maka gambarannya sebagai berikut. T I: minus (—),
karena keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Agama (kalau itu dianggap
keresahan). T II plus (+); T III plus (+); T IV plus (+). Jadi
keadaan I T (—) dan III T (+). Maka variabel positif lebih besar
daripada variabel negatif. Atau masa kedamaian (persaudaraan) lebih banyak daripada
masa keresahan (permusuhan). Itu semua berkat adanya agama. Umat beragama dapat
menahan diri untuk menciptakan situasi damai.
Dengan gambaran di atas menjadi jelas pula bahwa dalam sejarah umat manusia (khususnya umat beragama) situasi kerukunan masih jauh lebih positif daripada negatif. Konflik tidak terjadi terus-menerus, tetapi hanya kadang kala saja. Masa perdamian antara golongan Kristen dan Islam misalnya dalam abad-abad yang silam jauh lebih panjang daripada masa bentrokan.
Dengan gambaran di atas menjadi jelas pula bahwa dalam sejarah umat manusia (khususnya umat beragama) situasi kerukunan masih jauh lebih positif daripada negatif. Konflik tidak terjadi terus-menerus, tetapi hanya kadang kala saja. Masa perdamian antara golongan Kristen dan Islam misalnya dalam abad-abad yang silam jauh lebih panjang daripada masa bentrokan.
Jika kita menyoroti keadaan pensaudaraan
dalam satu jenis golongan beragama saja misalnya umat Kristen tersendiri, umat
Islam tersendiri maka menjadi teranglah bahwa agama masing-masing sungguh
berhasil dalam menjalankan tugas “memupuk pensaudaraan”. Karena baik Agama
Kristen maupun Islam masing-masing berhasil mempersatukan sekian banyak bangsa
yang berbeda ras dan kebudayaannya dalam satu keluarga besar di mana mereka
menemukan ketenteraman dan kedamaian. Dengan demikian melalui agama perdamaian
di bumi yang didambakan oleh setiap insan untuk sebagian sudah mulai terwujud.
Perpecahan antara bangsa-bangsa mulai berkurang. Apa yang diyakini dan
diinginkan umat Kristen “Damai di bumi bagi semua orang yang berkehendak baik”,
bukan hanya merupakan cita-cita kosong, melainkan telah menjadi kenyataan
sosiologis yang dapat dinikmati banyak orang dan dapat disaksikan banyak bangsa
dari abad ke abad.
Bahwa semua manusia mendambakan
persaudaraan dan perdamaian adalah sesuatu yang sudah jelas dengan sendirinya.
Tidak perlu dibuktikan secara sosiologis ataupun filosofis. Dunia tidak
menginginkan perpecahan dan permusuhan melainkan persatuan dan perdamaian.
Bahkan bukan asal ada persatuan sembarang, melainkan persatuan yang tertinggi
dan yang lestari sebagai jalan untuk mencapai kedamaian yang sesempurna
mungkin. Banyak usaha telah dicoba manusia dari zaman ke zaman untuk mewujudkan
kesatuan dan kedamaian yang tertinggi itu. Hasilnya tidak selalu memuaskan.
Kesatuan yang pernah dicapai terpecah lagi dan perlu dicari dasar-dasar
kesatuan baru yang dianggap sanggup melestarikan bentuk integrasi baru.
Dari masa ke masa manusia telah
mencoba menemukan dasar kesatuan yang tangguh untuk mempersatukan umat manusia
yang tercerai-berai. Dilihat dan segi mutu kesatuan dapat disebut dua kategori
kesatuan sebagai berikut:
1) Kesatuan kuantitatif dan kesatuan organik
(biologis). Kesatuan kuantitatif merupakan bentuk kesatuan yang terendah karena
terdiri dari bagian-bagian yang homogen seperti misalnya kesatuan batu. Batu
terdiri dan bagian-bagian terkecil yang disebut atom-atom. Bentuk kesatuan
tersebut tidak dapat dipakai makhluk manusia, karena manusia bukanlah
atom-atom. Kesatuan organik seperti yang terdapat pada organ biologis, misalnya
tubuh manusia, juga tidak dapat dipakai wadah pemersatu manusia, karena manusia
bukanlah makhluk organik saja. Maka bentuk kesatuan kategori ini dapat
dikesampingkan saja.
2) Kesatuan sosiologis. Kesatuan jenis
inilah yang menjadi pusat perhatian kita di sini.
(a) Kesatuan
sosiologis yang tertua ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas
unsur-unsur kesamaan: darah, daerah, bahasa, dan nasib yang sama. Kesatuan
tersebut dapat bertahan lama atau relatif lama, tetapi ruang lingkupnya sangat
terbatas hanya pada suatu keluarga atau suku. Bilamana proses perkembangbiakan
berjalan maju dan meluas, maka tali persaudaraan dan persatuan mulai kendor dan
bahkan melenyap. Orang mencari landasan persatuan baru.
(b) Kesatuan persaudaraan berdasarkan
ideologi yang sama. Misalnya golongan yang berbeda keturunannya dan bangsanya,
situasi geografisnya merasa “bersaudara” karena mempunyai pandangan hidup yang
sama seperti: liberalisme, sosialisme, komunisme, marhaenisme dsb. Rasa
persaudaraan ini amat rapuh, karena orang tidak saling mengenal. Dalam hidup
sehari-hari mereka jatuh kembali dalam keluarga atau kekerabatan.
Mereka dalam kandungan
liberalisme misalnya tidak menemukan kepuasan sepenuhnya. Bentrokan dan
perpecahan di dalamnya adalah hal yang biasa.
(c) Kesatuan
persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa kecil
bergabung dalam satu sistem kenegaraan yang besar seperti misalnya Negara Republik Indonesia,
Negara Malaysia, Filipina, India, Cina, Amenika Senikat. Untuk melindungi
keamanannya maka sejumlah negara yang mempunyai kepentingan yang sama bergabung
dalam suatu pakta militer atau nonmiliter, seperti misalnya NATO, pakta Warsawa,
ASEAN dsb. Dalam banyak negara dimungkinkan hidupnya partai-partai politik yang
mengikuti ideologi golongan masing-masing sejauh tidak bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara yang bersangkutan. Kekuatan persatuan yang tumbuh
dalam kesatuan politik tidak menentu, tergantung dan perkembangan situasi dan
kondisi di dalam dan di luar negeri. Perselisihan, bentrokan dan perpecahan
dalam golongan dan partai dalam satu negara adalah hal yang lumrah.
(d) Kesatuan
atas dasar pragmatis. Kesatuan ini mengesampingkan unsur ideologis, politis,
ras dan warna kulit, bahkan juga unsur agama dan kepercayaan. Dibentuk
organisasi yang sifatnya “netral”, dapat dimasuki siapa saja tanpa pandang bulu
asal saja dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan. Persatuan jenis ini
terdapat dalam bidang kesehatan, seni olah raga, seni suara, seni lukis dsb.
Tali persatuan jenis ini yang meliputi lingkup skala nasional dan
internasional, dapat berfungsi lebih tenang dan lebih senang. Namun setiap
orang secara naluri merasa bahwa kebahagiaan yang dicapai dalarn wadah
persatuan itu jauh dari lengkap. Karena di situ baru ditemukan bagian kecil dari
kebulatan kebahagiaan yang besar dan mendalam.
(e) Kesatuan
Iman keagamaan. Di antara kesatuan sosiologis, kesatuan iman keagamaan
adalah kesatuan yang tertinggi yang dapat dikenal manusia di dunia ini. Karena
dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dan dirinya saja
melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam
dengan sesuatu yang tertinggi (ultimate) yang dipercayai bersama. Di sini
manusia menjumpai sesamanya dal am suatu “kepercayaan bersama” (een
gemeenschappelijk geloven) di mana semua dari masing-masing dan bersama-sama
menyerahkan diri kepada “yang tertinggi” dan dalam mengalami kebersamaannya
dalam iman bersama merasakan kebahagiaan yang tertinggi. Maka dalam persatuan ini
manusia selalu mencarii sesamanya yang seiman, karena hanya di dalam jenis
kesatuan yang seiman, manusia dapat mengungkapkan perasaan yang terdalam dan
terkuat. Dalam persatuan itu dimungkinkan inhimitas yang terdalam di
mana masing-masing mengalami kesendiriannya sedalam-dalamnya dalam
persentuhannya serta kemanunggalannya dengan “yang tertinggi” dan yang tersuci
secara bersama-sama. Bila “yang tertinggi” diimani sebagai “Kasih” itu sendiri
yang mengasihi mereka maka kesatuan iman itu menjalin kesatuan bentuk baru
yaitu kesatuan kasih. Dalam agama yang mengajarkan dan mengimani bahwa
Tuhan itu KASIH yang mengasihi manusia dengan kasih yang tanpa pamrih, yang
dibuktikan dengan pengorbanan-Nya yang tak ternilai (iman sedalam itu diajarkan
misalnya dalam Agama Kristen) maka kesatuan kasih antar umat yang seiman itu
terungkap juga dalam masyarakat luas dalam perbuatan-perbuatan karitatif yang
tanpa pamrih. Bagi golongan luar yang tidak memiliki kepercayaan sebesar itu
adalah hal yang sulit, bahkan mustahil tidak masuk akal bahwa ada orang yang
mau berbuat sesuatu untuk orang lain tanpa mencari kepentingan sedikit pun bagi
diri sendiri.
Kesatuan iman dan kesatuan kasih yang
diajarkan dan dipupuk, diperkembangkan oleh agama termasuk suatu misteri yang
tidak dapat dipahami secara tuntas oleh manusia. Di dalam relasi kasih antara
manusia — Tuhan (KASIH) — sesama manusia —, terdapat unsur kekuatan yang tak
dapat dijangkau oleh daya tangkap manusia, yaitu unsur kasih ilahi. Kalau
demikian maka “kepercayaan bersama” (gemeenschappelijk geloven) yang Setinggi
itu disebut kepercayaan transendental, sedangkan kepercayaan yang tidak
sejauh itu masuk kategori nontransendental atau biasa saja. Pembedaan itu bagi
sosiologi tidak begitu penting; yang terpenting ialah eksplisitasinya dalam
bentuk kemasyarakatan, tak peduli apakah bentuk itu bersifat permanen ataukah
hanya sementara dan berubah-ubah[17].
Sebab kalau demikian bentuk itu dapat diteliti dan dipélajari secara
sosiologis.
Pada masa permulaan di mana umat suatu
agama masih merupakan kelompok kecil, dalam lingkup daerah yang relatif sempit,
maka rasa kemesraan (intimitas) masih mudah dihayati bersama. Khususnya hal itu
tampak sebagai fakta sosiologis dalam perayaan ibadat (liturgis) seperti
pengadaan korban bersama, doa bersama, pelajaran agama; kesemuanya terjadi
dalam satuan-satuan sosiologis yang kecil.
Tetapi dalam masa-masa berikutnya
jumlah penganutnya bertambah melampaui batas-batas kesukuan dan kedaerahan.
Lingkaran kesatuannya membesar dan muncullah berturut-turut jemaat nasional,
internasional dan mondial. Adalah hal yang biasa bahwa dalam proses
perkembangan pada skala etnis dari geografis itu tumbuh pula proses-proses
pengkhususan (diferensiasi) dan perpecahan (separasi). Sebab
semakin besar kesatuannya, semakin luas kebinnekaannya, akan semakin kendor
pula rasa intimitas dan kemanunggalannya, meskipun ada kesadaran dalam iman
bahwa mereka semua adalah satu. Namun kesadaran akan kesatuan yang demikian itu
lama kelamaan akan luntur karena tidak mendapat umpan balik yang men
eguhkannya melalui kontak dan pertemuan berkala yang mesra. Dalam keadaan
kosong dan terasing satu sama lain yang membawa serta rasa kesepian dan rasa
kurang aman, yang diperkuat dengan munculnya arus urbanisasi dan fenomena
industrialisasi maka adalah hal yang manusiawi kalau golongan yang merasa tidak
puas itu mencari jalan keluar untuk mengatasinya.
Maka muncullah komunitas-komunitas
keagamaan dan orang-orang yang mau meningkatkan penghayatan imannya bagi
kepentingan kesatuannya dan demi pengamalannya bagi masyarakat luas di
sekitarnya. Kalau timbulnya komunitas-komunitas religius di atas membawa akibat
positif bagi kepentingan kesatuan agarna umumnya, sebaliknya datangnya sekte-sekte
baru tidak selalu demikian halnya, karena sekte-sekte ini dengan segala
maksud baiknya akhirnya mengarah kepada proses pemisahan diri dan induk
kesatuan agama. Perpecahan menjadi kenyataan konkret waktu golongan jenis itu
menyatakan mau hidup sendiri lepas dan kandungan induknya atas dasar-dasar baru
seperti: prinsip penafsiran tersendiri terhadap sumber ajaran iman dan sistem
organisasi yang tersendiri pula.
Sejarah perkembangan agama-agama
mencatat malahan pemisahan-pemisahan yang besar. Contohnya dapat diambil dari
Agama Kristen yang dikenal dengan istilah skisma Timur (abad ke-11) dan skisma
Barat (abad ke-16).
Tetapi sejarah juga mencatat adanya proses reintegrasi atau persatuan kembali, terutama dalam Agama Kristen, yang juga disebut gerakan ekumene. Khususnya dalam abad ke-20 ini para penganut Agama Kristen memperoleh kesadaran lebih jelas bahwa menurut kehendak pendirinya mereka harus bersatu. “Semoga mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:22). Tetapi baiklah diketahui pula bahwa keinginan untuk bersatu (hidup rukun dan damai) tidak saja dengan saudara-saudara Seiman, tetapi juga dengan golongan lain agama, dewasa ini mulai berkembang pula. Hasil dan dialog antar umat beragama hingga saat ini memang belum dapat dikatakan memuaskan. Namun hal itu tidak mengurangi integratif agama, yaitu memupuk dan membina persaudaraan antar umat manusia yang tercerai-berai.
Tetapi sejarah juga mencatat adanya proses reintegrasi atau persatuan kembali, terutama dalam Agama Kristen, yang juga disebut gerakan ekumene. Khususnya dalam abad ke-20 ini para penganut Agama Kristen memperoleh kesadaran lebih jelas bahwa menurut kehendak pendirinya mereka harus bersatu. “Semoga mereka menjadi satu sama seperti Kita adalah satu” (Yoh 17:22). Tetapi baiklah diketahui pula bahwa keinginan untuk bersatu (hidup rukun dan damai) tidak saja dengan saudara-saudara Seiman, tetapi juga dengan golongan lain agama, dewasa ini mulai berkembang pula. Hasil dan dialog antar umat beragama hingga saat ini memang belum dapat dikatakan memuaskan. Namun hal itu tidak mengurangi integratif agama, yaitu memupuk dan membina persaudaraan antar umat manusia yang tercerai-berai.
2.3.5. Fungsi
transformatif
Dalam uraian di atas telah kita soroti
fungsi pengawasan (kontrol) dan fungsi kenabian (profetis dan kritis) agama. Di
sini akan disinggung sebentar fungsi transformatif agama, karena fungsi ini menurut
pengertiannya berbeda dengan pengertian pengawasan dan kenabian. Kata
transformatif berasal dan kata Latin “transformare”,
artinya mengubah bentuk. Jadi fungsi transformatif (yang dilakukan kepada
agama) berarti mengubah bentuk kehidupan masyarakat lama dalam bentuk kehidupan
baru. ini berarti pula mengganti nilai-nilai lama dengan rnenanamkan nilai-nilai
baru.
Berdasarkan pengamatan analitis
diketahui bahwa kehidupan masyarakat lama dibentuk oleh nilai-nilai adat yang
diwariskan dan angkatan sebelumnya yang berupa pola-pola berfikir, merasa serta
pola-pola kelakuan yang harus ditaati. Nilai-nilai itulah yang membentuk
kepribadian atau identitas manusia serta masyarakatnya menurut tipologi adat
tertentu. Apabila nilai-nilai sosial di atas ditimbang dan dinilai menurut
ukuran baru yang dipakai agama-agama baru yang masuk dalam lingkungan
masyarakat adat itu, ternyata hasilnya menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial
tersebut tidak semuanya bersifat manusiawi (wajar). Sebagian dinyatakan bertentangan
dengan kaidah-kaidah kemanusiaan yang wajar. Maka transformasi berarti juga mengubah
kesetiaan manusia adat kepada nilai-nilai adat yang kurang manusiawi dan
membentuk kepribadian manusia yang ideal. Bersamaan dengan itu transformasi
berarti pula membina dan mcngembangkan nilai-nilai sosial adat yang pada
intinya baik dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih luas.
Baiklah dikemukakan di sini sejumlah
nilai sosial adat yang telah mengkristal dalam pola-pola berfikir dan
berkelakuan yang oleh agama umumnya dipandang kurang manusiawi.
Yang melekat pada manusia umumnya.
Misalnya kegiatan berfikir dan bertindak yang semata-mata dikendalikan oleh
kekuatan batin yang disebut “egoisme”, di mana secara radikal tidak ada tempat
untuk pengertian berkorban demi kepentingan orang lain tanpa pamrih. Tidak
adanya pemahaman tersebut sering menimbulkan akibat yang merugikan masyarakat
luas. Misalnya suatu kelompok kemanusiaan mendirikan poliklinik atau rumah
sakit di suatu wilayah.
Apa yang dialami kelompok itu? Kelompok
itu mendapat reaksi hebat. Masyarakat sekitarnya berupaya menggagalkan usaha
itu, karena menurut pendapat mereka tidak mungkin orang (dalam hal ini kelompok
kemanusiaan itu) berbuat sesuatu tanpa harapan akan mendapat keuntungan bagi
dirinya sendiri atau golongannya. Mentalitas yang masih ada di mana-mana ialah:
membalas dendam orang yang telah berbuat salah kepadanya, misalnya pepatah
“utang pati nyaur pati” (nyawa ganti nyawa); sikap mental lain yang tercela
ialah “membenci musuhnya”, karena sama sekali tidak masuk akal bahwa agama
mengajarkan orang harus mengasihi musuhnya. Masih dapat ditambahkan di sini
sikap mental yang intinya dapat dikembalikan kepada rasa kurang harga diri, tak
berani mengambil sikap tanggung jawab sendiri, mengelakkan pertanggungjawaban
kepada orang lain entah kepada atasan yang memberikan perintah (di sini sikap
mental yang berorientasi ke atas), entah kepada rekan sejawat. Sehubungan
dengan itu masih dapat diketengahkan sikap “narima” yaitu menyerah kepada
nasib, tetapi jika ada usaha memperbaiki nasib lalu mengambil jalan “pendek”,
dengan mencari keuntungan tanpa melalui jerih payah sendiri terlebih dulu.
Misalnya, tindak korup dan Semacamnya.
Nilai-nilai sosial yang kurang
manusiawi yang menguasai struktur masyarakat. Beberapa data sekedar untuk
contoh. Antara lain: Masyarakat adat pada umumnya tersusun dan kelas-kelas
(kasta). Keadaan Seperti ini menguntungkan golongan ningrat dan merugikan
golongan orang biasa serta memungkinkan perlakuan yang kurang manusiawi dan
golongan berkuasa terhadap bawahan yang lemah. Dan sumber itu muncul fenomena
perbudakan dalam sejarah manusia. Kemiskinan struktural diikuti fenomena
ketidaksehatan struktural. Pimpinan masyarakat beserta sistem peraturannya
“membenarkan” dan melestarikan ketidakadilan yang akibat negatifnya menimpa
orang kecil, seperti penindasan dan penghisapan terhadap bawahan. itu semua
dapat dirangkum dalam satu kalimat, bahwa hak-hak azasi manusia dalam
masyarakat adat belum berlaku sebagaimana mestinya.
Bahwa agama-agama diharapkan semua
pihak yang menyadari masalahnya secara mendalam untuk mengadakan perubahan
dalam hal-hal yang disebut di atas tidak perlu pembuktian yang panjang lebar.
Khususnya instansi keagamaan sendiri memiliki kesadaran yang mendalam bahwa
mereka mendapat tugas dan pendirinya untuk mengubah dunia. Tugas
transformatif itu bagi setiap agama tercantum dalam ajarannya, terutama agama-agama
modern yang juga menamakan dirinya agama universal. Tugas itu nampak lebih
jelas dalarn agama yang mengajarkan bahwa kebenaran yang diajarkannya itu
dinyatakan sebagai “garam dunia” atau pula “ragi dunia” (Mat 5:13 dan Mat
13:33); juga dengan tingkapan “terang dunia” (Mat 5:14). Ungkapan dengan benda lambang garam, ragi, terang,
sudah jelas dimaksudkan untuk mengubah wajah dunia. Apakah penunaian tugas
transformatif itu telah menghasilkan buah yang memuaskan adalah soal lain.
Namun sebagai bukti orang dapat menelusuri sejarah dunia.
2.4. Pengaruh agama terhadap stratifikasi sosial
Gambaran yang hendak dicari dalam
pengkajian ini adalah suatu gambaran umum tentang perpautan pengaruh agama
dengan lapisan-lapisan masyarakat dan pengaruh lapisan-lapisan masyarakat
terhadap agama. Dikatakan hanya gambaran umum, karena pengkauan ini tidak
bertolak dan penelitian ilmiah yang lazim diadakan para ahli sosiologi untuk
membuktikan suatu teori atau hipotesis, tetapi hanya didasarkan atas pengamatan
kasar sehari-hari dan atas hasil refleksi sosiologi Agama yang nilai ilmiahnya
masih bersifat nonempiris dalam arti sempit, karena hanya diangkat dan pengamatan yang
umum.
Dalam kaitan ini perlu diingat kembali
ajaran Sosiologi Umum tentang arti dan isi pengertian stratifikasi sosial dan
lapisan sosial. Yang dimaksud dengan stratifikasi sosial (social stratification) ialah susunan berbagai kedudukan sosial
menurut tinggi rendahnya dalam masyarakat. Seorang pengamat menggambarkan
masyarakat sebagai suatu tangga yang berdiri yang mempunyai anak tangga-anak
tangga dari bawah ke atas. Stratifikasi sosial itu tidak sama antara masyarakat
yang satu dan yang lain, karena setiap masyarakat mempunyai stratifikasi
sosialnya sendiri. Kalau jarak antara tangga yang satu dengan anak tangga di
atasnya ditarik garis horisontal maka terdapat suatu ruang.
Ruang itu disebut lapisan sosial. Dalam
ruang itu tinggal orang-orang yang mempunyai kedudukan setingkat. Jadi lapisan
sosial (social stratum) adalah
keseluruhan orang yang berkeduduk an sosial setingkat. Jikalau anggota-anggota
lapisan sosial itu merasa din bersatu dan menyadani kedudukannya yang setingkat
maka timbullah sebuah kelas sosial (social class).
Di samping itu seorang pengamat masih
dapat membuat penggolongan anggota masyarakat dalam satuan-satuan kategorial
(social category). Pembuatan kategori sosial memang tidak dibuat berdasar atas
kedudukan sosial yang sama yang disadari bersama oleh para anggotaflya seperti
dalam hal lapisan sosial, tetapi menurut akal dan keinginan si pengamat sendiri.
Satu-satunya kriterium yang dipakai untuk penggolongan kategorial ialah ciri
yang sama yang tidak mereka perhatikan namun secara khusus diperhatik an oleh
pengamat. Misalnya ciri yang sama menurut jenis kelamin: golongan pria,
golongan wanita; pendidikan: golongan cendekia dan golongan buta huruf; ciri
yang sama dalam usia: golongan tua dan golongan muda; ciri yang sama dalam hal
pekerjaan golongan petani, golongan buruh, golongan pegawai negeri, golongan
tentara, dan lain sebagainya. Ini semua dilakukan si pengamat untuk kepentingan
penelitian. Ciri khusus mana yang sedang diperhatikan tergantung dan si
pengamat sendiri.
Masyarakat bukan saja suatu struktur
sosial stabil, tetapi suatu struktur yang berkembang dan berubah terus-menerus
sebagai akibat dari kekuatan hukum masyarakat yang disebut proses sosial dan
perubahan sosial entah dalam ritme yang cepat entah lambat. Laju proses sosial
(social process) dan perubahan sosial
(social change) itu sendini tidak
rerlepas dan perubahan sosio-kultural, bahkan justru karena dipengaruhi secara
langsung oleh sosio-budaya, teristimewa apabila kebudayaan asli bertemu dengan
kebudayaan asing. Dan pelajaran Sosiologi Umum kita mengetahui bahwa dan antara
unsur-unsur kebudayaan agama memainkan peranan dominan atas masyarakat baik itu
agama asli maupun agama asing. Sebagaimana de fakto unsur kebudayaan nonreligius
mempengaruhi dan mengubah masyarakat melalui lapisan-lapisan sosial, demikian
pula agama sebagai unsur kebudayaan religius hanya dapat masuk dan meresap
dalam masyarakat melalui lapisan-lapisan masyarakat.
Yang menjadi pokok persoalan dalam
pengkajian ini ialah: Apakah ada perbedaan yang berarti dalam cara menanggapi
dan menghayati iman (ajaran) agama oleh lapisan-lapisan sosial dan
satuan-satuan kategorial yang ada dalam masyarakat.
Atau dengan kata lain, bagaimana
konfigurasi variabel tanggapan lapisan-lapisan sosial itu terhadap tiga
tantangan (“titik putus” atau “breaki ng points”) ialah: kelangkaan,
ketidakpastian, dan ketidakmampuan manusia, yang muncul dan dunia
supra-empiris.
Persoalan di atas amat rnenarik,
karena jawaban akan mempunyai relevansi baik bagi instansi keagamaan maupun
instansi non-keagamaan. Persoalan yang perlu dijawab muncul dan kenyataan bahwa
di satu pihak pendiri agama serta penyebar-penyebarnya berasal dan
lapisan sosial tertentu; di lain pihak pentobat-pentobatnya atau
penganut-penganut yang muncul kemudian hidup dalam situasi dan kondisi yang
berbeda-beda karena berasal dan lapisan sosial yang berbeda-beda pula. Setiap keseluruhan
orang dalam suatu tangga masyarakat mempunyai kedudukan yang sama dalam satuan
itu tetapi berbeda dengan keseluruhan orang yang tinggal dalam tangga
masyarakat yang lain baik di bawah maupun yang ada di atasnya. Dan pengalaman
dapat dikatakan, bahwa dari kedudukan (status) sosial yang berbeda-beda
dan fungsi yang berbeda-beda pula, sejajan dengan pendidikan dan
keahlian untuk lapisan yang satu dengan yang lain, muncul kebutuhan yang berbeda-beda,
gaya dan pandangan hidup yang berbeda, cara berpikir dan motivasi yang
berbeda dalam menanggapi dan menghayati tuntutan agama. Misalnya mengenai cita-cita
mengganti Pancasila Sebagai dasar negara dengan Syariat Islam sebagai dasar
negara, ada golongan yang mendukung dan ada golongan yang menentang. Demikian
pula terhadap gerakan awamisasi tugas-tugas keagamaan terdapat sikap yang pro
dan yang kontra.
Karena langkanya karangan terbaru
mengenai masalah yang sedang kita bicarakan di atas maka sejumlah ahli
sosiologi masih menggunakan bahan-bahan dan Durkheim, Weber dan Malinowski
dalam masalah yang sama. Apalagi untuk Indonesia masalah ini belum diselidiki
secara ilmiah sehingga sumber ilmiah (teoretis) sebagai titik tolak dan
pendorong masih perlu cari dari buku-buku luar negeri, khususnya dan Eropa dan
Amerika Serikat.
Di bawah ini akan dikemukakan beberapa
pandangan mengenai pen garuh agama atas lapisan-lapisan sosial dan sebaliknya.
(1)
Golongan petani.
Sikap mental golongan petani terbentuk oleh pengaruh situasi
dan kondisi di mana mereka hidup; antara lain: faktor kumatologis dan
hidrologis seperti musim dingin dan musim panas, yang sejalan dengan musim
kering dan musim penghujan; faktor flora dan fauna seperti tanaman padi,
sayuran, palawija dll. yang penggarapannya dibantu tenaga ternak yang
dipelihara (kuda, sapi, kerbau dll.). Maka seperti dikatakan WEBER kaum
petani lebih terlibat dalam proses organik dan peristiwa alam yang tak
terhitung jumlahnya dan siklus yang satu ke siklus berikutnya dalam ritme yang
tidak dipercepat atau diperlambat. Hukum cocok tanam tidak dapat diperhitungkan
secermat seperti pada ekonomi pemasaran, maka kaum petani lebih cenderung untuk
mendayagunakan kekuatan magi
guna mempengaruhi kekuatan kosmos yang irrasional. Itulah sebabnya kaum petani
pada umumnya rnempunyai kecenderungan religius Iebih besar daripada
kelompok manusia dan lapisan sosial lain.
Semangat religius yang
hidup dalam golongan petani itu nampak jelas dalam pengadaan sejumlah pesta
pertanian pada peristiwa penting. Misalnya kaum petani di Indonesia mengadakan
selamatan pada waktu menanam benih dan pada waktu panen, tidak saja pada zaman
pra-industri tetapi juga pada zarnan sekarang ini. Orang Jawa menyebut upacara ini
“wiwit” (mulai pernotongan padi) yang diadakan untuk menghormati Dewi Sri, yang
dipercayai sebagai pelindung kesuburan sawah dan ladang. Jalannya upacara dan
jenis korban yang dipakai serta doa yang diucapkan bervariasi menurut tempatnya[18].
Pesta pertanian (panen)
yang serupa terdapat pula pada bangsa Yahudi zaman bahari sebagaimana tercatat
dalam Kitab Suci mereka (baca Perjanjian Lama). Mereka mengadakan “massot” atau
pesta Roti Tak Beragi atau Pesta Paska. Pesta itu dirayakan
selama 7 hari dan selama itu mereka makan roti tak beragi yang dibuat dan bulir
yang baru dipetik sebagai tanda permulaan baru. Di samping “massot” masih ada
pesta yang disebut “sabu’ot” dan “asif”. Perayaan “sabu’ot” atau Pesta
Berkas Gandum atau Pesta Menuai, diadakan 7 minggu setelah “massot”
dan ditutup dengan “asif” atau Pesta Buah[19].
Maka dan pengamatan yang
kurang mendalam ini dapat ditarik beberapa kesimpulan yang masih bersifat
hipotesis sebagai berikut.
-
Golongan petani mempunyai jiwa religius yang relatif lebih
besar dan jalannya hidup keagamaan meneka lebih stabil. Penyampaian ajaran
agama kepada mereka Iebih sesuai dengan cara yang sederhana, rnenghindarkan
teori-teori abstrak (seperti Summa theologia atau teologi Pembebasan), tetapi
dengan lambang-lambang atau perumparnaan yang diambil dari dunia pertanian
seperti yang dilakukan Kristus di Palestina, yaitu perumpamaan seorang penabur
benih, penumpamaan biji sesawi, penumpamaan kebun anggur, penumpamaan pohon
ana, perumpamaan ragi yang dicampur dengan tepung terigu, perumpamaan garam dan
ragi. Untuk petani di pulau Madura misalnya suatu teologi “kerapan sapi” akan
lebih cocok daripada pelajaran dan buku katekismus. Tetapi untuk sebagian
penduduknya yang mata pencahariannya sebagai nelayan (pencari ikan) maka
“teoiogi penangkapan ikan” akan dirasa lebih sesuai bagi golongan itu.
-
Masalah adaptasi dan inkulturasi atau pemribumian agama
yang berasal dari luar negeri, khususnya yang menyangkut prioritas langkah
mulainya dari soal bagaimananya, jawabannya akan ditemukan lebih tepat dari
kalangan para petani di pedesaan. Di situ soal waktu misalnya bukanlah
merupakan “masalah uang” seperti pada golongan pedagang, tetapi dianggap
sebagai “masalah pertumbuhan”.
-
Pernyataan Weber yang diikuti O’Dea bahwa kaum petani sebagai
kelas tidak suka menjadi penyebar agama yang aktif, kalau tidak diancam dengan
perbudakan atau dirampas harta miliknya[20],
ternyata tidak berlaku bagi kaum petani di Indonesia. Di sini ternyata tidak
sedikit imam pribumi, kyai, pendeta, para katekis dan mubaligh berasal dari
golongan petani.
(2) Golongan
pengrajin dan pedagang kecil
Golongan ini hidup dalam
situasi dan kondisi yang berbeda dengan golongan petani. Golongan ini kurang
bergumul dengan permainan hukum alam (pertanian). Hidup mereka lebih didasarkan
atas landasan ekonomi yang memerlukan perhitungan rasional. Tuntutan
hidup yang mereka hadapi dalam situasi dan kondisi nonagraris itu mereka
tanggapi dengan cara dan gaya tensendiri: bukan menyandarkan diri pada
kedermawanan alam yang datang lambat dan tidak menentu, melainkan dengan
penencanaan yang teliti dan pengarahan yang pasti. Menurut Weber yang
mempelajari sejarah agama-agama dengan cara yang berlaku pada zamannya — (yaitu
Agama Kristen, Yahudi, Islam, Hindu, Buddha, Konfusianisme dan Taoisme)
golongan pengrajin dan pedagang kecil suka menerima pandangan hidup yang
mencakup etika pembalasan[21].
Mereka menaati kaidah moral dari pola sopan santun dan percaya bahwa
pekerjaan yang baik yang dilak ukan dengan tekun dan teliti akan membawa balas
jasa yang setimpal. Namun akhirnya agama yang mereka pilih adalah agama etis
yang rasional. Dengan kata Lain, unsur emosi tidak memainkan peranan yang
terpenting.
(3) Golongan
pedagang besar.
Kategori orang-orang dan
lapisan ini menunjukkan sikap mental yang lain lagi terhadap agama. Pada
umumnya golongan ini mempunyai jiwa yang jauh dari gagasan tentang imbalan (compensation) moral, seperti yang
dimiliki tingkat menengah bawah. Sepanjang sejarah manusia kelas ini dikuasai oleh
orientasi keduniawian (mundane) yang menutup kecenderungannya kepada
agama yang profetis dan etis. Semakin besar kemewahan mereka semakin kecil
hasrat mereka terhadap agama yang mengarah kepada dunia lain. Dari pengalaman
yang dapat dikumpulkan dapat dikatakan pula bahwa jika mereka berhasil ditarik
masuk salah satu agama, perhatian mereka kepada masalah pendalaman iman melalui
pengajaran agama dan peribadatan, kehadiran mereka agak langka. Namun sebagai
gantinya mereka (meski jumlahnya kecil) tidak berkeberatan memberikan bantuan
uang atau barang untuk kemajuan agama yang mereka anut. Selanjutnya kegiatan
yang diperlukan untuk pengembangan agama mereka serahkan kepada orang lain.
(4) Golongan
karyawan.
Istilah “golongan
karyawan” diturunkan di sini dengan maksud untuk mengikuti khazanah
peristilahan yang berlaku sekarang dalam masyarakat Indonesia. Dalam pengertian
ini termasuk semua pegawai negeri sipil, dan dibedakan pegawai dan angkatan
bersenjata (ABRI) di satu pihak, dan pegawai perusahaan swasta di pihak lain.
Weber menyebut kelas orang-orang ini dengan istilah “kaum birokrat” (bureaucracy)
dan dikenakan fenomena yang sama baik di masyarakat Barat maupun di masyarakat
lain yang telah memiliki peradaban dunia.
Sangat menarik adalah
pernyataan Weber yang mengambil data-data dan pengamatannya di Cina, khususnya
Agama Konfusianisme, bahwa kecenderungan religius kaum birokrat bersifat “serba
mencari untung dan enak” (opportunistic and utilitarian). Di sana terdapat
ajaran hasil persetujuan bersama yang mengandung kekosongan mutlak akan
perasaan dan kebutuhan akan keselamatan (salvation) atau landasan transenden untuk
kesusilaan (ethic). Agama perseorangan yang berdasarkan perasaan pun cenderung
disingkirkan. Memang di negara itu Weber menjumpai upacara untuk menghormati
arwah nenek moyang dan orang tua-tua, dan itu memang dijunjung tinggi oleh para
penjabat pemerintahan, tetapi di situ sungguh terasa adanya jarak tertentu dan
roh-roh[22].
Pernyataan Weber di atas
cukup mengejutkan, namun untuk masyarakat Indonesia, terutama golongan karyawan
umumnya, ternyata harus dikatakan berdasarkan pengalaman umum bahwa jiwa yang
kosong akan kerohanian (yang transenden) tidak ditemukan. Kategori pegawai
negeri tidak dapat dikatakan berjiwa materialistis, karena semangat keagamaan
masih cukup tebal. Hal itu terlihat dalam pertemuan-pertemuan nonreligius
seperti pada rapat-rapat dan perayaan nasional di mana salam keagamaan — bagi
umat Islam “Salam alaikum” — diucapkan. Bahkan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha
Esa pun tidak ketinggalan.
Terhadap praktek
keagamaan yang berbentuk peribadatan atau perayaan liturgis golongan karya pada
umumnya bersikap formalistis. Bentuk yuridis formal yang dalam Agama
Islam sangat dipentingkan ternyata masih cukup ditaati. Namun frekuensi
kehadiran beribadat dalam rumah ibadat (masjid atau gereja) dari golongan karya
tingkat rendah lebih tinggi daripada pegawai negeri tingkat tinggi. Bagi yang
disebut terakhir ini, khususnya yang beragama Islam, kehadiran mereka hanya
terbatas pada beberapa Hari Raya saja, sedangkan kebaktian wajib pada hari-hari
Jumat mereka tinggalkan. Hal sedemikian itu tidak berlaku bagi karyawan yang
beragama Kristen dan Katolik, karena jumlahnya memang sedikit. Namun kelihatan juga
lahwa di antara mereka pada umumnya terpengaruh oleh sikap yuridis fonmalistis
terhadap tuntuan agama, dan itu lebih kentara lagi jika dibandingkan dengan
kelompok yang bukan pegawai negeri.
(5) Golongan
kaum buruh
Yang dimaksud dengan
golongan tersebut ialah mereka yang bekerja dalam industri atau perusahaan
modern.
Dalam abad ke-18 dan
ke-19 kaum buruh di Eropa mengalami nasib pahit karena perlakuan yang tidak
manusiawi dan pihak kaum majikan. Karl Marx menamakan perlakuan itu sebagai
“penghisapan manusia oleh manusia”, dari golongan ini dimasukkan dalam kelas
proletariat, yaitu kelas yang tidak diikutsertakan dalam kehidupan masyarakat,
disingkirkan dan
sistem sosial yang berlaku. Mereka dianggap benguna bagi masyarakat sejauh mereka punya tugas melahirkan anak (proles) demi kelangsungan umat manusia. Marx rnenuduh agama sebagai suatu instansi yang mengasingkan kaum proletar dan problematika hidup di dunia sekarang mi den gan membuat mereka terhius dan tak sadar akan penderitaannya, dan rnengalihkan perhatian mereka kepada kebahagiaan di dunia akhirat. Namun demikian tidak dapat dimungkiri bahwa Marx sendiri yakin kelas proletar ini membutuhkan suatu agama, minimal suatu tiruan agama sebagai pengganti agama tradisional. Harus diakui pula bahwa Marx herhasil menciptakan sejenis agama baru yang menjanjikan penebusan (pembebasan) dari penderitaan. Apa yang disebut marxisme yang dianut oleh sebagian kaum buruh tidak lain adalah sernacam agama sekular yang mengusahakan pembebasan. Jadi dapat disimpulkan hahwa kelas buruh industri khususnya di Eropa sebelum Perang Dunia II mempunyai kecenderungan dasar kepada agama pembehasan. Apalagi agama pembebasan yang diinginkan itu tidak sempat datang, mereka mau menerima gantinya.
sistem sosial yang berlaku. Mereka dianggap benguna bagi masyarakat sejauh mereka punya tugas melahirkan anak (proles) demi kelangsungan umat manusia. Marx rnenuduh agama sebagai suatu instansi yang mengasingkan kaum proletar dan problematika hidup di dunia sekarang mi den gan membuat mereka terhius dan tak sadar akan penderitaannya, dan rnengalihkan perhatian mereka kepada kebahagiaan di dunia akhirat. Namun demikian tidak dapat dimungkiri bahwa Marx sendiri yakin kelas proletar ini membutuhkan suatu agama, minimal suatu tiruan agama sebagai pengganti agama tradisional. Harus diakui pula bahwa Marx herhasil menciptakan sejenis agama baru yang menjanjikan penebusan (pembebasan) dari penderitaan. Apa yang disebut marxisme yang dianut oleh sebagian kaum buruh tidak lain adalah sernacam agama sekular yang mengusahakan pembebasan. Jadi dapat disimpulkan hahwa kelas buruh industri khususnya di Eropa sebelum Perang Dunia II mempunyai kecenderungan dasar kepada agama pembehasan. Apalagi agama pembebasan yang diinginkan itu tidak sempat datang, mereka mau menerima gantinya.
Agama pembebasan buatan
Marx ternyata berhasil diekspor dari be ua asalnya yaitu Eropa. Bukti konkret
dapat dilihat di Republik Rakyat Cina, Vietnam, Meksiko dll. Bahkan di bumi
Indonesia sendiri pernah hidup secara resmi sampai dengan 30 September 1965,
yang disebut dengan nama Partai Komunis, dan yang kehadirannya membahayakan
Pancasila.
Kalau dipertanyakan
mengapa pada sejumlah bangsa di luar Eropa yang waktu itu belum mengenal
industri besar (modern), marxisme dapat bercokol, jawabannya tidak sukar
dicari. Di negara-negara yang demikian itu bukanlah sistem industri, melainkan
sistem pemerintahan feodal yang membuat sehagian anggota masyarakat
menderita. Dan penderitaan itu menjadi semakin berat dan meluas meliputi
seluruh penduduk dengan datangnya sistem penjajahan dari bangsa-bangsa
Eropa yang sudah maju. Maka muncullah kelas baru yang disebut (1) golongan
tertindas dan (2) gol ngan miskin. Dua golongan macam tersebut mempunyai titik
persamaan, terutama mengenai sikap mentalnya terhadap agama.
(.) Pada umumnya golongan
teruindas dan golongan miskin hidup den gan sikap mental yang kurang
lebih sama dengan kaum buruh di Eropa abad yang lalu: cenderung kepada agama
pembebasan. Jika agama yang diharapkan tidak datang, mereka bersedia
menerima gantinya, sekalipun hanya berupa ideologi pembebasan, atau suatu
pandangan hidup yang secara rasional memberikan kepastian akan adanya
pembalasan, bila mungkin sekarang ini juga, tetapi kalau tidak,
sekurang-kurangnya di dunia lain. Dengan kata lain golongan itu merasa butuh etika
pembehasan. Akhirnya dalam proses pemikirannya persoalan yang terpenting
bukan lagi “siapa dan dari mana” yang mendatangkan kesengsaraan ini, tetapi siapa
yang dapat menyingkirkan kesengsaraan ini. Tidak penting bagi mereka apakah
pembebasan itu datang dan dunia mi ataukah dan dunia lain. Itu soal sekunder.
Tetapi dan pengalaman mereka sendiri mereka menyadari bahwa manusia hanya
makhluk yang serba terbatas kernampuannya, tidak sanggup mengatasi segala
rintangan. Maka jika ada agama ataupun idelogi yang menawarkan kepadanya pembebasan
dari penderitaan ini, mereka tidak akan menolaknya.
Sayangnya bahwa agama-agama
modern sangat lamban menanggapi kebutuhan dasar dan golongan tersebut di atas.
Sebaliknya kaum marxis (komunis) lebih cepat mengetahui dan menjawab
kebutuhan kelas ini bukan sebagai perorangan tetapi sebagai kelompok
kategorial. Maka kalau dipertanyakan siapa yang paling depan menjadi pembela
dan pembebas kelas manusia yang tertindas, jawaban yang paling nyaring datang
dari kaum marxis. Dan jawahan ini memang ditopang oleh fakta-fakta konkret
keberhasilan mereka dalam melaksanakannya dan tingkat nasional hingga tingkat
internasional. Orang tidak perlu menjadi penganut marxisme untuk mengakui bahwa
sejak tampilnya Marx pada abad yang lalu hingga dewasa ini keadaan kaum buruh
dan kaum tertindas sebagai kategori sosial dalam tangga masyarakat telah merasakan
perbaikan yang berarti. Jadi perbaikan nasib mereka sebagai kelompok
kategorial yang tidak datang dari instansi keagamaan, melainkan secara langsung
dari ideologi marxisrne. Sehubungan dengan rnasalah pembebasan golongan umat manusia
yang tertekan oleh penderitaan maka instansi agarna perlu memikirkan
kembali dan bertanya lagi kepada diri sendiri apakah dia telah menjalankan panggilannya selaras dengan maksud pendirinya, karena tiap-tiap agama ditugaskan bukan untuk rnenyembuhkan onang yang sehat, melainkan orang yang sakit.
kembali dan bertanya lagi kepada diri sendiri apakah dia telah menjalankan panggilannya selaras dengan maksud pendirinya, karena tiap-tiap agama ditugaskan bukan untuk rnenyembuhkan onang yang sehat, melainkan orang yang sakit.
Dari sejarah
perkembangan agama kita mengerti bahwa bangsa Yahudi pada zaman Perjanjian lama
menyadarkan diri sebagai bangsa yang beruang kali ditindas dan untuk sekian
kalinya merasa tidak mampu membebaskan diri kecuali dengan kekuatan Tuhan; maka
dari situasi itu muncul gagasan mesianisme yang disusul dengan gerakan
pembebasan (messianic movements).
Pada intinya gerakan mesianisme percaya dan mengharapkan kedatangan seorang juru selamat (Mesias) yang akan
mendirikan Kerajaan Allah di bumi ini sebagai kekuatan yang sanggup memberikan
pembebasan kepada semua jenis kategori umat manusia dan penindasan dan penderitaan.
Dalam agama Kristen para penganutnya menunggu kedatangan kembali sang Messias
pada akhir zaman. Dan beberapa sekte (antara lain aliran Chilianisme) harus
mengakui kekecewaannya karena tebakan mengenai waktu berakhirnya dunia ini
selalu salah. Walaupun gerakan mesianisme itu pada awal mulanya bersifat
religitis murni, namun pada masa kemudian harus diakui bahwa gerakan itu
berubah menjadi gerakan politik, atau paling sedikit berorientasi pada
politik. Apa yang disebut gerakan “Ratu Adil” yang menurut masyarakat
Jawa berasal dari raja Jayabaya dari Kediri, merupakan suatu contoh terdekat
bagi kita.
(6)
Sebaiknya
kelas yang beruntung
Golongan elite dan
hartawan — memiliki sikap mental yang lain terhadap agama. Menurut Weber
golongan elite dan hartawan — sejajar dengan golongan pegawai negeri (birokrat)
—, tidak menaruh gagasan tentang keselamatan, dosa, dan kerendahan hati, namun
mereka haus akan kehormatan. Pada mereka tidak ada keinginan untuk
mengembangkan gagasan keselamatan, dan agama mereka anggap sebagai suatu fungsi
pembenaran bagi pola kehidupan dan situasi mereka di dunia[23].
Kalau kita pertanyakan motivasi mana yang melatarbelakangi sikap mental mereka
itu, maka jawabannya harus kita kembalikan kepada sikap kelas ini terhadap tiga
“titik putus” (the breaking points)
yang telah kita lihat dalam uraian sebelumnya, yaitu kelangkaan, ketidakp stian
dan ketidakmampuan manusia. Terhadap dua “titik putus” yang pertama (yaitu
kelangkaan dan ketidakpastian) pada golongan ini tidak terdapat masalah yang
menakutkan. Kedudukan dan kekayaan yang mereka memiliki cukup dapat memberikan
jaminan yang aman. Mengenai “titik putus” yang ketiga (kctidakmampuan), itu pun
untuk sementara tidak perlu mutlak dipermasalahkan. Hal yang azasi (Tuhan,
hidup kekal, dsb.) dapat ditunda sampai hari tua, karena sekarang belum
diperlukan.
(7) Kategori orang dewasa dan kategori
orang muda
Dalam masyarakat
Indonesia dua kategori tersebut di atas sering disebut angkatan tua dan
angkatan muda. Kedua pengertian itu diangkat dari alam pikiran ilmu jiwa dan
ilmu kebudayaan. Bagi sosiologi kedua “kelompok” itu dilihat sebagai dua
kategori sosial. Dalam kenyataan dua golongan itu tidak tampak secara konkret,
tetapi pengelompokannya diciptakan oleh pikiran ahli sosiologi sendiri,
berdasarkan satu kriterium yang sedang diperhatikan, ialah “usia” tertentu.
Yang menjadi pertanyaan bagi Sosiologi Agama ialah, adakah perbedaan yang khas
dalam hal sikap mental dua kategori itu terhadap agama. Kalau ada, lalu
bagaimana kedua kategori itu harus ditangani dan dilayani dalam memenuhi
kebutuhan mereka masing-masing.
Berdasarkan pengamatan yang kasar
(sehari-hari) dapat diambil beberapa kesimpulan. Golongan dewasa pada umumnya
mempunyai sikap iman yang sudah terbentuk, stabil dan sulit diubah. Dalam
intensitas iman dan corak yang mewarnainya harus dikatakan tidak sama, karena
kategori
orang dewasa terdiri atas orang-orang dan lapisan sosial yang menurut garis vertikal tidak sama kedudukannya, dan kepentingannya seperti telah dibahas pada halaman sebelumnya. Tetapi dari lapisan sosial mana pun asalnya mereka sudah mempunyai pendirian yang matang dan sikap yang mantap dalam arti yang positif maupun negatif. Karena pendirian mereka umumnya sudah stabil dan sukar diubah maka mereka menanggapi arus pembaharuan agama dengan sikap tak acuh karena sudah merasa puas dengan cara-cara lama yang telah menjadi tradisi.
orang dewasa terdiri atas orang-orang dan lapisan sosial yang menurut garis vertikal tidak sama kedudukannya, dan kepentingannya seperti telah dibahas pada halaman sebelumnya. Tetapi dari lapisan sosial mana pun asalnya mereka sudah mempunyai pendirian yang matang dan sikap yang mantap dalam arti yang positif maupun negatif. Karena pendirian mereka umumnya sudah stabil dan sukar diubah maka mereka menanggapi arus pembaharuan agama dengan sikap tak acuh karena sudah merasa puas dengan cara-cara lama yang telah menjadi tradisi.
Sebaliknya kategori usia muda
identitas mereka belum terbentuk dan masih perlu dicari. Mereka masih berada
dalam masa pancaroba yang disebut masa rekonstruksi, di mana nilai-nilai yang
berarti masih perlu dipelajari dan dijadikan miliknya. Akibat kurangnya
pengalaman dan belum tercapainya kematangan berpikir, mereka belum berhasil
mencapai keseimbangan yang ideal. Di satu pihak mereka merasa membutuhkan
bimbingan dari angkatan tua, tetapi di lain pihak mereka tidak mau diikat oleh
tradisi-tradisi yang berasal dari angkatan sebelumnya. Hal tersebut menimbulkan
ketegangan antara angkatan muda dan angkatan tua, dengan intensitas yang
bervariasi dari masa ke masa, dan untuk pendamaiannya selalu diperlukan cara
pemikiran tersendiri, yang sesuai dengan tuntutan zaman yang sedang berjalan.
Keadaan sosial-psikologis yang
demikian itu membawa pengaruh yang besar atas sikap mereka terhadap agama.
Terhadap tantangan yang berdimensi duniawi saja seperti kelangkaan dan
ketidakpastian, jawaban mereka masih bersifat mencoba dan meraba; apalagi
terhadap iman dan agama yang menyangkut kepentingan akhirat (supra-empiris).
Itu semua bagi angkatan muda masih merupakan tanda tanya yang belum terjawab
secara meyakinkan. Jawaban-jawaban yang telah diberikan angkatan tua termasuk
pemimpin-pemimpin agama diragukan kebenarannya; praktek-praktek keagamaan lama
diberi tanda tanya, dicap sebagai kolot dan usang. Perubahan-perubahan dalam
lingkup keagamaan yang belum tentu merupakan pembaharuan, asalkan berbeda
dengan yang lama meski belum teruji kebenarannya, mudah diterima angkatan muda.
Maka dapat dimengerti bahwa krisis imam sebagai akibat dan arus sekularisasi
yang melanda seluruh dunia keagamaan dewasa ini menemukan sasaran yang luas
dalam kalangan manusia dari kategori usia muda.
Dewasa ini kehilangan iman orang muda
merupakan suatu problem kaum muda yang berdimensi mordial. Penelitian Andre
Charron dan pusat pastoral Montreal membuktikan bahwa hal meninggalkan praktek
hidup keagamaan oleh kaum muda itu akan cenderung menyebabkan kehilangan iman
yang dianutnya secara total. Ada beberapa macam bentuk meninggalkan agama. Ada
yang menjauhkan diri dari sakramen-sakramen, tetapi dari hidup berdoa tidak.
Charron menunjukkan adanya suatu pola “penjauhan progresif” pada kaum muda.
Menurut Charron ada delapan tahap dan yang teringan hingga yang terberat,
tegasnya dari tidak menjalankan hidup keagamaan menurut tata lahirnya
meninggalkan dunia iman, hingga pada sikap tidak peduli sama sekali terhadap
agama. Tahap pertama, meninggalkan praktek peribadatan (liturgi) dengan tidak
menghadiri misa kudus.
Tahap kedua, meninggalkan Gereja
sebagai institusi, yang dibagi dalam batas (marginal) yang aktif dan pasif,
tergantung dari kadar keberatan mereka terhadap Gereja, atau karena sekedar
terguncang oleh gelombang sekularisasi.
Tahap ketiga, menjauhi Gereja sebagai
persatuan umat beriman, yang dibagi Katolik nominal (statistik) dan Katolik
yang telah memutuskan hubungan sama sekali.
Tahap keempat, meninggalkan nilai-nilai
Kristen dalam praktek, di mana tidak ada pengaruh real dan iman atas perilaku
seseorang atau keterlibatannya dalam masyarakat luas. Tahap kelima merangkum
mereka yang menjauhkann diri dari kesadaran akan arti kekristenan dalam hidup,
termasuk yang menolak Injil, syahadat iman, atau ajaran Gereja. Tahap keenam,
menjauhkan diri dari kepercayaan akan Yesus Kristus, yang prosesnya menuju
kepada “tidak percaya” dalam arti yang sesungguhnya. Tahap ketujuh menjauhkan
diri dan penerimaan akan Tuhan yang berpribadi (personal) baik yang agnostik
maupun yang ateis. Tahap yang kedelapan menjauhkan diri dari segala masalah
keagamaan, termasuk yang tak peduli sama sekali di mana tidak ada minat sama
sekali kepada kemungkinan beriman[24].
Fenomena tersebut di atas memang hanya
terbatas pada angkatan muda dalam dunia Kristen. Maka tidak dapat dikatakan
bahwa intensitas dan situasi yang nampak kelabu itu berlaku sama kuatnya untuk
kalangan muda dalam agama-agama lain. Dari pengalaman di indonesia kategori
usia muda belum sampai pada tahap menolak bimbingan, tetapi bahkan mereka
menantikan bimbingan dari instansi Gereja. Yang mereka inginkan bukan saja
bimbingan secara kategorial tetapi juga adanya kontak secara pribadi, di mana
pembimbing dapat mengenal kesulitan sebenarnya yang digumuli angkatan muda
secara langsung[25].
(8) Golongan wanita. Menurut Weber
kategori wanita mempunyai kecenderungan religius yang berbeda dengan kategori
pria. Golongan wanita menunjukkan daya reseptif yang kuat terhadap semua hal
religius terkecuali yang berorientasi kemiliteran. Weber menyatakan pula bahwa
kaum wanita cenderung untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan religius dengan keterlibatan emosional yang besar sampai mendekati titik yang disebut histeris[26]. Apakah kodrat wanita memang demikian, hal ini termasuk dalam kompetensi filsafat manusia untuk menjawabnya. Yang dapat disaksikan secara sosiologis hanyalah bahwa jenis manusia dari kelamin wanita pada umumnya menunjukkan kesetiaan lebih besar kepada praktek hidup keagamaan. Kecenderungan itu tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan mereka akan niiai-nilai yang serba mistis dan kontemplatif, yang intinya tidak dapat ditangkap secara diskursif (menurut hukum kerja rasio), tetapi yang manfaat rohaniahnya langsung dapat dirasakan, yaitu ketenangan batin. Seakan-akan mereka dapat melihat dan menerima langsung nilai-nilai yang supra-empiris sedangkan kaum pria memerlukan dasar rasional terlebih dulu untuk dapat menerima dan menghayatinya. Soal lain ialah, apakah agama-agama di dunia ini memberikan “input” positif bagi kesamaan hak wanita dengan pria yang dapat disaksikan sebagai kenyataan konkret dalam masyarakat? Dengan kata lain, apakah diskriminasi antara pria dan wanita baik secara teoretis maupun praktis telah benar-benar terhapus dari masyarakat?
kaum wanita cenderung untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan religius dengan keterlibatan emosional yang besar sampai mendekati titik yang disebut histeris[26]. Apakah kodrat wanita memang demikian, hal ini termasuk dalam kompetensi filsafat manusia untuk menjawabnya. Yang dapat disaksikan secara sosiologis hanyalah bahwa jenis manusia dari kelamin wanita pada umumnya menunjukkan kesetiaan lebih besar kepada praktek hidup keagamaan. Kecenderungan itu tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan mereka akan niiai-nilai yang serba mistis dan kontemplatif, yang intinya tidak dapat ditangkap secara diskursif (menurut hukum kerja rasio), tetapi yang manfaat rohaniahnya langsung dapat dirasakan, yaitu ketenangan batin. Seakan-akan mereka dapat melihat dan menerima langsung nilai-nilai yang supra-empiris sedangkan kaum pria memerlukan dasar rasional terlebih dulu untuk dapat menerima dan menghayatinya. Soal lain ialah, apakah agama-agama di dunia ini memberikan “input” positif bagi kesamaan hak wanita dengan pria yang dapat disaksikan sebagai kenyataan konkret dalam masyarakat? Dengan kata lain, apakah diskriminasi antara pria dan wanita baik secara teoretis maupun praktis telah benar-benar terhapus dari masyarakat?
Menurut agama-agama prinsipnya
mengajarkan persarnaan hak antara kaum pria dan kaum wanita, namun dalam
kenyataannya harus dikatakan bahwa perwujudan prinsip ideal tensebut
membutuhkan kurun waktu (dalam ukuran abad) yang relatif amat panjang dan
proses yang berat melawan tantangan kuat yang muncul dari zaman ke zaman. Orang
terpaksa mengakui kenyataan yang hidup di antara umat beragama dan agama-agama
besar, bahwa kaum wanita praktis belum diberi kedudukan dan peranan keagamaan
yang sama tingginya dengan kaum pnia. Kebenanan pepatah Jawa yang berbunyi
“swarga nunut, nenaka katut” yang dikenakan kepada kaum wanita umumnya, dewasa ini
tidak dapat tidak masih berlaku seutuhnya bagi sebagian besar kaum wanita.
2.5. Pengaruh agama atas bidang kehidupan manusia
Setelah membahas fungsi agama terhadap
masyanakat (2.2.), dan pengaruh agama terhadap stratifikasi sosial (2.3.), kita
mendapat suatu gambaran tentang masalah yang akan kita bicarakan dalam bagian ini,
meskipun harus dikatakan bahwa gambaran itu belum lengkap. Untuk membuat
gambaran yang lengkap masih perlu ditambah dengan penampilan segi-segi
kehidupan masyarakat yang tidak lepas dari pengaruh agama.
Sebagaimana telah kita ketahui dari
hasil pengkajian di muka, jasa terbesar agama ialah mengarahkan perhatian umat
manusia kepada masalah mahapenting yang selalu menggoda, yaitu masalah “arti
dan makna” (the problem of meaning). Manusia membutuhkan bukan saja
pengaturan emosi, tetapi juga kepastian kognitif tentang
perkara-perkara yang tidak dapat dielakkan dari pikirannya: kesusilaan,
disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut
agama menunjukkan jalan dan arah ke mana manusia dapat mencari
jawabannya. Dan jawab itu hanya dapat diperoleh dengan memuaskan kalau manusia
perorangan beserta masyarakatnya mau menerima suatu tempat yang ditunjuk
sebagai sumber dan terminal terakhir dan segala kejadian di dunia
ini. Terminal terakhir itu berada dalam dunia supra-empiris, yang tidak dapat dijangkau
tenaga inderawi maupun otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara
rasional, melainkan harus diterima sebagai kebenaran yang tidak dapat
disingkiri tanpa menyingkirkan arti dan makna eksistensinya sendiri dan dunia
seluruhnya. Apalagi agama telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri
manusia akan kondisi eksistensialnya yang berupa: ketidakpastian dan
ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup yang mahaberat itu. Agama
menunjukkan penyelesaiannya secara memuaskan kalau manusia mau menerima
nilai-nilai terakhir dan tertinggi (ultimate). Jelaslah bahwa pendobrakan
problem yang demikian penting dengan hasil yang positif itu merupakan suatu
jasa besar dalam agama.
Dalam menghadapi masalah “kelangkaan”
dalam arti kesejahteraan material (ekonomi) — berlawanan dengan
penglihatan Karl Marx — Weber melihat bahwa agama memberikan saham yang tidak
kecil serta amat positif. Sebagai contohnya ialah bahwa Proteslantisme memberikan
pengaruh kausal yang kuat kepada lahir dan berkembangnya kapitalisme modern.
Pendapatnya itu dipaparkan dalam bukunya “The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism”, di mana ia lebih jauh mengutarakan peran positif yang
dimainkan agama dalam sejarah umat manusia. Dengan uraiannya itu ia jelas-jelas
melawan pendapat yang berlaku pada waktu itu, antara lain dari Marx yang
melihat agama hanya sebagai sulur yang tumbuh dari variable ekonomi dan yang
tidak mempunyai makna kecuali yang negatif saja[27].
Pengamatan kaum rasionalis dan materialis
mengenai larangan-larangan (tabu) dari agama tertentu untuk makan
sejumlah jenis ciptaan (seperti babi untuk umat Yahudi dan Islam; sapi untuk
umat Hindu dll.) di satu pihak dan penyembelihan puluhan ternak (kerbau dan
babi di Sulawesi dan Batak) untuk perayaan keagamaan di lain pihak; tidak dapat
menghilangkan kesan mereka bahwa agama sekurangnya agama tertentu itu, tidak
membawakan keuntungan melainkan sebaliknya bagi pemeluknya. Misalnya sumber
ekonomi yang datang dari dunia peternakan babi, peternakan sapi, anjing dll.,
ditutup kemungkinannya untuk memajukan ekonomi penganut-penganutnya. Dalam hal
mi agama lalu dikatakan sebagai faktor penghambat kesejahteraan masyarakat.
Sosiologi tidak berhak memberikan evaluasi tentang moralitas tingkah laku pemeluk agama, karena tugasnya hanya bersifat konstatatif (menyaksikan). Dalam batas ini ia (sosiologi) hanya mengumpulkan pendapat atau penilaian yang diberikan pemeluk yang bersangkutan, atau motivasi yang melatarbelakangi tindakan itu. Ternyata dasar motivasi dari penilaian pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan dapat berbeda secara radikal dari yang dipakai para pengamat rasionalis dan materialis. Apa yang menurut ukuran materialis merupakan suatu kerugian, bagi manusia religius bukan sebagai kerugian tetapi keuntungan, bahkan suatu kebahagiaan yang menyangkut seluruh eksistensinya. Nilai-nilai ekonomi bukanlah merupakan nilai yang terakhir dan tertinggi, maka jika perlu dapat dikorbankan untuk pencapaian nilai yang lebih tinggi yang ia inginkan. Pandangan mengenai nilai-nilai manusia, dunia empiris dan dunia supra-empiris, yang secara radikal berbeda dengan pandangan kaum materialis, mengubah seluruh susunan nilai yang dibuat kaum materialis dan mendorong manusia religius menentukan strategi tindakannya dalam prioritas dan urgensi yang sesuai dengan kepercayaannya. Lagi-lagi di sini agama menyaksikan bahwa manusia beragama memberikan penilaian lebih tinggi kepada dunia supra-empiris daripada dunia empiris, atau dengan istilah Malinowski, dunia sakral dan dunia profan; dua dunia yang menurut Durkheim berbeda Secara radikal.
Sosiologi tidak berhak memberikan evaluasi tentang moralitas tingkah laku pemeluk agama, karena tugasnya hanya bersifat konstatatif (menyaksikan). Dalam batas ini ia (sosiologi) hanya mengumpulkan pendapat atau penilaian yang diberikan pemeluk yang bersangkutan, atau motivasi yang melatarbelakangi tindakan itu. Ternyata dasar motivasi dari penilaian pemeluk-pemeluk agama yang bersangkutan dapat berbeda secara radikal dari yang dipakai para pengamat rasionalis dan materialis. Apa yang menurut ukuran materialis merupakan suatu kerugian, bagi manusia religius bukan sebagai kerugian tetapi keuntungan, bahkan suatu kebahagiaan yang menyangkut seluruh eksistensinya. Nilai-nilai ekonomi bukanlah merupakan nilai yang terakhir dan tertinggi, maka jika perlu dapat dikorbankan untuk pencapaian nilai yang lebih tinggi yang ia inginkan. Pandangan mengenai nilai-nilai manusia, dunia empiris dan dunia supra-empiris, yang secara radikal berbeda dengan pandangan kaum materialis, mengubah seluruh susunan nilai yang dibuat kaum materialis dan mendorong manusia religius menentukan strategi tindakannya dalam prioritas dan urgensi yang sesuai dengan kepercayaannya. Lagi-lagi di sini agama menyaksikan bahwa manusia beragama memberikan penilaian lebih tinggi kepada dunia supra-empiris daripada dunia empiris, atau dengan istilah Malinowski, dunia sakral dan dunia profan; dua dunia yang menurut Durkheim berbeda Secara radikal.
Sebagaimana halnya tentang larangan
yang diajarkan agama tertentu berpengaruh atas proses sosial atau jalannya
kehidupan masyarakat, demikian pula ajaran moral yang bersifat deterministis
berpengaruh pada cara berpikir dan pola tingkah laku para penganut yang
bersangkutan. Determinisme moral mengajarkan bahwa terdapat mekanisme kausal
dan dunia
supra-empiris atas dunia empiris. Apa yang terjadi di dunia yang kelihatan ini baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan dianggap sebagai jawaban (balasan) dari yang “berkuasa” atas perbuatan manusia sendiri. Misalnya suatu kecelakaan dialami seorang pengendara sepeda motor yang mengakibatkan ha tewas, merupakan indikator bahwa orang tersebut hidup jahat. Suatu panen yang gagal oleh karena hama wereng atau tikus membuat si petani atau desanya spontan berpikir bahwa “Yang Kuasa” tidak berkenan kepadanya karena perbuatannya yang salah entah disengaja atau tidak. Kesalahan itu harus dicari dari keseimbangan yang telah dirusak olehnya harus dikembalikan dengan doa-doa atau upacara ritual. Ajaran deterministis itu memang ada, tetapi terbatas pada agama bahari. Agama-agama modern menjauhkan moral yang demikian itu. Apabila terdapat ayat-ayat dalam Kitab Suci yang berbau deterministis, maka pimpinan agama yang bersangkutan memberikan interpretasi lain. Kegagalan suatu usaha manusia tidak perlu dikaitkan secara kausal dengan “Yang berkuasa”, tetapi harus dikembalikan kepada kesalahan teknis (bukan moral) dan manusia yang merencanakan. Nilai moral dari suatu kegagalan memang diakui adanya dan kegunaannya bagi manusia yang bersangkutan, antara lain untuk menguji kemampuan sebenarnya yang dimiliki dan mengenal dirinya lebih obyektif.
supra-empiris atas dunia empiris. Apa yang terjadi di dunia yang kelihatan ini baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan dianggap sebagai jawaban (balasan) dari yang “berkuasa” atas perbuatan manusia sendiri. Misalnya suatu kecelakaan dialami seorang pengendara sepeda motor yang mengakibatkan ha tewas, merupakan indikator bahwa orang tersebut hidup jahat. Suatu panen yang gagal oleh karena hama wereng atau tikus membuat si petani atau desanya spontan berpikir bahwa “Yang Kuasa” tidak berkenan kepadanya karena perbuatannya yang salah entah disengaja atau tidak. Kesalahan itu harus dicari dari keseimbangan yang telah dirusak olehnya harus dikembalikan dengan doa-doa atau upacara ritual. Ajaran deterministis itu memang ada, tetapi terbatas pada agama bahari. Agama-agama modern menjauhkan moral yang demikian itu. Apabila terdapat ayat-ayat dalam Kitab Suci yang berbau deterministis, maka pimpinan agama yang bersangkutan memberikan interpretasi lain. Kegagalan suatu usaha manusia tidak perlu dikaitkan secara kausal dengan “Yang berkuasa”, tetapi harus dikembalikan kepada kesalahan teknis (bukan moral) dan manusia yang merencanakan. Nilai moral dari suatu kegagalan memang diakui adanya dan kegunaannya bagi manusia yang bersangkutan, antara lain untuk menguji kemampuan sebenarnya yang dimiliki dan mengenal dirinya lebih obyektif.
Para ahli kebudayaan yang telah
mengadakan pengamatan mengenai aneka kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan,
bahwa agama merupakan unsur Inti yang paling mendasar dan kebudayaan
manusia, baik ditinjau dan segi positif maupun negatif. Masyarakat adalah suatu
fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus-menerus yang dapat dibagi
dalam dua kategori: kekuatan batin (rohani) dan kekuatan lahir (jasmaniah).
Contoh kekuatan lahiriah ialah perkembangan teknologi baru yang terlihat dalam
revolusi industri di Eropa dan Amerika Serikat, yang kemudian diekspor kepada
bangsa-bangsa yang sedang berkembang, yang mendatangkan kemajuan yang tidak
kecil bagi kebudayaan material. Di lain pihak perubahan masyarakat juga
digerakkan oleh kekuatan batin seperti faham demokrasi, gagasan reformasi,
faham politik, dan agama. Dan analisis komparatif ternyata bahwa agama dan
nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dalam semua
kebudayaan. Dalam hal itu agama dapat menjadi inisiator ataupun promotor,
tetapi juga sebagai penentang yang gigih, sesuai dengan letak
kedudukan agama. Agama dapat terletak pada jantung kebudayaan tetapi dapat juga
pada pinggirannya.
Sebagaimana di dunia Barat Agama
Kristen dalam sejarahnya dapat berbentrokan dengan negara, tetapi di waktu lain
menjadi pendukung pembaharuan politik yang kuat. Di kawasan lain, kepercayaan
Kristen, konsepsi-konsepsi biblis yang telah berakar dalam masyarakat luas pada
waktu itu, menjadi penentang penemuan baru dalam bidang kosmografi. Sebaliknya
idea-idea biblis lainnya, seperti perintah untuk menguasai jagat raya, menjadi
faktor pendorong yang kuat dan terus-menerus untuk mengalahkan
rintangan-rintangan kemajuan umat manusia, sehingga orang hingga dewasa ini
menyamakan kebudayaan Eropa dengan kebudayaan Kristen.
Sejajar dengan itu, tegasnya bahwa
agama merupakan unsur inti dari kebudayaan manusia, maka dapat dibenarkan
sampai tingkat tertentu pendapat urnum yang menyatakan, bahwa kebudayaan Asia
adalah pengaruh dan Agama Hindu dan Buddha, kecuali di kawasan yang penduduknya
beragama Islam. Di tempat yang disebut terakhir ini, seperti Indonesia,
Malaysia, Bangladesh, dan Timur Tengah, kehudayaan setempat banyak dipengaruhi
secara mendalam. Namun untuk kebudayaan Indonesia perlu ada catatan penting.
Negara kita mengenal agama-agama besar yang berturut-turut masuk dari luar ke
dalam kawasan Nusantara. Pertama Agama Hindu. Buddha, kemudian Agama Islam,
lalu disusul agama Kristen. Berpedoman pada dalil bahwa agama merupakan unsur
inti kebudayaan, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia dipengaruhi oleh
iman ajaran agama-agama tersebut di atas. Soal agama mana yang telah herhasil menanamkan
pengaruh terkuat dan terdalam yang menguasai kehidupan batin dan lahir bangsa
Indonesia harus dijawab dengan penelitian ilmiah yang mendalam.
BENYAMIN NELSON yang dikutip olch O’Dea, mengatakan bahwa agama rnerupakan suatu ‘‘directive system’’, yang tersusun dari unsur-unsur normatif, yang mencetak dan membentuk jawaban kita atas banyak tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan menurut cara yang diinginkan[28].
BENYAMIN NELSON yang dikutip olch O’Dea, mengatakan bahwa agama rnerupakan suatu ‘‘directive system’’, yang tersusun dari unsur-unsur normatif, yang mencetak dan membentuk jawaban kita atas banyak tingkat pemikiran, perasaan dan perbuatan menurut cara yang diinginkan[28].
2.6. Kelestarian eksistensi agama dalam masyarakat
Dalam abad sekular ini banyak pemeluk
agama diliputi rasa cemas mendengar pernyataan-pernyataan seperti “matinya
Tuhan Allah”, dan “agama akan punah”, atau “agama akan masuk museum”. Lalu akan
lahir suatu masyarakat sekular yang bersih dari segala unsur keagamaan. Ramalan
senada diucapkan oleh COMTE, Bapak dari sosiologi modern ini melihat agama,
dengan sudut pandang yang baru yakni positivisme, sebagai konstruksi pemikiran
manusia mengenai perlunya menghubungkan dunia yang mengatasi alam dengan dunia
empiris ini untuk memuaskan kebutuhan manusia yang hidup dalam tahap pemikiran
tertentu (baca tahap teologis). Tetapi hukum pemikiran itu sendiri yang
benjalan dalam tiga tahap (tahap teologis, metafisik, dan positif) akan membawa
agama ke dalam suatu zaman (baca tahap positivisme) di mana manusia secara
radikal tidak membutuhkannya lagi. Dalam situasi demikian itu agama akan lenyap
dari masyarakat. Comte sendiri telah mulai merealisasi gagasannya itu dengan
mengganti kebaktian kepada Tuhan dengan pengabdian kepada masyarakat.
Ramalan serupa diberikan pula oleh
Marx, bapak sosialisme ateis. Pada hematnya agama adalah suatu produk yang
dibuat manusia untuk memenuhi kebutuhan darurat. Jelasnya dibuat oleh manusia
kapitalis liberal untuk kepentingan manusia yang “diasingkan dan kediriannya
sendiri” oleh sistem penghisapan. Manusia yang dimiskinkan dan menderita
sengsara itu membutuhkan agama sebagai obat pembius yang dapat memberikan
ketenangan. Tetapi jika sistem kapitalis sudah dihentikan dan si manusia
“terasing” itu telah berhasil menemukan dirinya kembali, maka tempat untuk
agama dalam masyarakat sosialis tiada lagi.
Max Weber mengetengahkan argumentasi
yang senada dengan Comte, mengenai masalah lenyapnya agama dari masyarakat
modern. Weber melihat masyarakat modern yang dikuasai oleh teknologi dan
birokrasi sebagai suatu ancaman yang tak terelakkan yang akan mengurangi
lingkup pengalaman manusia, dan mengarahkan kesadaran manusia hanya kepada
urusan pragmatis sekitar perolehan hasil yang sebanyak mungkin untuk kenikmatan
badaniah. Dan akhirnya akan terciptalah suatu masyarakat yang terorganisasi dan
terintegrasi berkat suatu perencanaan yang sempurna. Masyarakat yang demikian
itu akan sama dengan kurungan besi yang telah dicukupi dengan segala alat
kehutuhan manusia. Khususnya teknokrasi pada hematnya akan menumpulkan
bakat-bakat rohani seperti daya imaginasi poetika, cinta akan keindahan,
perasaan agung akan pengalaman religius, dan akhirnya menjadi tumpul dan lumpuh
sama sekali. Proses pen gembangab ini menurut penglihatannya mengarah kepada
“pengosongan dunia” dan agama akan lenyap dan masyarakat, ialah masyarakat dan
abad kedua puluh.
Kelestarian agama terjamin
Kalau dikatakan dan sudut pandangan
sosiologis bahwa agama tetap akan lestari hidup, maka pernyataan tersebut
bukanlah semacam ramalan yang disimpulkan dan silogisme deduktif. Bukan,
melainkan dari data-data pengalaman baik yang ditulis maupun yang tidak ditulis
atau dari pendengaran, dan penglihatan banyak orang yang bukan ahil sosiologi.
Pertama sebagai bukti ialah kenyataan
dewasa ini (di mana abad ke 20 telah mendekati penghujung titik terakhir) bahwa
agama belum lenyap bahkan belum ada tanda-tanda yang meyakinkan akan
kelenyapannya. Malahan di Negara-negara di mana agama secara sistematis mau
ditumpa (baca:di Rusia, RRC, Vietnam dll.) karena tidak cocok dengan ideologi
negara, di situ agama masih hidup dan golongan penganut yang telab berhasil
“dibebaskan” mencari ganti dalam bentuk lain.
Argumentasi dan ramalan positivisme
yang ditegakkan Comte mengandung kelemahan berat. Karena data-data yang dipakai
sebagai premis hanya terbatas pada umat beragama di Eropa yang saat itu tengah
menunjukkan gejala kemunduran dan segi tertentu. Kemunduran itu hanya diukur
dengan ukuran yang sempit: berkurangnya umat dalarn partisipasi ritual, atau
kebaktian hari Minggu. Ternyata masa-masa berikutnya situasi keagamaan itu
tidak memburuk, bahkan yang terjadi sebaliknya. Comte tidak dapat mengetahui
sebelumnya bahwa pada abad ke 20 ini diadakan Konsili Vatikan II yang membawakan
penyegaran dan pembaharuan.
Ramalan Marx hingga kini belum
terbukti dan tidak pernah akan terbukti, karena dasar argumentasinya sangat
berat sebelah. Ia hanya bisa melihat masalah kebutuhan manusia akan agama hanya
dan satu sudut pandangan, ialah dan ekonomi sebagai faktor satu-satunya; dan ia
menutup mata terhadap faktor-faktor lain yang bukan ekonomi, seperti misalnya
naluri-naluri manusia yang tidak dipenuhi dengan nilai ekonomi saja. Lagipula
apa yang ia harapkan bahwa kaum buruh yang kondisi sosio-ekonominya sudah
diperbaiki lantas akan meninggalkan kehidupan keagamaan, itu tidak terwujud
dalam kenyataan. Kaurn buruh di Polandia yang tergabung dalam Serikat Buruh
“Solidaritas” merupakan bukti lawan yang jelas terhadap pendirian Marx. Karena
mereka tetap tinggal setia kepada agama mereka (baca Agama Katolik). Contoh ini
dapat dilengkapi dengan kaum buruh di negara-negara lain.
Teori WELIER tentang “kurungan besi
“dan lenyapnya agama dari masyarakat tidak pernah terbukti. Teori ini lebih
berupa cetusan perasaan pribadinya terhadap masyarakat modern daripada hasil
studi yang terperinci. Ia tidak pernah mengadakan analisis sosiologis yang
lengkap mengenai masalah teknologi modern. Ia tidak dapat menduga sebelumnya
bahwa dalam
masyarakat teknokrasi di mana kebutuhan materil manusia serba terpenuhi manusianya merasa semakin haus akan nilai rohani yang lebih mendalam dan mencoba menemukannya dalam kelompok-kelompok karismatik seperti yang terjadi dewasa ini. Mungkin sekali pendirian Weber di atas dipengaruhi oleh aliran pesimisme kultural yang didukung kaum eksistensialis dari kaum freudian yang berpendirian bahwa masyarakat adalah musuh dari kemerdekaan dan perwujudan diri manusia.
masyarakat teknokrasi di mana kebutuhan materil manusia serba terpenuhi manusianya merasa semakin haus akan nilai rohani yang lebih mendalam dan mencoba menemukannya dalam kelompok-kelompok karismatik seperti yang terjadi dewasa ini. Mungkin sekali pendirian Weber di atas dipengaruhi oleh aliran pesimisme kultural yang didukung kaum eksistensialis dari kaum freudian yang berpendirian bahwa masyarakat adalah musuh dari kemerdekaan dan perwujudan diri manusia.
Apakah kemajuan ilmu Pengetahuan
modern (science) tidak akan memberikan tusukan maut bagi agama? Soal
tersebut sudah sering dilontarkan para pemikir yang berpendapat bahwa agama
adalah “suatu kesalahan dalam berpikir”, dalam bahasa asing an error in
reasoning”. Pada suatu ketika “kesalahan” itu akan dibuka, lalu agama akan
lenyap. Terhadap persoalan tersebut Kingsley Davis mengatakan, bahwa
sudut pandangan rasionalistis itu sendiri jatuh dalam kesalahan (error).
Pandangan itu tidak berhasil melihat bahwa sifat nonrasional agama mamainkan
fungsi masyarakat pribadi manusia, dan oleh karenanya tidak diatasi dengan
mengganti keterangan religius dengan keterangan ilmiah begitu saja mengenai
jagat raya ini. Seorang pemuda yang tengah bercinta tidak akan mau berhenti
mencintai karena dikatakan kepadanya bahwa pemudinya itu hanyalah suatu berkas
sel seperti binatang menyusui lainnya[29]. Dengan kata lain manusia tidak akan puas
dengan penjelasan rasional dan masih membutuhkan penjelasan yang nonrasional
namun yang tetap manusiawi. Penjelasan terakhir inilah yang diberikan oleh agama.
sehubungan dengan persoalan tersebut DAVID TRACY menegaskan bahwa ilmu
pengetahuan itu sendiri mengandung dimensi religius. Karena untuk dapat
memahami dan dapat menerima dasar rasional argumentasinya manusia membutuhkan
suatu transendensi diri yang kognitif. Dengan demikian keterangan-keterangan
rasional (ilmiah), khususnya untuk dapat dipahami dan diterima, memerlukan
keterlibatan diri dengan soal Ketuhanan dan agama[30].
[1] Thomas F. O’Dea The Sociology Of Religion, Prentice – Hall
Inc, Englewood Cliffs, New Jersey P. 7 Relligion ………….The Manipulation Of
Non-Empirical or Supraempirical means for non-empirical or supra-emprical ends.
[2] Knight Dunlop. Relligion, Its
Functions in human life, New York 1946, P.9
[3] Joachim Wach, Sociology Of Religion, Chicago, 1944.
Dikutip oleh J, Milton Yinger, Religion Society and Individual. Op. Cit,. P.12
[4] Nikolas Luhmann, Sociologische Orientaties, dalam
Concilium No.1 1974 hlm. 37
[5] Ungkapan “titik putus’ (the
breaking point) : contingency, powerlessness, scarcity (ketidakpastian, ketidak
mampuan, kelangkaan) berasal dari Sigmund Freud dalam ‘The Future Of An Illusion”, baca O’Dea, Op. Cit Hlmn 5 dan 31
[6] Bdk. Maj SPEKTRUM, Inkulturasi Liturgi, Kongres Liturgi III 1980 No. 4 Th.
10 1980, Hlm. 256 – 257
[7] Mgr. A. B Sinaga Ofm Cap. Teori
Mnegenai lambang religious, dalam SPEKTRUM
No. 4 Th. X 1980 hlm. 257
[8] Ibid, Hlm .257
[9] Bdk. Maj SPEKTRUM Op. Cit Hlm 259 – 261
[10] Mgr. A. B. Sinaga Ofm. Cap dalam
Maj SPEKTRUM Op. Cit. Hlm 248
[11] P.a Abimantrono cm. dalam Maj SPEKTRUM Op. Cit. Hlm 266
[12] Mgr. A.B Sinaga Ofm. Cap SPEKTRUM Op. cit. hlm 248
[13] P. A Abimantrono cm. SPEKTRUM op. cit hlm 267
[14] Rachmat Subagya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia.
Yayasan Cipta Loka
[15] TIME, Januari No. 4 Th. 1982 hlm 20 – 21
[16] Bdk. Edwar Schillebeeckc, dalam CONCILIUM (Edisi Belanda) No. 4, 1973.
Judul Kritische theorieen en politik angagement van de christelijke gementer.
P.48-50.
[17] Bdk. Andrew Greeley, Het
Doorzetten Van De Gemeenschapsgedachte. Dalam CONCILIUM,No1 Th. 1973 hlm. 27 – 28
[18] Bdk. Rachmat Subgya, Agama dan Alam Kerohanian Asli di Indonesia,hlm.
106
[19] Bdk. P.A Abimantrono cm, Arti
Perayaan bagi orang Kristen, dalam SPEKTRUM,
no. 4 th. X . 1980 hlm. 264
[20] Thomas F.O Dea, OP.Cit. hlm. 57
[21] Thomas. O’Dhea, Op. Cit. hlm. 57
[22] Ibid. Hlm 58
[23] Thomas F . O’Dea, Op. Cit,. Jlm 59
[24] FABC Newsletter, no. 37 June –
Agust 1981 Hlm. 4
[25] Bdk. Dr. J. Riberu, Pembinaan
Muda – mudi, dalam SPEKTRUM No. 3 Th
VII, 1977, Bab VI No. 29 – 33 hlm. 209
[26] O’Dea Thomas F., Op. Cit,. hlm .60
[27] O’Dea, Op,. Cit hlm. 11
[28] O’Dea,. Op. Cit, hlm 114
[29] Kingsley Davis, Human Society, The Macmillan Company,
Hlm 541 / 542.
[30] David Tracy, dalam CONCILIUM No. 1, 1973, hlm 131 - 139
Keistimewaan Multazam dalam Ibadah Haji
Keistimewaan Multazam dalam Ibadah Haji
No comments:
Post a Comment